Selasa, 24 Juni 2008

Limbah Unocal untuk Kaltim

Bappedal menyatakan sistem pembuangan limbah perusahaan minyak Unocal keliru. Tapi perusahaan Amerika itu jalan terus, dan menuduh lembaga advokasi masyarakat sebagai penghasut.

Satu lagi perusahaan asing membuat masyarakat marah. Lihat saja yang terjadi di Terminal Tanjung Santan, Kalimantan Timur. Unocal, perusahaan minyak yang menandatangani kontrak karya tahun 1968, dinilai melakukan pengelolaan limbah yang tidak memenuhi standar. Akibatnya, sawah dan tambak milik rakyat tercemar oleh limbah minyak. ”Itu sudah sangat parah,” kata Chalid Muhammad, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, kepada DeTAK, Jum’at (31/3).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Jatam Kaltim, sekitar pantai Santan telah tercemar oleh limbah minyak yang berasal dari tempat pemrosesan minyak dan gas bumi di Terminal Santan. Pembuangan limbah ke laut dekat muara kanal ini antara lain mengakibatkan ikan-ikan terasa minyak dan sumber air asin bagi tambak mengandung minyak. ”Pohon bakau dan pipa di sekitar pantai mati,” tegas Chalid.

Hasil penelitian Jatam itu juga menerangkan bahwa peristiwa pencemaran lingkungan terhadap masyarakat kerap kali terjadi. Tahun 1992 dan 1995, udang dalam jumlah cukup besar mati akibat limbah minyak. Di tahun 1998, banjir besar mengangkut limbah ke tangah persawahan dan menyebabkan sawah seluas 417,5 hektare milik petani di Desa Rapak Lama termasuki limbah Unocal.

Peristiwa ini kemudian diteliti di laboratorium Sucofindo Samarinda. Hasilnya, ”Ditemukan ada sekitar lima indikator melebihi batas standar,” kata Ramli, Koordinator Jatam Kaltim, kepda DeTAK, Jum’at (31/3). Tes sampel air menunjukkan beberapa parameter seperti minyak, fenol, amonia, suspended solid, merkuri, arsenik, besi terlarut, sulfida, pH, COD dan BOD melebihi ambang batas kategori air limbah. Anehnya, pihak Unocal menanggapi dengan dingin. ”Tidak ada limbah yang meluap ke persawahan masyarakat. Hanya oli yang hanyut masuk ke persawahan dari sisa-sisa drum yang tumpah,” kata pihak Unocal seperti dikutip Suara Kaltim, (15/2).

Tanggal 11 Februari lalu, limbah kembali menyelonong ke sawah petani. Kali ini bukan karena banjir besar, melainkan disebabkan oleh jebolnya pematang di pinggir pagar oleh jebolnya pematang di pinggir pagar Terminal Tanjung Santan. Pemda Kutai bersama Unocal membentuk tim penelitian guna mengusut kasus itu. Anehnya, hasil kerja tim tersebut menyimpulkan tidak ditemukan indikator percemaran dari limbah Unocal. ”Hasil itu sudah direkayasa,” bantah Ramli. Anehnya lagi, tim yang dibentuk dengan surat penugasan tertanggal 20 Oktober 1998, bernomor: 660/302/LH-II/1998 ini tidak melibatkan wakil masyarakat sebagai anggota tim.

Selain itu, yang juga sangat parah, kontrol buangan emisi dari peralatan operasional Unocal tidak dilakukan secara ketat. Akibatnya, buangan gas yang mengandung S02 (yang menjadi sulfat) dan NO2 (yang menjadi nitrat) menyebabkan hujan asam di sekitar terminal dengan tingkat keasaman hujan asam mencapai pH 4,5. Kembali tanah persawahan terancam karena derajat keasamaannya berubah.

Sikap tak acuh pihak Unocal ini memangkas kesabaran masyarakat. Tanggal 16 Oktober 1998, sekitar 180 orang masyarakat Rapak Lama melakukan aksi di Terminal Tanjung Santan. Didampingi oleh Jatam, mereka menuntut Unocal bertanggung jawab atas pencemaran limbah minyak. ”Kita minta operasi Unocal dihentikan. Ini adalah kriminal lingkungan dan harus segera diatasi.” kata Chalid.

Hasil Penelitian Yang Sia-Sia

Dan aksi yang terjadi belakangan adalah tumpukan kemarahan yang terpendam puluhan tahun. Pada tanggal 28 Oktober 1968 pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh Pertamina, mengeluarkan surat Kontrak Production Sharing (KPS) kepada Unocal. Sejak beroperasi, Unocal Indonesia Company, yang berpusat di California, USA, ini selalu dituding oleh masyarakat Kaltim melakukan pencemaran lingkungan. Tapi perusahan yang menguasai wilayah konsesi sebesar 27.700 hektare ini selalu mengelak dari tuduhan-tuduhan masyarakat.

Padahal, dengan tanah dan air laut yang tercemari limbah, kehidupan petani dan nelayan semakin parah. Tengoklah kehidupan di tiga desa sekitar lokasi terminal Tanjung Santan, yakni Rapak Lama, Terusan, dan Marangkayu. Di Rapak Lama, kondisi sawahnya tidak dapat ditanami kembali. Sekitar 301 orang petani terancam kelaparan karena selama dua tahun tidak pernah panen. Di desa Terusan, masyarakat mengalami penurunan penghasilan dan terjadi pengangguran sebagai dampak dari pembuangan limbah ke laut. Sementara itu, di Desa Marangkayu, terjadi pengkotakan dan kecemburuan sosial antara masyarakat Marangkayu dengan karyawan lokal. Bila ini dibiarkan, tampaknya akan menimbulkan konflik horizontal yang krusial.

Pelbagai penelitian telah dilaksanakan, dan masyakarat seperti menunggu sesuatu yang sia-sia dengan penelitian-penelitian tersebut. Balai Kesehatan Departemen Kesehatan Kaltim Samarinda tahun 1993, Dinas Perikanan Kutai pada tahun 1995, dan jurusan perikanan Universitas Mulawarman tahun 1995, ketiganya berkesimpulan telah terjadi pencemaran lingkungan dan kerusakan kawasan pantai Santan.

Apa sesungguhnya yang salah pada sistem pembuangan di Unocal sehingga limbah melabrak kemana-mana? Menurut Badan Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bappedal) Pusat, Unocal menggunakan metode pembuangan limbah yang tidak disetujui pihaknya. Sistem Bio Remedition Area (BRA)- yakni metode pengelolaan limbah di lahan terbuka yang tidak tepat. ”BRA memerlukan wilayah yang sangat luas dan hanya cocok untuk Amerika,” kata Sri Indah Wibi Nastiti dari Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), kepada DeTAK, Selasa (28/3).

Akibat salah satu limbah itu, menurut Jatam, kini 350 KK petani dan ratusan nelayan terancam. Tapi tampaknya pemerintah daerah Kaltim tidak berdaya untuk bertindak lebih jauh. ”Karena kebijakan soal berhak atau tidaknya suatu perusahaan beroperasi tergantung pada pemerintah pusat. Daerah tidak mempunyai wewenang untuk itu. Semua urusan harus diselesaikan di pusat,” kata Ramli.

Menghadapi semua tundingan dan aksi masyakarat, pihak Unocal pun membuat klarifikasi di beberapa media lokal dan nasional. Malah Unocal balik menuduh Jatam sebagai organisasi penghasut masyarakat. Jatam tak tinggal diam. Mereka mengajukan somasi untuk Unocal. ”Kami sudag melaporkan peristiwa pencemaran ini ke menteri lingkungan hidup dan kepolisian,” kata Chalid.

Ketika dikonfirmasi sehubungan dengan somasi, pihak Unocal menjawab dengan entengnya. ”Sementara saya tidak mau membuat jawaban. Karena kita sudah menyerahkan kepada lawyer kami untuk menjawab itu,” kata Erwin, Humas Unocal, kepada DeTAK, Jum’at (31/3).

Rusman

Telah terpublikasi di Tabloid DeTAK No. 88 Tahun ke-2, 4-10 April 2000

Tidak ada komentar: