Kamis, 29 Mei 2008

Membidik Try Sutrisno dan Benny Moerdani

Setelah dianggap sukses untuk kasus Timtim, Komnas HAM dituntut segera membongkar kembali kasus Priok. Bisakah kasus ini menyentuh Benny Moerdani dan Try Sutrisno?

“12 September 1984, tengah malam, Tanjungpriok bersimbah darah, ratusan umat Islam tersungkur ke tanah, tertmbus timah panas yang menyalak dari senjata otomatis ratusan tentara. Mereka yang masih hidup dan tidak sempat berlari, ditendang, diinjak-injak, dan dihajar denagn popor senjata hingga tewas. Drama pembantaian keji itu berlanjut dengan datangnya senjumlah truk tentara. Tubuh-tubuh tanpa nyawa itu terlempar begitu saja ke atas truk, seperti buruh melempar karung beras. Ditumpuk seperti ikan pindang. Menyusul kemudian sejumlah ambulans dan mobil pemadam kebakaran. Kendaraan terakhir membersihkan sepanjang jalan itu dari simbahan darah. Maka keesokkan harinya, nyaris tak dijumpai lagi jejak kebiadaban itu.” (diri buku Tanjungpriok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa?, kumpulan fakta dan data, Gema Insani Press)

Dulu, tragedi besar itu lama terpendam di bawah kuasa Orde Baru. Tapi kini, siapa yang bisa menghalangi kemauan rakyat untuk membongkar kembali? Lihat saja, Rabu (23/2), Koalisi Pembela Kasus Priok (KPKP) dating menemui Komisi II DPR-RI. Koalisi pembela yang terdiri dari Kontraks, YBLHI, LBH Jakarta, API, dan Alperudi (Aliansi Pengacara untuk Demokrasi Indonesia) ini menuntut DPR agar mendorng Komnas HAM dan lembaga-lembaga terkait secepatnya untuk meneruskan prose hokum bagi penyelesaian kasus Priok. Saat dengar pendapat dengan DPR itu, KPKP menyerukan tiga tuntutan. Salah satunya dalah mendorong DPR untuk memfasilitasi terbentuknya peradlan ad hoc bagi penyelesaian kejahatan HAM pada kasus Priok.

Bagusnya, dalam dengar pendapat itu DPR bernjanji untuk menindaklanjuti tuntutan KPKP ini. Serius DPR? “Semoga jawaban itu memang ingin dilakukan oleh DPR,” kata Koordinator Koalisi Pembela Kasus Priok, Ahmad Hambali, kepada DeTAK, Kamis (24/2).

Memang, tuntutan agar Komnas HAM membentuk KPP HAM Priok makin gencar saja. Bagaimanapun, Komnas HAM dianggap telah sukses membongkar pelanggaran HAM di Timtim. Maka, tak salah bila para korban tragedy Priok menuntut agar juga diperhatikan oleh Komnas HAM.

Kata Hambali, bila KPP HAM Priok jadi dibentuk, pihak yang harus dipanggil antara lain Soeharto, LB Moerdani, Try Sutrisno, AR Butarbutar, serta para pelaku di lapangan. “Mereka harus dipanggil untuk pencapaian keadilan,” kata Hambali.

Tokoh-tokoh itu selayaknya diperiksa dalam kasus Priok. Saat tragedi itu terjadi, LB Moerdani menjabat Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib, Try Sutrisno menjabat Pandam V Jaya/Panglaksus Jaya, dan AR Butarbutar menjabat Dandim Jakarta Utara. Menurut beberapa saksi, saat itu aparat keamanan terlihat membiarkan situasi menjadi tak terkendali.

Lihat saja pernyataan Soeharto dalam bukunya, Seoharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan saya. Disitu ditulis, “Sesungguhnya, peristiwa itu benar-benar hasil hasutan orang yang menempatkan diri sebagai pemimpin.” Benarkan ucapan Soeharto itu mengisyaratkan bahwa tragedi itu sudah direncanakan sebelumnya?

PR KOMNAS HAM TAK SELESAI

Tunutan agar Komnas HAM membuka kembali kasus Priok, sebenarnya, bukan barang baru. Tahun 1998, Komnas HAM sempat didatangi oleh keluarga para korban tragedi Priok. Waktu itu, mereka menuntut agar kasus Priok dituntaskan secara hukum, dengan mengajukan LB Moerdani dan Try Sutrisno ke pengadilan. Arus tekanan dan tuntutan itu tidak hanya datang dari para keluarga korban, tapi juga mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Lantas, 9 Maret 1999, Komnas HAM mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani Marzuki Darusman dan Clementino dos Reis Amaral. Isinya, hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi dari tim yang dibentuk Komnas HAM untuk kasus Priok.

Ada serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tim ini. Pertama, mempelajari semua penerbitan umum serta dokumen lainnya. Kedua, melakukan pertemuan dengan keluarga korban, saksi korban, dan saksi lainnya. Ketiga, melakukan kunjungan ke berbagai tempat yang diduga menjadi tempat penguburan korban peristiwa Priok. Keempat, mengundang pejabat aparat keamanan pada waktu itu, antara lain mantan Pangdam Jaya dan mantan Dandim Jakarta Utara, untuk memperoleh data guna dicocokkan dengan data yang diperoleh dari masyarakat.

Dari hasil temuan itu, Komnas HAM berkesimpulan: dalam tragedi Priok telah terjadi pelanggaran HAM, yakni pelanggaran atas hak hidup (right to life) dan hak mendapatkan informasi (right information). Kemudian, Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah menjelaskan kepada masyarakat mengenai peristiwa Priok. Sementara para pelaku dan penanggungjawab pelanggaran HAMnya agar diadili.

Berdasarkan pernyatan itu, maka 18 November 1998, Komnas HAM mengirimkan surat pemanggilan ke Try Sutrisno. Tetapi, tampaknya Try lebih suka berkorespondensi. Buktinya, 7 Desember 1998, Try membalas berkirim surat ke Komnas HAM. Isi suratnya, menolak memberikan klarifikasi. Dalam surat itu, Try berkilah, kasus Priok telah ditandatangi secara institusional oleh ABRI, bukan ditangani oleh orang per orang. Baru dijawab oleh Try seperti itu, Komnas HAM saat itu mati kutu.

Itu cerita dulu. Zaman sudah berganti. Sekarang, Wiranto yang Menko Polkam pun bisa diperiksa. Maka, apakah sekarang Komnas HAM bisa membongkar kembali kasus Priok?

Menurut anggota Komnas HAM Benyamin Mangkoedilaga, perkembangan kasus Priok akan dibicarakan dalam rapat pleno Komnas HAM, Selasa pekan ini (29/2). “Kalau pleno mengatakan sudah cukup, ini akan diserahkan ke Presiden. Bila Presiden memerintah untuk membentuk KPP, kita laksanakan,” kata Benyamin kepada DeTAK, Jum’at (25/2).

Hal senada juga dilontarkan oleh anggota Komnas HAM lainnya, Moh Salim. “Sekarang kita harus minta izin lagi kepada Presiden. Barangkali, hasil (temuan) Komnas HAM nanti diserahkan ke Kejaksaan. Dan Kejaksaan yang akan mengusut,” kata Salim kepada DeTAK, Jum’at (25/2).

SIMPANG SIUR JUMLAH KORBAN

Seperti kasus-kasus pembantaian missal lainnya oleh aparat militer, tidak ada angka yang akurat berapa jumlah korban pada tragedy 12 September 1984 ini. Menurut hasil investigasi yang dilakukan Asosiasi Pembela Islam (API), sebanyak 32 orang cacat seumur hidup, 17 orang dinyatakan meninggal dan hilang, dan 65 orang dihukum sewenang-wenang oleh pengadilan. Sementara itu, menurut versi pemerintah saat itu, yang tewas 18 orang.

Tapi menurut data temuan KPKP, sekitar 400 orang orang tewas, 40 orang cacat seumur hidup, 65 orang ditahan sewenang-wenang, dan 16 orang dinyatakan hilang. “Jumlah korban tewas itu kita ambil dari kesaksian. Pada setiap truk itu ada sekitar 40-50 orang. Kalau dihitung sepuluh truk, berarti jumlahnya ada sekitar 400 orang,” kata Hambali dengan yakinnya. Apa boleh buat, kalua mau menulis sejarah dengan benar, soal jumlah korban yang simpang siur ini harus diteliti ulang.

UPAYA MENUTUP KASUS PRIOK

Para keluarga korban dan masyarakat boleh menuntut. Tapi, upaya untuk menutupi kasus Priok sudah lama terlihat. Beberapa sumber malah mengatakan, di antara para korban sudah ada yang mendapat sogokan, agar tidak mengungkit kembali kasus.

Lihat saja yang dialami Beni Biki, adik kandung almarhum Amir Biki, pemimpin setempat yang tewas terbantai dalam tragedi itu. Beni mengaku pernah didatangi oleh beberapa pejabat yang berniat memberikan imbalan, asalkan para keluarga korban mau menghentikan tuntutan untuk menghentikan tragedy Priok. Imbalan yang sempat ditawarkan adalah jabatan dan uang. “Tapi saya menolak semua itu. Kami hanya ingin keadilan ditegakkan,” kata Beni kepada DeTAK, Rabu (23/2).

Lain halnya dengan Yusron Zaenuri, seorang koban lainnya. Keluarga Yusron sempat didatangi oleh lurah dengan menawarkan sogokkan. “Sampai Pak Lurah yang ditempat saya tinggal bertanya, Yusron itu apa maunya? Bahkan dia bawa mobil dan mau memberikan kepada orang tua saya. Asal, saya tidak memberikan kesaksian dalam pengadilan,” kata Yusron kepada DeTAK, kamis (24/2).

Tapi, marilah kita lihat lebih luas. Andai saja Komnas HAM mau dan berniat membentuk tim khusus untuk membentuk kasus Priok. Lantas, apakah niat Komnas HAM ini akan mendapat dukungan Presiden? Bukankah sejauh ini Gus Dur dikenal dekat dengan Benny Moerdani dan Try Sutrisno?

Apakah sejarah kedekatannya dengan Benny dam Try ini akan mempengaruhi respons Gus Dur terhadap usaha membongkar kasus Priok? Mudah-mudahan tidak.

Rusman

Laporan Sunu dan MI. Wibowo

Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No. 83 Tahun ke 2, 29 Februari-6 Maret 2000

Sabtu, 24 Mei 2008

Buku Kiri, Riwayatnya Kini


Di zaman Soeharto, karma dilarang, buku-buku kiri dicari orang. Di zaman Gus Dur, karena tidak dilarang, buku-buku kiri dicemaskan sebagian orang.


Yang kiri dan yang kanan sempat hidup dalam kebersamaan. Di zaman “Nasakom” dulu, buku-buku kiri bebas beredar sebagaimana buku-buku kanan. Peminatnya biasa-biasa saja, terlalu sedikit tidak, kelawat banyak pun tidak. Maklumlah, dari dulu hingga kini, orang Indonesia yang suka membaca buku terbilang yang itu-itu juga: paling kalangan intelektual atau orang-orang sekolahan.


Bung Karno turun, Soeharto naik. Nah, di zaman Orde Baru-lah situasinya jadi berubah: Si Kanan diutamakan, sedang Si Kiri dimatikan. Buku-buku yang dianggap kiri dicekik sensor ekstraketat. Buku-buku seperti itu diharamkan terbit di negeri ini. Bahkan, para penulisanya pun mengalami nasib nahas. Banyak penulis dijebloskan ke dalam bui, hanya gara-gara dituduh menebarkan pemikiran kiri.


Karena hukum tidak punya supremasi, pelarangan terhadap buku-buku kiri dilakukan seenak perut penguasa. Tidak melalui jalur hukum. Anda pun tahu, bagaimana janggalnya proses pelarangan terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Tanpa dikasih kesempatan untuk membela diri di pengadilan, Pram dan karya-karyanya diperosokkan ke dalam pasungan.


Akibat pelarangan tersebut buku-buku yang berbau kiri hilang dari pasaran. Buku-buku tersebut tidak terlihat lagi di toko-toko buku. Tiba-tiba saja buku jenis itu menjadi barang yang langka. Tapi justru karena dilarang, buku-buku kiri dicari banyak orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pelarangan itu malah menjadi iklan gratis. Inilah sisi yang tampak bodoh dari kekuasaan Orde Baru.


Waktu itu, kelangkaan buku kiri tampaknya dimanfaatkan oleh segelintir penjual buku yang terbilang berani. Para penjual buku-buku terlarang mulai memperbanyak bawaan dagangannya. Bahkan, mereka juga menjual buku terlarang tersebut dalam bentuk fotocopi. Dan biar fotocopi, banyak juga yang membeli.


Berjualan buku-buku kiri ketika itu jelas beresiko tinggi. Karena itu cara berjualannya pun bersembunyi-sembunyi. Biasanya buku-buku itu dijajakan dengan cara door to door. Bahkan, para penjual buku kiri ini terkenal dengan julukan “toko buku berjalan.” Penghasilannya cukup lumayan. Bisalah dipakai menghidupi keluarganya meski ala kadarnya.


Dari hitung-hitungan bisnis penerbitan, menerbitkan buku-buku terlarang ketika itu sebetulnya cukup menggiurkan. Pasalnya, buku-buku jenis itu bisa cepat terjual. Namun, dari hitung-hitungan politis, tentu saja seperti itu bisa bikin miris. Tinggi nian resikonya. Disaat Soeharto berkuasa, hanya ada segelincir penerbit yang punya nyali menerbitkan karya-karya kiri. Sebut saja penerbit Hasta Mitra yang didirikan oleh tiga serangkai Pramoedya Ananta Toer, Hasjim Rahman (alm.), dan Joesoef Isak. Penerbit kecil ini kerap mendapat tekanan dari kaki tangan si empunya kekuasaan.


Walaupun demikian, penerbit Hasta Mitra tetap menjalankan bisnisnya. Bagi Hasta Mitra, menerbitkan karya pengarang sekelas Pramoedya merupakan sebuah perjuangan politik. Setidaknya ini dibenarkan oleh Joesoef Isak, editor Hasta Mitra. Menurutnya, selain karena karya Pram terbilang baik, menerbitkan buku karangannya terdorong oleh keinginan lain: menegakkan demokrasi.


Kita sebenarnya ikut menyumbang kebebasan demokrasi,” kata Joesoef kepada DeTAK. Dia Juga bilang, kalau saja Hasta Mitra tidak menerbitkannya, mungkin karya Pram tidak dibaca orang di luar negeri. Pastilah ini sebuah kebanggan bagi penerbit Hasta Mitra. Pasalnya, sekarang ini karya-karya Pram telah diterjemahkan ke dalam hampir dua puluh bahasa di dunia.


Bukan hanya karangan Pram, buku kiri yang sempat beredar di era Soeharto. Banyak karya lain yang tergolong kiri yang juga beredar ketika itu. Sebut saja karya besar Tan Malaka, seperti Gerpolek, Madilog, dan Dari Penjara ke Penjara. Saat itu buku-bukunya beredar dalam bentuk fotocopi. Walaupun begitu, buku-buku tersebut tetap laku, terutama dikalangan mahasiswa.


Kini, ditengah ancaman sweeping, buku-buku kiri dapat diperoleh di toko-toko buku. Namun, buku-buku yang beredar tersebut bukan buku dengan judul baru. Maklum, sebagian besar merupakan revisi dari cetakan lama yang pernah terbit sebelumnya. Hanya, para penerbitnya merupakan pendatang baru. Entah apa yang membuat para penerbit, seperti Lentera, Bentang Budaya, atau Teplok merevisi buku-buku lama.


Lantas, mengapa karya-karya yang tergolong kiri itu menjadi lahan bisnis para penerbit? “Menjual buku seperti karya Pram cepat pulang modalnya,” kata Joesoef menyakinkan.


Rusman dan Ahmad Setiawan (Kini Produser di radio El-Shinta)

Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No. 139 Tahun ke-3, 16-22 Mei 2001

Permisa, Inilah Republik Layar Kaca

Beberapa daerah siap meluncurkan stasiun televisi lokal. Di Riau dan Pematangsiantar stasiun televisi baru telah mengudara. Pengelola media cetak pun berlomba membuat televisi.


Era reformasi berdampak postif bagi dunia media. Sejumlah media, baik media cetak maupun elektronik, bertambah banyak. Belakangan, walaupun terkesan agak lambat, televisi mulai menggebrak dunia bisnis media. Lihat saja yang terjadi di Riau dan Pematangsiantar, Sumatra Utara. Di kedua daerah tersebut telah berdiri stasiun televisi baru.


Stasiun televisi baru di Pematangsiantar pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah setempat. Modalnya tidak terlalu besar. Hanya dengan kocek Rp 400 juta, Pemda setempat dapat memiliki stasiun televisi lokal. Dengan modal sebesar itu memang pengelolaannya masih cenderung menyerupai televisi publik. Namun, kehadiran stasiun televise baru tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat setempat.


Hadirnya stasiun televisi lokal jugha membantu masyarakat untuk menikmati siaran televisi swasta denga jelas. Pasalnya, selama ini masyarakat sukar menangkap siaran televisi swasta. Hal dikarenakan daerah yang terletak di 147 kilometer sebelah selatan Medan ini merupakan daerah pegunungan. Akibatnya, sebelum stasiun televisi baru tersebut mengudara, masyarakat setempat hanya dapat menikmati siaran TVRI. Kini, tanpa menggunakan parabola atau alat digital yang harganya berkisar Rp 4 juta sampat Rp 6 Juta, masyarakat dapat menikmati siaran televisi yang lebih beragam.


Sementara itu, di Pekan baru, Riau, juga mengudara stasiun televisi baru yang diprakarsai oleh sekelompok usaha Riau Pos. Pengelolaan stasiun televisi yang mengudara di gelombang 32 UHF ini dilakukan oleh tenaga kelompok usaha Riau Pos sendiri. Stasiun televisi ini bernama Riau Televison (RTV). Dana yang dikucurkan untuk mendirikan stasiun televisi baru itu sebesar Rp 15 miliar. Belakangan, perusahaan media yang berada dibawah bendera kelompok usaha Jawa Pos ini berencana mendirikan empat stasiun TV baru lagi. Salah satu daerah yang akan dituju adalah Jawa Timur.


Nah, untuk stasiun televisi di Jawa Timur ini, bos Jawa Pos, Dahlan Iskan, telah menyiapkan dana Rp. 50 miliar. Sebenarnya kocek sebesar itu terbilang minim untuk ukuran bisnis televisi. Namun, perusahaan media massa yang memiliki banyak cabang di hampir seluruh daerah di Indonesia ini tetap optimis dengan prospek bisnis barunya.


Kehadiran stasiun televisi baru saat ini merupakan terobosan baru dalam dunia pertelevisian. Soalnya, selama ini terjadi pembatasan jumlah stasiun televisi. Akibatnya, hanya ada enam stasiun televisi yang mendapat izin mengudara. Itulah TVRI, RCTI, AN-Teve, Indosiar, TPI, dan SCTV. Belakangan, setelah terjadi kemudahan perizinan, muncul Metro TV sebagi pendatang baru dalam dunia pertelevisian. Dan tidak lama lagi empat stasiun televisi swasta baru akan mengudara ke hadapan permirsa: Tran TV melintas di gelombang 31 UHF, DVN TV dan 49 UHF, Global TVY di 51 UHF, dan PR TV du 53 UHF. Menurut deadline yang telah ditetapkan, stasiun televisi baru itu harus sudah mengudara selambat-lambatnya 21 Oktober 2001.


Gelagatnya, September tahun ini pemirsa punya pilihan stasiun televisi yang lebih banyak. Lantas, benarkah booming media televisi sedang terjadi di Indonesia?


Terlalu dini mengatakan bahwa kini telah terjadi booming media televisi di Indonesia. Pasalnya, bila dibandingkan dengan negara lain, perkembangan penyiaran televisi di Indonesia masih terbilang lambat. Di Amerika, yang notabene negara adidaya terdapat tiga ribu stasiun televisi. Tetapi disana tidak boleh siaran nasional. Itu mesti Lokal,” kata Sumita Tobing, salah seorang pendiri Metro TV.


Sebagai pembanding, dapat dicatat bahwa di Rumania terdapat sekitar dua ratus stasiun televisi original dan lokal. Di Indonesia baru ada televisi komersial. “Padahal kita di Indonesia dari 32 provinsi sebenarnya harus dibuka peluang untuk mendirikan televisi lokal,” kata Leo Batubara. Namun, menurut pengamat media ini, yang menjadi tantangan adalah soal daya dukung ekonomi.


Agaknya, pendapat itu masuk akal. Pasalnya, untuk mendirikan sebuah stasiun televise yang serba oke dibutuhkan fulus yang tidak sedikit. Tarulah untuk sebuah stasiun televisi dibutuhkan fulus hingga ratusan miliar rupiah. Lihat saja kelompok Kompas-Gramedia yang juga ingin mendirikan stasiun televisi. Diperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan stasiun televisi mereka tidak kurang dari Rp 220 miliar.


Rusman

Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No. 141 Tahun ke-3, 30 Mei-4 Juni 2001

Catatan Gerakan Mahasiswa: Apa Kabar Generasi 1999?

Tuntutan reformasi total menjadi tren pada tahun 1990-an. Tahun 1998 merupakan puncak keberhasilan gerakan mahasiswa. Kini para mahasiswa sedang memberi waktu. Sampai kapan?

Mei 1998, kerusuhan meledak di Jakarta setelah beberapa mahasiswa tewas tertembak dalam peristiwa Trisakti. Lantas, mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, dan Soeharto akhirnya tumbang. Ya, 1998 menjadi puncak mata rantai panjang gerakan perlawanan mahasiswa terhadap Soeharto, yang sudah dimulai pada 1971. Sepanjang tahun 1970-an dipenuhi dengan gelombang perlawanan mahasiswa. Dan tercatat ada dua peristiwa monumental. Pertama, peristiwa Malari, 1974. Demonstrasi menentang modal asing itu berakhir dengan kerusuhan di Jakarta. Ketua Dema UI, Hariman Siregar, akhirnya ditangkap dan dipenjarakan.


Kedua, rangkaian pembubaran dewan mahasiswa, pembredelan pers mahasiswa, penangkapan dan pemenjaraan para tokoh-tokohnya, yang dilanjutkan dengan pemberlakuan NKK/BKK. Pada periode ini, perlawanan mahasiswa sempat mati sejenak. Selama lima tahun setelah itu, kampus steril dari iklim perlawanan terhadap Soeharto.


Tapi memasuki paruh waktu kedua tahun 1980-an, bibit-bibit perlawanan mahasiswa kembali muncul, dalam skala kecil. Akhir 1980-an, demonstrasi mahasiswa melawan Soeharto menjadi membesar, dan terus berlanjut memasuki tahun 1990-an. Dan, ditahun 1998 itulah puncaknya. Soeharto akhirnya jatuh di tangan mahasiswa, yang dulu di tahun 1966 bersama militer ikut membantunya naik ke panggung kekuasaan.


Tahun 1998, setelah perjalanan panjang, mahasiswa tampil lagi menjadi satu pilar kekuatan yang menentukan kejatuhan orang terkuat Orde Baru. Lalu naiklah Habibie. Sebagian kelompok menolak, sebagian lagi mempertanyakannya. Gerakan mahasiswa menunjukkan gejala perpecahan mengikuti friksi di tingkat elit politik yang saling menjegal dan menjagal.


Penolakan yang kuat kepada Habibie menemukan momen puncaknya pada demo besar-besaran atas penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, November 1998. Hasilnya adalah Tragedi Semanggi I. Mahasiswa dan kelompok msayarakat yang mendemo SI MPR berhadapan dengan meliter dan PAM Swakarsa, kelompok milisi yang didukung dan direstui TNI.


Masuk tahun 1999 aksi mahasiswa tidak terlalu gencar. Dan Secara subtansial keberhasilan pun tak begitu besar seperti di tahun 1998. Tetapi, menjelang pertengahan tahun, terlebih ketika penghitungan suara pemilu tidak kunjung kelar, gelombang demontrasi mahasiswa marak kembali. Tuntutan mereka pun makin gencar dengan isu utama sekitar pengadilan Soeharto, krebilitas Habibie, dan penghapusan dwifungsi ABRI. Dan terakhir yang tidak kalah gencarnya adalah tuntutan menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Aksi menentang RUU PKB ini melahirkan Tragedi Semanggi II. Militer menunjukkan cacatnya sendiri dengan penembakan membabi buta kepada khalayak yang sedang melepas lelah di trotoar Jalan Sudirman.


Maraknya aksi mahasiswa tahun 1999 ini juga ditandai oleh tumbuhnya organ-organ gerakan baru di kalangan mahasiswa. Organ gerakan yang muncul pada era ini antara lain KAMMI, Famred, Front Jakarta, Gempur, dan organ gerakan lainnya. Secara jaringan, bisa dikatakan gerakan mereka telah cukup luas jangkauannya. Ada yang menjangkau ke beberapa kota di Indonesia. Bahkan salah satu dari organ gerakan mahasiswa itu telah menebar jaringan sampai ke luar negeri. Ini merupakan suatu hal yang menggembirakan bagi gerakan mahasiswa. Dan tentu merupakan dorongan besar untuk ikut menentukan arah politik.


Dalam rumusan Denny JA, Direktur Eksekutif Yayasan Universitas Jayabaya, gerakan mahasiswa berpeluang untuk turut menciptakan civil society yang hidup dan menghargai keberagaman, dapat mempengaruhi political society yang demokratis, dapat menciptakan governability pemerintahan yang tinggi, dapat menerapkan rule of law yang menjamin kebebasan dan equal opportunity serta mambangun economic society atau ekonomi yang bebas KKN.


Tapi itulah yang oleh mahasiswa sendiri agaknya dianggap belum tercapai. “Reformasi nasih setengah hati,” begitulah suara mahasiswa ketika kekuasaan jatuh ke Habibie. Bagi kalangan gerakan mahasiswa, terbetuknya pemerintahan Habibie dengan kabinet reformasi pembangunannya hanyalah perpanjangan dari kekuasaan lama. Mereka bergerak karena rasa cemas terhadap unsur Soehartoisme. Kemudian tidak mengherankan bila semau elemen gerakan mahsiswa kembali bangkit menentang rezim Habibie ini.


Bagi Haryo Sutioko, Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), gerakan mahasiswa di era 1999 belum mencapai hasil yang optimal dari tujuan reformasi total secara keseluruhan. “Nah, itu masih menjadi pekerjaan rumah buat kita untuk memikirkannya,” kata Haryo kepada DeTAK, Rabu (22/12). Pendapat senada dilontarkan oleh Sarbini, aktivis Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se-Jakarta (FKSMJ). Menurutnya, keberhasilan gerakan mahasiswa di tahun 199 masih jauh dari tujuan reformasi total yang diharapkan oleh banyak orang. Dia pun memberikan penilaian bahwa keberhasilan gerakan mahasiswa di tahun 1999 baru mencapai 25%. “Masih jauh tujuan kita jika kita berbicara tentang reformasi total,” kata Sarbini.


Turunnya Habibie tampaknya merupakan waktu bagi mahasiswa untuk sedikit mengambil napas lega. “Sekarang mereka (mahasiswa, red) akan memberikan waktu dulu kepada pemerintah yang legitimate,” kata J Kristiadi, pengamat CSIS. Pendapat Kristiadi ini dibenarkan oleh Sarbini. “Saat ini kita memberikan toleransi buat pemimpin bangsa untuk melakukan perubahan-perubahan,” katanya. Tetapi dia menambahkan, bila dalam toleransi pemerintahan Gus Dur tidak melakukan perubahan, dapat dipastikan gerakan akan muncul kembali.


BERKORBAN DEMI PERUBAHAN

Sepanjang sejarahnya, sejak tahun 1960-an hingga pengujung tahun 1990-an, gerakan mahasiswa adalah gerakan pendobrak. Dan daya dobrak itulah yang begitu kuat untuk merobohkan kekuatan Orde Baru dan menjadi pembuka bagi gerakan mahasiswa di tahun 1999. Sejak peristiwa yang bersejarah di tahun 1998, para mahasiswa tak henti-hentinya meneriakkan tuntutan reformasi total untuk menembus sumbat kemacetan politik.


Untuk semua itu, mereka sepertinya tak gentar menghadapi berlapis-lapis barisan serdadu, lengkap dengan senjata yang siap melontarkan timah panas kepada siapa saja. Banyak aksi demokrasi mahasiswa berakhir dengan pertumpahan darah. Sudah berpuluh-puluh mahasiswa yang gugur selama tahun 1999, hanya untuk mewujudkan perubahan di negeri tercinta ini.


Entah sudah berapa banyak tragedi yang terjadi. Jika tahun 1998 dan 1999 dibaca dalam satu tarikan napas, kita akan mencatat Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I, sampai tragedi Semanggi II. Dari pengamatan DeTAK saja, dibeberapa daerah termasuk di Jakarta, setiap aksi demontrasi mahasiswa berakhir dengan memakan banyak korban. Di Palembang pada 5 Oktober 1999, aksi demontrasi mahasiswa menewaskan 1 orang di pihak mahasiswa. Pada 22 September 1999, di Jakarta berpuluh-puluh mahasiswa dan massa aksi lainnya terluka akibat bentrok dengan pihak aparat keamanan. Dan di Lampung pada 28 September 1999, aksi demontrasi mahasiswa berakhir dengan memakan korban 46 orang luka tembak dan luka ringan. Belum lagi tragedi kecil lainnya yang terjadi di seantero Nusantara.


Agaknya, aparat keamanan dalam hal ini militer masih mengandalkan tindakan represif dalam menghadapi aksi demontrasi mahasiswa. Menanggapi tindakan represif aparat keamanan disetiap aksi demontrasi mahasiswa itu, J Kristiadi menilai tindakan represif ini tidak dimulai oleh mahasiswa. Menurut pengamat CSIS ini, tindakan represif aparat militer memang tercipta sejak bertahun-tahun lalu. “Bukan karena mahasiswa yang mau, tetapi karena produknya sudah begini,” ujar Kristiadi.


Darah yang muncrat dan nyawa yang malayang agaknya sudah jamak dalam sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Tapi mereka pasti akan turun lagi ketika mereka menganggap sudah saatnya harus turun. Sebab, gerakan reformasi memerlukan benteng moral dan lembaga control yang tidak terkooptasi oleh kepentingan politik praktis. Di Lapangan inilah, pada saatnya, mereka akan kembali tampil. Siapapun yang duduk di kursi pemerintahan.


Rusman

Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No. 75 Tahun ke 2, 28 Desember 199-3 Januari 2000


Apa yang Bisa diharapkan dari Kekuasaan?


Wawancara dengan mendiang Pramoedya Ananta Toer (Satrawan) seputar dengan usulan Gus Dur sebagai presiden untuk mencabut Tap MPRS No 25/1966. Saat itu niat Gus Dur ini sontak mendapat respon dari kalangan para Nadiyin NU. Berikut wawancaranya:

Banyak Kalangan NU menentang pernyataan maaf Gus Dur. Apa pendapat Anda?

Tidak soal. Itu pendapat orang, silahkan. Yang penting adalah dirikan hukum dan keadilan. Bukan maaf-memaafkan seperti itu. Mengembalikan apa yang dirampas saja sampai sekarang belum. Seperti rumah saya, perpustakaan yang dibakari. Naskah-naskah saya yang dibakari. Kan seluruh negara kita tidak bisa membuat naskah saya. Hanya saya sendiri yang bisa buat itu. Saya hanya hidup dari tulisan saya. Itu kan menjadi penghidupan saya. Enak saja ngomong maaf.


Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Semua yang dimaling harus dikembalikan. Logika saya logika orang desa saja.


Jadi, tidak hanya sekedar minta maaf?

Tidak bisa. Negara harus mendirikan hukum dan keadilan untuk rakyatnya. Kalau negara tidak mampu melakukan itu, bubar saja negara. Kembali ke zaman penjajahan. Mungkin lebih sederhana itu dan tidak berbelit-belit seperti sekarang.


Bagaimana bila ini tidak dilakukan pemerintah?

Pemerintah saya rasa tidak akan melakukan apa-apa. Sibuk dengan pribadi masing-masing saja. Yang sudah ditangkap karena korupsi saja dilepas. Apa yang bisa diharapkan. Ini persoalan elite. Yang busuk itu elite, sehingga negeri yang begitu besarnya, negara kepulauan terbesar didunia, bisa dijajah Belanda yang sekecil ini (sambil menunjukkan ujung jarinya).

Elite di negeri ini tidak punya karakter. Kalu saya tidak bicara keras seperti ini, orang tidak akan bangun-bangun. Belanda itu melakukan politik paternalisme. Belanda mengawinkan kolonialisme dan feodalisme pribumi. Karena itu, tidak mengherankan kalu raja-raja Jawa memanggil gubernur jenderal dengan sebutan eyang.

Dari perkawinan ini, lahir anak haram jadah, yaitu sub-kelas yang namanya priyayi. Priyayi ini menjadi pemasok birokrat kolonial. Kalau ke bawah dia menuntut upeti. Kalau keatas menjilat-jilat. Dan moral ini terus berlangsung dalam elite sampai saat ini. Yah, kalau orang mau marah, silahkan.


Bagaimana dengan kondisi orang-orang kiri yang masih hidup sampai sekarang?

Sulit sekali. Kerja sana tidak bisa, kerja sini tidak bisa. Sudah tua untuk memulai yang baru juga berat. Pada umumnya sudah mati.


Tinggal berapa orang yang Anda ketahui?

Tidak sampai 50 persen. Di buku Nyanyian Sunyi saya tulis daftarnya, 40 diantaranya dibunuh oleh angkatan darat. Tidak ada pengusutan sampai sekarang. Apa yang bisa diharapkan dari kekuasaan negeri ini? Saya pernah dibawa orang ke Komnas HAM. Saya berikan buku itu pada Sugiri. Ketika saya berikan buku itu, dia malah menolak, “Jangan, jangan, buku itu dilarang.” Lalu saya bilang, “Memang dilarang, tapi untuk dokumentasi saja Pak.” Tapi, persoalannya, daftar itu tidak menarik perhatian Komnas HAM.


Bagaimana dengan ajaran kiri yang dilarang?

Mereka itu hanya ketakutan dengan ilblis yang diciptakan sendiri. Sebab, Indonesia sampai sekarang secara struktural, hidupnya dengan pengisapan golongan bawah.


Apakah masih ada kemungkinan golongan kiri mendirikan partai?

Ya, mungkin saja, tapi saya bukan juru bicara mereka.


Rusman

Wawancara berlangsung di kediaman Pram di Kawasan Utan Kayu, Jakarta di bulan Maret 2000 dan dipublikasi di Tabloid DeTAK No. 88 Tahun ke 2, 4-10 April 2000



Jumat, 16 Mei 2008

Kekerasan Membayangi Kebebasan Pers

Hari kebebasan pers dunia diperingati di banyak Negara. Bagaimana makna kebebasan pers di Indonesia?

Sepuluh tahun silam, tepatnya 3 Mei 1991, di Kota Windhoek, Namibia, Afrika, sekitar 200 wartawan dari berbagai Negara Afrika berkumpul. Kehadiran mereka awalnya hanya sekedar mendiskusikan problem dunia jurnalistik yang mereka hadapi. Akhirnya diskusi berkembang ke soal kebebasan pers yang dihadapi tiap-tiap Negara. Diujung pertemuan, ke 200 peserta itu mengeluarkan kesepakatan bersama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Deklarasi Windhoek.Kelahiran deklarasi itu hingga kini dicanangkan sebagai hari kebebasan pers dunia.

Deklarasi tersebut memang bersisi keinginan para wartawan tentang tercipatnya masyarakat yang ideal dan masyarakat sipil yang kuat. Mereka menyimpulkan, bahwa untuk mencapai masyarakat ideal seperti itu, kebebasan pers merupakan suatu keniscayaan. Mereka juga menyimpulkan bahwa independensi media serta pluralitas informasi meruapakan satu syarat penting bagi terciptanya suatu masyarakat demokratis. Tampaknya, Atmakusumah Astraatmadja, Ketua Dewan Pers Nasional, sepakat dengan hal ini. “Tanpa kebebasan pers tidak mungkin ada demokrasi,” kata Atmakusumah kepada DeTAK, Jum’at, 4 Mei.

Tema yang dicanangkan dalam peringatan hari kebebasan pers dunia tahun ini adalah dijadikannya 2001 sebagai tahun internasional untuk mobilisasi menentang diskriminasi rasial, senofobia dan ketidaktoleransian yang berkaitan dengan diskriminasi rasial dan senofoia. Boleh jadi tema tersebut merupakan sebuah slogan kampaye. Pasalnya, dibanyak Negara termasuk Indonesia masih terjadi pertentangan rasial. Lantas, apa yang memaknai hari kebebasan pers di Indonesia sendiri?

Tentu saja setiap Negara akan berlainan dalam memaknai hari kebebasan pers ini. Di Indonesia, sejak reformasi bergulir, di saat rezim Soeharto tumbang, media massa tumbuh seperti jamur di musim hujan. Jumlah media massa makin hari makin bertambah banyak. Ini lantaran tidak ada lagi aturan atau semacam izin sebagai syarat untuk mendirikan bisnis penerbitan. Sayangnya, kondisi ini tidak dibarengi dengan terbebasnya pekerja media dari berbagai malapetaka.

Tampaknya, selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini, makna kebebasan pers di Indonesia masih perlu dipertanyakan. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap wartawan misalnya masih terbilang tinggi. Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang Mei 2000 hingga April 2001 terdapat 106 kasus kekerasan, tekanan terhdap wartawan dan media massa. Dari jumlah itu, 48 berupa tekanan fisik, mulai dari pemukulan, pendudukan kantor media serta perusakan kantor media. Dan 56 kasus lain berupa tekanan nonfisik seperti penghinaan, pelecehan, ancaman, larangan, dan terror. Malahan menurut data AJI angka tersebut tidak jauh dengan data sebelumnya. Bahkan AJI menemukan fakta bahwa kualitas tekanan fisik terhadap wartawan dan media semakin tinggi.

Belakangan, dua orang wartawan di Medan dianiaya oleh salah satu satgas PDIP. Celakanya, polisi yang seharusnya menangani secara hukum kasus yang dilakukan oleh massa kerap tidak melakukan apa-apa. Bahkan, dalam banyak kasus polisi menjadi pelaku utama kekerasan. Nah, untuk kasus ini saja terjadi peningkatan. Tahun lalu kekerasan yang dilakukan polisi ada 17 kasus, sementara tahun 2001 meningkat menjadi 18 kasus.

Inilah kondisi riil kebebasan pers di Indonesia. Resiko berat masih saja menghatui para kulit disket. Apakah ini yang dinamakan kebebasan pers?

Rusman
Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No.138 Tahun ke 3, 9-15 Mei 2001

Jumat, 09 Mei 2008

Panduan Sederhana Memilih Lokasi Perumahan

Bagi sebagian orang memilih lokasi perumahan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Memilih lokasi perumahan memerlukan panduan atau trik tersendiri. Jangan sampai ketika kita sudah memilih lokasi perumahan, kemudian hari mendapat masalah yang membuat kepala kita pusing. Apalagi saat ini, bisnis dibidang property sedang ”naik daun”. Banyak developer atau pengembang diawal promosinya sangat manis dengan janji-janji surganya. Untuk itu, jangan cepat percaya dengan isi promosi dari iklan para pengembang. Panduan dibawah ini dapat menjadi acuan kita dalam memilih lokasi perumahan:

Penentuan Lokasi

Ketika menentukan lokasi kita harus jeli mengamati pemgembangan suatu wilayah yang berkaitan erat dengan perkembangan suatu daerah. Disamping itu kita dapat melakukan survey ke lokasi.

Ada beberapa hal yang penting ketika melakukan survey, diantaranya jaringan jalan, lintasan kabel tegangan tinggi, letak sungai besar yang terdekat, letak lintasan kerata api dan yang tak kalah penting adalah melihat rencana pengembangan kota.

Legalitas

Aspek legal menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Kita dapat bertanya langsung kepada pengembang mengenai Copy Sertifikat Induk untuk lokasi perumahan yang akan dipilih. Ini dilakukan untuk memberikan kepastian tentang keabsahan kepemilikan atas tanah, yang nantinya akan dikembangkan menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGM) ataupun Sertifikat Hak Milik (SHM) atas kavling yang dipilih tersebut tidak dalam permasalahan.

Fasilitas Sarana dan Prasarana

Fasilitas sarana dan prasarana yang mesti diketahui adalah:

  1. Fasilitas Umum, seperti jalan lingkungan, saluran drainase/got air hujan, penerangan rumah dan jalan, fasilitas air minum (Jet pump/ Sumur/PAM/ pompa tangan) dan jaringan telepon.
  2. Fasilitas Sosial, seperti rumah ibadah, taman, posko keamanan, balai pertemuan warga dan lain-lain.

Kondisi Rumah

Anda harus jeli dengan informasi yang tertera dalam brosur yang diberikan pengembang. Apakah informasi yang tertera sesuai dengan keadaan rumah yang ingin dimiliki. Tentu saja Anda harus melakukan survey ke lokasi berkaitan dengan kelengkapan kondisi rumah yang akan dipilih. Berikut langkah sederhana yang dapat kita lakukan dalam kegiatan ini:

  1. Lihat bentuk rumah secara keseluruhan, misalnya apakah atapnya lurus, apakah tidak terjadi kemiringan secara keseluruhan bentuk rumah, apakah pemasangan atap dan lispang sudah benar.
  2. Lihat bagian dalam rumah, seperti apakah pintu-pintu dan jendela sudah terpasang rapi dan dapat dikunci, apakah lantai-lantai tidak pecah dan menggelembung, apakah plesteran dinding tidak terdapat keretakan-keretakan, apakah pada bagian atap tidak terdapat kebocoran, apakah kayu-kayu yang dipergunakan sebagai pendukung struktur atap tidak patah atau terserang rayap.
  3. Lakukan pengecekkan terhadap kelengkapan utilitas dan perlengkapan service didalam rumah, seperti apakah saklar-saklar listrik sudah berfungsi dengan baik, terpasang rapi dan aman dari bahaya korsleting/kebakaran, apakah keran-keran air dan saluran pembuangan di kamarmandi/wc dapat mengalir lancar, apakah talang-talang air sudah terpasang dengan rapi dan tidak terdapat kebocoran, apakah saluran air kotor dari dalam rumah dapat mengalir ke saluran drainase perumahan.

Potensi Perkembangan

Kita dapat memprediksi potensi perkembangan dari lokasi perumahan yang akan dipilih. Apakah daerah tersebut nantinya dapat berkembang menjadi kota yang ramai yang didukung dengan fasilitas pendukung lainnya. Apakah fasilitas jalan yang lebar dan lancar tidak mengalami kemacetan yang parah, adanya fasilitas pendidikan dan ibadah, adanya tempat-tempat perdagangan baru (pasar, ruko, supermarket), adanya jalur angkutan umum yang melintasi depan lokasi perumahan tersebut serta fasilitas-fasilitas penting lainnya.

Informasi lain yang mesti didapat adalah apakah lokasi perumahan tersebut kerapkali dilanda banjir karena sistem drainasenya kurang bagus, keamanan yang tidak baik dan lain sebagainya.

rusman
Pernah dipublikasikan di www.bpexp.com April 2006