Jumat, 21 Desember 2012

Museum KAA adakan Edukasi Publik Bertajuk "Bandung Spirit for Palestine"

Di penghujung tahun 2012, guna meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya kalangan generasi muda Kota Bandung, mengenai Sejarah Perjuangan Diplomasi Indonesia dan Solidaritas Rakyat Asia Afrika, Museum KAA, Kementerian Luar Negeri yang didukung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat gelar serangkaian kegiatan edukasi publik yang bertajuk “Bandung Spirit for Palestine”. Mengawali rangkaian kegiatan, pada hari Rabu (26/12) di Ruang Audiovisual Museum KAA, “Culture Festive: Arabian Day” akan hadirkan seni budaya Timur Tengah dan The Beauty of Hijab Workshop pada Pkl. 13.00-16.00WIB. Menyusul pada Pkl. 17.00-20.00WIB, sebuah buku menarik karya R. Garaudy, “Israel dan Praktik Zionisme” akan dibedah secara bersama-sama. “Informasi yang berimbang tentang isu Timur Tengah diharapkan dapat menjawab segala rasa ingin tahu kita selama ini, khususnya kalangan generasi muda”, papar Thomas Siregar, Kepala Museum KAA di Bandung, Kamis (20/12). Tak lupa bagi peminat film genre sejarah, sebuah film kolosal berlatar Timur Tengah, “Kingdom of Heaven” digelar pada Kamis (27/12), Pkl. 13.00-17.00WIB di Ruang Audiovisual Museum KAA. Film akan dikupas tuntas oleh Alfitri Adlin dan Tobing, Jr. dalam diskusi seru yang dimoderasi Adew Habtsa. Masih menurut Thomas, pemutaran dan diskusi film ini diharapkan jadi sarana ampuh guna komunikasikan “Bandung Spirit for Palestine” kepada publik. Pamungkas, Senin (31/12), Pkl. 13.00-17.00WIB di Ruang Pamer Tetap Museum KAA, digelar talkshow “Bandung Spirit: Dulu, Kini & Masa Depan”. Talkshow akan hadirkan narasumber, yaitu Direktur Timur Tengah - Kemlu, Budhyana Kartawidjaja (Pimred. HU Pikiran Rakyat), http://dinasulaeman.wordpress.com/ (Pengamat Hubungan Internasional dan Kajian Timur Tengah) dan Hendrajit (Direktur Eksekutif Global Future Institute) serta Teuku Reza (Dosen Universitas Padjadjaran) sebagai moderator. Pada kesempatan ini juga, pameran foto “Bandung Spirit for Palestine” direncanakan akan dibuka resmi oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Pameran berlangsung hingga akhir Januari 2013 dan terbuka untuk umum. Asal muasal konflik Timur Tengah hingga tercapainya pengakuan Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat disajikan secara apik untuk pengunjung museum. Masih dalam rangkaian akhir kegiatan, Museum KAA sambut malam pergantian tahun 2012-2013 pada Senin (31/12) dengan menawarkan layanan khas “Night at the Museum” kepada masyarakat. Sejak Pkl. 19.00-00.59WIB, masyarakat dapat menikmati sensasi suasana kunjungan museum di malam hari. Selain itu, berbagai pertunjukkan bernafas kebangsaan berupa seni akustik, angklung hingga penampilan teatrikal dan stand aneka kuliner di Selasar Timur Museum KAA akan manjakan pengunjung. Thomas juga mengingatkan bahwa “Bandung Spirit for Palestine” merupakan dukungan negara-negara Asia Afrika yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Asia Afrika terhadap kemerdekaan Palestina sejak Konferensi Asia Afrika 1955 (KAA). Komunike Akhir KAA 1955 dengan tegas nyatakan dan rumuskan bentuk dukungan politik terhadap upaya tercapainya perdamaian di Timur Tengah (Palestina). Wujud dukungan ini terus berlanjut di masa-masa setelahnya. Berbagai bentuk penggalangan dukungan untuk Palestina telah dilakukan Indonesia mulai dari pengiriman Kontingen I Garuda di Perang Arab-Israel (1959), KTT Gerakan Nonblok, NAASP (New Asian-African Strategic Partnership) hingga forum-forum internasional lainnya. Berbasis pada Politik Luar Negeri Bebas Aktif, Indonesia secara konsisten mengawal dukungan perjuangan rakyat Palestina. “Bandung Spirit for Palestine tidak saja bersumber pada Komunike Akhir KAA 1955 namun juga menjadi amanat luhur Pancasila dan UUD 1945. Selain itu di awal kelahirannya, kemerdekaan Indonesia memperoleh pengakuan de jure dari negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam Liga Arab”, pungkas Thomas. Kegiatan ini terbuka untuk umum dan terselenggara dengan semangat kerja sama antara Museum KAA, Kementerian Luar Negeri dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta didukung oleh kalangan komunitas masyarakat, antara lain: Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika (SMKAA), Komunitas Film LayarKita, Asian - African Reading Club (AARC) serta berbagai komponen masyarakat lainnya. (TGR/Kemlu RI)

Rabu, 05 Desember 2012

Mengungsi, Tapi Bukan Pengungsi

Suasana Ardallah, sebuah kota wisata di Palestina, siang itu terasa kelabu.
Halaman kafe Fardous penuh dengan orang-orang dan radio dibunyikan dengan volume penuh.
Terdengar musik mengalun. Mereka semua menantikan berita tentang Sidang Umum PBB yang akan menentukan nasib mereka
.

Tiba-tiba musik berhenti dan terdengar suara penyiar, “PBB telah mengesahkan resolusi terhadap pembagian Palestina.”

Orang-orang tercekat seakan-akan ada orang yang memasang tali gantung ke leher mereka.

Penyiar meneruskan, “Kota suci Jerusalem dan sekitarnya menjadi hak internasional. Mandat Inggris akan berakhir dan Inggris akan pergi Agustus mendatang.”

“Gila!” Yousif mendengar Salman berseru di belakangnya..

“Hasil pemungutan suara yang mengejutkan telah keluar. 33 anggota mendukung resolusi, 3 menolak, dan 10 abstain.”

“Delegasi negara-negara Arab sangat terkejut,” penyiar meneruskan, “melihat bagaimana AS telah memaksa negara-negara lain mendukung pembagian Palestina. Bahkan negara besar seperti Prancis diancam tidak lagi menerima bantuan luar negeri AS kalau tidak mendukung pembagian.”

Kejadian di atas adalah kutipan (dengan sedikit editan untuk mempersingkat) dari novel My Salwa, My Palestine karya penulis Palestina, Ibrahim Fawal. Selanjutnya, tokoh Yousif dan keluarganya serta seluruh penduduk Arab di Ardallah diusir dari rumah-rumah mereka oleh pasukan Zionis dan orang-orang Yahudi yang semula tetangga mereka sendiri. Mereka menempuh perjalanan kaki yang sangat jauh, terpencar-pencar satu sama lain, sebagian jatuh sakit dan meninggal, lalu akhirnya menetap di pengungsian.

Tokoh Yousif dalam novel itu mungkin rekaan semata. Namun, kejadian pengusiran itu nyata dan dicatat dalam sejarah. Segera setelah Resolusi 181 disahkan PBB tahun 1947, kelompok-kelompok sipil militan Yahudi seperti Haganah segera melakukan operasi pengusiran orang Arab dari wilayah yang menjadi ‘jatah’ Israel. Ilan Pappe, sejarawan Yahudi, dalam bukunya menulis bahwa pada 10 Maret 1948, dua bulan sebelum proklamasi “kemerdekaan” Israel, para pemimpin Zionis berkumpul di Tel Aviv dan menyetujui Rencana Dalet. Melalui rencana ini, lebih dari 13 operasi militer bawah tanah dilancarkan. Berikut ini bunyi instruksinya:

Operasi-operasi ini dapat dilaksanakan dalam bentuk berikut ini: menghancurkan desa-desa (dengan membakar, meledakkan, dan menanam ranjau di reruntuhan desa itu)... atau menyisir kawasan pegunungan dan melakukan operasi pengontrolan dengan mengikuti petunjuk ini: mengepung desa-desa dan melakukan pencarian di dalam desa-desa itu. Bila ada perlawanan, kekuatan bersenjata harus dilenyapkan dan penduduk desa diusir hingga keluar dari perbatasan negara.
--Plan Dalet, 10 Maret 1948


Taktik pembersihan etnis Arab oleh Israel antara lain: desa-desa dikepung dari tiga arah dan arah keempat dibuka untuk pelarian dan evakuasi. Dalam beberapa kasus, taktik ini tidak berhasil karena para penduduk desa tetap tinggal di dalam rumah-rumah mereka. Dalam kondisi seperti inilah dilakukan pembunuhan massal. Hingga tahun 1954, total 80% orang Palestina yang tinggal di kawasan ‘jatah’ Israel telah terusir dan hidup di pengungsian hingga kini. Kawasan jatah Israel pun, yang oleh PBB ditetapkan 56,5% kini telah meluas menjadi 77% dan upaya ekspansi terus berlanjut hingga hari ini.

Para pengungsi Palestina melalui musim dingin di tenda-tenda yang disediakan oleh para sularelawan; hampir semua lokasi pengungsian ini akhirnya menjadi tempat tinggal permanen mereka sampai hari ini. Satu-satunya harapan bagi para pengungsi saat itu adalah Resolusi PBB nomor 194 (11 Desember 1948) yang menjanjikan bahwa mereka akan segera dipulangkan ke rumah masing-masing; resolusi itu adalah salah satu dari sekian banyak janji yang dibuat oleh masyarakat internasional untuk bangsa Palestina, yang tidak pernah dilaksanakan hingga hari ini.

Selain itu, ada orang-orang Arab yang masih ‘tersisa’ di dalam wilayah yang menjadi jatah Israel. Mereka kini tercatat sebagai warga Israel, meski sangat didiskriminasi. Untuk mencari nafkah, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang enggan dilakukan warga Yahudi. Israel memang membangun tempat tinggal baru untuk orang-orang Arab itu, tapi di tempat lain, bukan di tanah milik mereka sendiri. Inilah relokasi versi Israel: tanah dan rumah penduduk Arab dirampas, lalu mereka diberi ganti tempat tinggal dengan kondisi yang mengenaskan. Israel menetapkan hukum law of return: mengizinkan orang Yahudi untuk ‘kembali’ dan menjadi warga Israel dengan diberi berbagai fasilitas istimewa; tetapi pada saat yang sama, mengabaikan right of return orang-orang Arab ke tanah dan rumah mereka.

UNHCR mengategorikan orang-orang seperti ini dengan istilah Internally Displaced Person (IDP). IDP tidak sama dengan pengungsi, karena mereka tidak melintas batas negara. Mereka mengungsi (atau tepatnya, diusir dari tempat tinggal asal), dan terpaksa hidup di tempat lain, meski tetap berada dalam wilayah yang sama. Mereka mengungsi, tapi tidak bisa disebut pengungsi. Menurut aturan UNHCR, mereka tetap menjadi tanggung jawab pemerintah Israel, meskipun justru Israel sendiri yang menyebabkan mereka jadi pengungsi. Artinya, kezaliman terhadap IDP tidak bisa diutak-atik orang luar. Untuk membantu pengungsi yang benar-benar pengungsi (refugees), ada banyak organisasi sosial internasional yang bisa turun tangan. Tapi upaya membantu IDP akan bertabrakan dengan tembok ‘kedaulatan negara’ dan jargon ‘dilarang mencampuri urusan internal negara lain.’

IDP bukan hanya ada di Israel. IDMC (The Internal Displacement Monitoring Centre) mencatat, di seluruh dunia ada sekitar 26.400.000 orang yang terpaksa menjadi IDP: secara de jure mereka berstatus warga negara, tetapi secara de facto mereka adalah pengungsi. Mereka adalah korban konflik dan kekerasan di sekitar 60 negara, antara lain Bosnia, Chad, Kolombia, Kongo, Afganistan. Algeria. Angola, Armenia, Azerbaijan, India, Irak, Syria, Kosovo, Somalia, Sudan, Libya, Myanmar, Somalia, dan, jangan kaget, Indonesia.

IDMC mencatat ada 180.000 orang Indonesia yang berstatus IDP. Mereka antara lain berada di Aceh, Makasar, Bima, Maluku, Flores, Poso, Papua, dan Madura. Perhatian pemerintah terhadap mereka sangat minim, bahkan cenderung mengabaikan. Padahal, seharusnya sebagaimana dinyatakan oleh UNHCR, IDP adalah tanggung jawab pemerintah. Warga Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, misalnya, yang pada 26 Agustus diserang dan diusir dari desa mereka oleh kelompok-kelompok fanatik garis keras, hingga kini masih hidup di GOR Sampang. Mereka tidak bisa kembali ke tanah mereka (rumah mereka sudah habis dibakar massa) karena dilarang oleh pemerintah daerahnya sendiri. Beritaprotes.com (2/12/12) merilis berita bahwa GOR Sampang kini menjadi semacam penjara besar untuk hampir 200 orang ‘pengungsi’ (IDP) itu. Akses keluar-masuk GOR dihambat, suplai makanan dan air pun sangat terbatas. Kondisi para pengungsi yang sepertiganya adalah bayi dan balita menjadi kian miris. Berdalih tak punya uang, pemerintah Sampang menghentikan suplai makanan. Bukannya memulihkan hak mereka untuk kembali (right of return) Pemda malah mendesak pengungsi agar mau direlokasi.

Membaca berita ini, agaknya bangsa ini perlu introspeksi diri. Bangsa ini dengan penuh semangat menggalang dana untuk membantu bangsa Palestina yang terjajah, mengirim tim-tim relawan, membangun rumah sakit, dll. Tentu sangat ironis bila di kampung halaman sendiri ada saudara sebangsa yang berstatus IDP. Membela Palestina itu harus, tapi saudara sebangsa yang terzalimi pun jangan sampai diabaikan.


*Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Research Associate of Global Future Institute (GFI)


Jumat, 19 Oktober 2012

Saya Bangga dengan Teman-teman GFI Bisa Melihat Kondisi Global untuk Kepentingan Nasional

Pada hari jadi Global Future Institute (GFI) yang ke-5, tepatnya Kamis, 11 Oktober 2012, tim redaksi The Global Review mendapat kesempatan mewawancarai Indra Sugandi, aktivis Pergerakan Rakyat Semesta (GKRS) di kantor GFI, Wisma Daria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mbak Indra begitu ia disapa, menuturkan pendapatnya seputar terbitan perdana Jurnal The Global Review Quarterly. Berikut wawancara Indra Sugandi dengan Rusman dan Hendrajit : Tanggapan Anda terhadap Isi jurnal The Global Review Quarterly (TGRQ) edisi perdana ini? Saya kagum bahwa ada teman-teman muda saya bisa membahas summit APEC ini secara mendalam dan lengkap. Ini dapat membangkitkan kembali ingatan kita akan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Yang seharusnya kita sebagai bangsa sekarang ini memperkuat posisi strategis di dunia internasional dengan menjabarkan konsepsi politik luar negeri tersebut. Karena itu saya katakan ini sebagai sebuah karya yang keren. Tetapi pertanyaan saya sejauh apa dampaknya kepada para pembaca. Menurut hemat saya, kita, seharusnya sebagai bangsa Indonesia seharusnya mampu memposisikan diri sesuai dengan politik bebas aktif ini di tingkat global. Sejauhmana kita bisa merebut kembali momentum tersebut seperti yang pernah diprakarsai oleh Bung Karno dalam forum Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955, dan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok pada 1961 di Yugoslavia. Bagi saya ini bukan sinisme tapi sebuah harapan ke depan, sehingga politik luar negeri RI yang bebas dan aktif betul-betul bisa digunakan sebagai senjata Indonesia untuk memperkuat posisi strategis Indonesia menghadapi negara-negara lain. Terutama negara-negara adidaya. Anda melihat berapa besar niat pemerintah menerima masukan-masukan seperti yang terbahas dalam jurnal TGRQ ini? Saya melihat belum ada. Dari dua dekade pemerintahan ini, kecuali sebagai individu presiden kita pada saat mengambil kesempatan, hanya sekadar bicara saja tapi bukan pada subtansinya. Dan diplomat kita di luar negeri, saya melihatnya juga hanya sekadar pencitraan belaka. Buktinya pemerintah kita tidak bisa berbuat apa-apa ketika para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri kita mau dipenggal seperti terjadi di Arab Saudi. Data kemarin saja, di Malaysia sekitar 100 orang kabarnya sedang menghadapi hukuman gantung. Ada komentar dari pejabat KBRI di luar negeri kita. “Kami tidak pernah tahu. Kalau kami tahu, kami pasti akan memberi bantuan. Masak kayak gitu sih ngomongnya diplomat kita? Harusnya kan bukan seperti itu. Sebenarnya keberadaan KBRI kita di seluruh dunia kan mestinya mencari tahu adanya kasus semacam itu atau kasus-kasus yang berpotensi terjadinya kasus Ruyati seperti di Arab Saudi. Bukannya setelah kejadian terjadi, baru para diplomat KBRI pada datang, bertindak. Artinya para diplomasi kita hanya bersikap reaktif? Ya terlalu reaktif. Mereka tidak pro aktif. Kembali dengan pendapat Anda dengan isi yang terbahas dalam Jurnal TGRQ? Yang menarik lagi ada dalam artikel dalam jurnal dikutip “And Hatta prescribed the best option for Indonesia to sail between two reefs in which the nation must keep sailing or meet the risks for being shipwrecked on either side. And that is what having till now been called as ” free and active” foreign policy.” Ini sebenarnya yang menjadi esensi tema yang diangkat. Lantas apa harapan Anda untuk terbitan jurnal TGRQ di masa mendatang? Harapan saya mungkin dapat dibuatkan tema berseri seperti di sub judul “Free-Active” in Soekarno’s version. Diperdalam dan dijabarkan dalam sub topik. Dan misalnya lagi , “New Definition of Free and ActiveForeign Policy in GFI’s Version.” Inilah peran strategis yang saya harapkan dimainkan oleh Global Future Institute. Pandangan Anda tentang tema APEC sendiri? Harus diambil momentumnya. Misalnya terjadi dengan Pacific Rim, seperti Cina, yang ingin mendudukkan diri sebaga kekuatan baru. What role of Indonesia can play? ASEAN sendiri saja sudah tidak terdengar sekarang. Intinya APEC harus jadi momentum dan harus direalisasikan. Saya tidak tau harus bagaimana, Karena Indonesia itu akan jadi pusat konsentrasi. Anda melihat momentum APEC ini tidak disadari sebagai kesempatan oleh pemerintah untuk berperan? Bila kita bicara kesadaran, bahasa jawanya harus dioprak-oprak dulu, artinya ini harus terus didorong. Karena kalau kita mengenal sistem pendidikan disekolah, tidak diperkenalkan apa itu Indonesia, wilayahnya itu seperti apa. Kebudayaannya seperti apa. Strategis Indonesia itu seperti apa, padahal letaknya diantara dua samudera dan dua benua. Sehingga tidak menjadikan Indonesia sebagai kebanggaan. Saya sangat bangga dengan teman-teman GFI yang dapat melihat kondisi global untuk kepentingan nasional. Bagaimana Anda melihat komposisi para penulis di jurnal TGRQ ini? Cukup bagus. Namun dari sisi wanita, saya bangga dengan Dina Sulaeman. Saya ingin mengenal lebih dekat. Karena saya lihat tidak semua perempuan dapat menulis dengan kritis seperti dia. (TGR)

Senin, 08 Oktober 2012

Ketegangan AS-Cina di Laut Cina Selatan Meningkat, Bisnis Perdagangan Senjata Meningkat

Penulis : Hendrajit dan Tim Riset Global Future Institute Reuters melansir sebuah berita cukup menarik. Kawasan Asia bakal jadi pasar yang mengundang minat para pengusaha industri strategis pertahanan untuk melempar produknya di kawasana ini. Buat Asia Tenggara, khususnya Indonesia, ini jelas perkembangan yang cukup mencemaskan karena di dalamnya terkait agenda strategis Amerika Serikat untuk meningkatkan eskalasi konfliknya di Asia Tenggara. Apalagi ketika konflik Amerika dan Cina semakin tajam dan berpotensi mengarah pada perang terbuka secara militer dalam dua atau tiga tahun mendatang. Beberapa indikasi sudah terlihat ketika dua perusahaan persenjataan strategis Amerika Lockheed Martin dan Boeing Defense, telah melakukan forcasting atau proyeksi bahwa kawasan Asia akan menyumbang 40 persen dari pendapatan internasional. Berarti, salah satu andalannya diperkirakan adalah di bidang industri strategis pertahanan. Membaca tren global ini, Global Future Institute berpandangan bahwa pada perkembangannya nanti meningkatnya potensi pasar di Asia terkait bisnis persenjataan strategis pada perkembangannya juga terkait dengan semakin menajamnya ketegangnan militer antara Amerika-sekutu-sekutu baratnya versus Cina di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Maka dari itu, kawasan Asia Tenggara terutama ASEAN, kiranya perlu mengantisipasi tren global tersebut. Karena dengan begitu pola ancaman bakal muncul bisa diprediksi sejak awal. Sekadar ilustrasi, mari kita simak Vietnam, yang sekarang ini harus dibaca sebagai sekutu potensial Amerika menghadapi pengaruh Cina yang semakin meluas di kawasan Asia Tenggara. Menurut catatan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), 97 persen persenjataan utamanya, termasuk Fregat, pesawat tempur, dan sistem rudal maritim Bastion- yang selama ini mengandalkan bantuan dan pasokan dari Rusia, dalam waktu mendatang menurut prediksi SIPRI), berencana untuk mengembangkan dan mendiversifikasi sumber-sumber peralatan militer strategisnya dari Belanda dan Amerika. Dalam bacaan Global Future Institute, tren ini bukan sekadar motivasi bisnis semata. Lebih dari itu, juga menggambarkan adanya pergeseran halun politik luar negeri Vietnam yang cenderung “merapat” ke Amerika dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO). Kalau Filipina, jelas tak perlu diragukan lagi kiblatnya ke Amerika. Menurut catatan SIPRI, negara ASEAN yang satu ini mengandalkan 90 persen persenjataan strategisnya dari Amerika. Apalagi dengan kian meningkatnya konflik perbatasan Filipina dengan Cina terkait klaim wilayah di sekitar Laut Cina Selatan, maka dalam 5 tahun mendatang Filipina berencana akan memodernisasikan peralatan militernya. Yang itu artinya, semakin meningkat ketergantungan negara ini pada AS. Thailand, juga tidak kalah gencar dalam menggalakkan modernisasi peralatan militernya, yang tentunya juga untuk mengantisipasi meningkatnya ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Untuk memperkuat kapal patrolionya, negara Gajah Putih tersebut mengandalkan pasokan dari BAE System dari Inggris. Bahkan dalam rencana strategis pertahanan Thailand 5 tahun ke depan, berencana akan memodernisasikan kapal fregat dengan membeli dua kapal. Singapura, meskipun dalam berbagai simulasi skenario Perang terbuka Amerika dan Cina dalam dua tahun ke depan, diragukan kesetiaannya untuk membela AS dan negara-negara barat, namun nyatanya selama ini memberli sebagian besar alat sistem persenjataan strategisnya dari AS, Perancis dan Jerman. Baru-baru ini Singapore telah memesan pesawat jet tempur F-15SG dari Boeing Co di AS, serta dua kapal selam Kelas Archer dari Swedia untuk menambah armada mereka. Sebelumnya, negara kota itu sudah punya empat unit kapal selam Challenger. Walau negerinya kecil, Singapura nyatanya punya anggaran yang melimpah untuk membeli peralatan militer canggih. Menurut IISS(The International Institute for Strategic Studies (Asia), Singapura pada 2011 memiliki anggaran pertahanan sebesar US$9,66 miliar. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari tetangga-tetangganya, yaitu Thailand (US$5,52 miliar), Indonesia (US$5,42 miliar), Malaysia (US$4,54 miliar), dan Vietnam (US$2,66 miliar), ungkap IISS. Sumber: The Global Review

Kamis, 20 September 2012

Hidupkan Kembali Cita-cita Kebangsaan

Bangsa ini harus menghidupkan kembali cita-cita mendirikan Republik Indonesia tahun 1945, terutama dengan mengacu pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan awal pendirian bangsa itu perlu terus dirajut kembali agar bangsa Indonesia tak semakin tersesat arus liberalism politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdul Mun’im DZ dalam diskusi Pra-Musyawarah Nasional NU bertema “Dampak Liberalisasi Politik dalam Sistem Ketatanegaraan dan Hankam”, di Jakarta, Kamis (13/9). Pembicara lainnya adalah penulis buku Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, Wisnu HKP Notonegoro, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute Hendrajit. Mun’im mengajak masyarakat mengevaluasi perjalanan negara dan bangsa Indonesia sampai sejauh ini. Saat ini, elite politik telah melancarkan semangat liberasi hampir dalam semua bidang kehidupan, terutama lewat amandemen UUD 1945. Sebagian hasil amandemen sampai keempat itu justru menjauhkan dari cita-cita awal pendiri bangsa. Otonomi daerah yang kelewat bebas, misalnya, mendekatkan bentuk negara pada system federal. Pemilihan pemimpin dari presiden hingga kepala daerah secara langsung mendorong demokrasi liberal yang berbiaya tinggi dan rentan konflik. Sector-sektor strategis ekomomi justru dikuasai swasta, sementara masyarakat pun menjadi lebih individual. “Keresahan dan penderitaan masyarakat terjadi di semua tingkatan akibat ketidakpastian masa depan. Kedaulatan dan harga diri bangsa merosot serta kita tertinggal dari bangsa lain,” katanya. Untuk mengatasi kondisi ini, bangsa Indonesia perlu kembali ke semangat khitah 1945, terutama dengan mengacu pada kesepakatan para pendiri bangsa berupa Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. “Kita harus membangun bangsa ini sebagaimana cita-cita dan semangat awal untuk bentuk negara Indonesia uang merdeka, berdaulat, menuju masyarakat yang adil dan makmur,” ujarnya. Wisnu HKP Notonegoro menilai, negara telah menyimpang dari cita-cita Proklamasi RI tahun 1945. Dalam era Reformasi saat ini, negara masuk dalam penjajahan neoliberalisme yang dikendalikan asing. “Bahkan, kita menjadi lebih liberal daripada negara Amerika Serikat yang liberalis. Demokrasi tanpa rambu-rambu hukum melahirkan anarkisme,” katanya. Hendrajit mengingatkan agar lebih hati-hati mencermati skema global yang bisa jadi memperlemah bangsa lewat berbagai agenda internasional. “Jangan terkecoh, apalagi sampai terpecah belah sehingga justru saling melemahkan,” ujarnya. Sumber: Koran KOMPAS

Sabtu, 01 September 2012

DAMPAK PERTIKAIAN GLOBAL: SIKAP POLITIK DAN REVOLUSI INDUSTRI DI INDONESIA (Sebuah Telaah Geopolitik)

Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute dan M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institue Pointers Usulan Global Future Institute (GFI) dalam Focus Group Discussion yang Diselenggarakan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI Tanggal 30/8/2012, di Hotel Akmani, Jalan KH Wahid Hasyim No 91, Jakarta Pusat. 1. Geopolitik Global dan Isyarat Pergeserannya Kajian strategis Deep Stoat yang tetap valid hingga kini tentang perpolitikan ialah “If you would understand world geopolitics today, follow the oil”. Inilah sebab akibat dinamika global. Barang siapa ingin memahami geopolitik maka ikuti fluktuasi minyak dan telusuri sumber energi. Oleh karena hampir semua simpul kepentingan terutama politik akan bertemu serta beradu kuat disitu. Kiranya asumsi itu harus dijadikan sebagai alat guna mengurai isue-isue aktual, terutama mencari asal darimana serta kemana arus geopolitik bergerak dan berujung. Dan agaknya asumsi tadi justru semakin menebalkan tesis Sir Halford Mackider, pakar geopolitik Inggris abad ke-19 yang membagi atau mengklasifikasikan dunia dalam “Empat Kawasan”. Kawasan I disebut Heartland atau World Island, atau “Jantung Dunia” meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah; Kawasan II adalah Marginal Lands terdiri atas Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina; Kawasan III dinamai Desert (Padang Pasir) adalah Afrika Utara; dan Kawasan IV istilahnya Island or Outer Continents meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia. Inti tesis Mackinder menyebut, siapa negara menguasai Kawasan Heartland atau “Jantung Dunia” yang mempunyai kandungan sumberdaya alam (SDA) dan mineral melimpah ruah, niscaya menuju “Global Imperium”. Menjadi wajar ketika banyak negara di kawasan ini selalu dihujani konflik-konflik (“ciptaan”) tak kunjung usai. Dalam kajian politik, conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Itulah modus kolonial semenjak dulu, dan sering ia menebar penyesatan (alih perhatian), baik dalam bentuk konflik ataupun gerakan-gerakan “massa” lainnya di permukaan, agar tujuan utama tak terpantau. Cermatan GFI tentang “Empat Kawasan”-nya Mackinder, tampaknya sudah tidak akurat lagi. Hal ini terbaca melalui Smart Power-nya Partai Demokrat, Amerika Serikat (AS) via Arab Spring ternyata juga menggoyang negara-negara Afrika Utara seperti Libya, Tunisia, Yaman yang nota bene merupakan Kawasan Padang Pasir/Tandus (Desert), bukan Kawasan “Jantung Dunia” sebagaimana rekomendasi Mackinder. GFI mengendus, justru AS dan sekutu kini tengah menerapkan teori Toni Cartalucci, Research Assosciate di Central for Research on Globalization (CRG), Montreal, Kanada. Adapun bunyi asumsinya: “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia”. Menafsir asumsi Cartalucci di atas: barang siapa ingin menguasai dunia maka (Langkah I) harus menguasai dulu Timur Tengah. Inilah salah satu Kawasan Heartland selain Asia Tengah yang dirujuk oleh Mackinder. Dan jika Langkah I berhasil maka automaticly mengakibatkan “mati”-nya Cina dan Rusia (Langkah II), maka hasilnya ialah menguasai dunia. Itulah benang merah teori tersebut. Tak boleh dipungkiri, bahwa cengkeraman Uncle Sam terhadap beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, EUA, Oman, dan Qatar via Dewan Kerjasama Teluk (GCC) sejak 1979-an ---sebagaimana isyarat Cartalucci--- terbukti unggul dalam hal dominasi minyak dunia. Hingga sekarang GCC dianggap “pabrik dolar” terbesar AS karena selain hampir setiap 10 menit kapal-kapal tanker berlayar membawa 40% minyak dunia, atau sekitar 90% ekspor minyak dari kelompok GCC dan negeri sekitarnya. Yang paling utama adalah setiap transaksi minyaknya menggunakan US Dollar. Itulah Langkah I menurut teori Cartalucci. Beberapa pertanyaan muncul: Kenapa Rusia dan Cina tidak juga “mati” bahkan semakin menggeliat meskipun sebagian negara di Timur Tengah (GCC) telah dikendalikan oleh AS; seberapa besarkah ketergantungan Cina-Rusia pada Timur Tengah, dan mengapa musti “mati” --- kata teori tadi --- jika Timur Tengah dikuasai negara lain? Tidak dijelaskan oleh Cartalucci. Agaknya ia lupa, bahwa Rusia kini sudah menjadi Autarky (negara swasembada) seperti halnya Kanada. Artinya kecil sekali kadar ketergantungannya terhadap negara lain. Justru Cina meski kemajuan ekonomi dan militernya relatif signifikan namun masih tergantung impor. Mengkaji tafsiran di atas, hipotesa GFI mengatakan semata-mata karena ENERGI tetap sebagai kunci skema bagi setiap manuver apapun, terutama militer. Merujuk kajian Deep Stoat, Kawasan Heartland dulu bahkan sampai sekarang masih dianggap titik tolak geopolitik global sebab merupakan basis produsen minyak dan gas alam dunia, meskipun dalam perkembangannya banyak jajaran negara Afrika Utara, Amerika Latin dan Rusia telah menjadi Net Oil Exporter. Perkembangan aktual perpolitikan internasional kini mengisyaratkan, bahwa ada pergeseran sentral geopolitik dari Kawasan Timur Tengah (Jantung Dunia) menuju ke Asia Tenggara, khususnya Laut Cina Selatan. Persoalan apakah Uncle Sam berubah stratetegi ingin langsung menerapkan Langkah II-nya Cartalucci, dan kenapa ia mulai meninggalkan Langkah I yang belum tuntas, tidak akan dibahas dalam makalah ini. Tetapi isyarat peralihan tersebut terlihat dari beberapa indikasi, yakni selain AS ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara, kemungkinan besar ditujukan kepada Cina, ia juga menyatakan akan memperluas pengaturan militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura. Menteri Pertahanan (Menhan) AS Leon Panetta, di depan para Menhan ASEAN mendukung pembentukan ASEAN Security Community tahun 2015 dan menganjurkan ada “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang berkekuatan hukum terkait Laut Cina Selatan. Yang paling kentara dan mengejutkan ialah rencana menggeser 60% armada tempur ke Asia Pasifik. 2. Isue dan Dampak Regional Kompleksitas pertikaian wilayah di Laut Cina Selatan, disinyalir memang bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, namun persoalan lain pun bercampur, seperti hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi serta explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, dan lain-lain. Garis besar pertikaian kepulauan di atas bisa digolongkan, (1) Kep Paracel: antara Cina versus Taiwan, (2) Kep Spratly: antara Cina versus beberapa negara yakni Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam dan Brunai Darussalam. Cina pun sebenarnya sedang ribut dengan Philipina terkait Dangkalan Scarborough Shoal, juga berkonflik melawan Jepang soal Pulau Dioayu atau Senkaku, dan lainnya. Adapun mapping konflik secara detail meliputi Cina - Vietnam, Filipina - Malaysia, Filipina - Taiwan, Filipina - Cina, Malaysia - Vietnam, Filipina - Vietnam, Malaysia - Brunai, Taiwan - Cina dan Indonesia - Cina. Kendati langkah-langkah diplomasi sering digelar baik bilateral maupun multilateral, namun sepertinya “jalan ditempat”. Oleh sebab benang merah konflik berkait erat dengan National Interest atau Kepentingan Nasional masing-masing guna mewujudkan kedaulatan serta (hegemoni) jaminan keamanan pelayaran dan explorasi SDA. Forum ASEAN pun seperti mandul karena sebatas mediasi bukan mengurus soal demarkasi atau tapal batas. Dimana ada negara yang rela Kepentingan Nasionalnya direngut orang lain? Secara politis ketegangan di antara negara-negara kawasan tersebut cenderung meningkat karena miskinnya win-win solution. Semua yang terlibat pertikaian saling klaim, merasa paling benar sendiri. Urgensi geografis Laut Cina Selatan yang vital dalam “pergeseran” geopolitik global, meniscayakan penyelesaian sengketa Kepulauan Paracel dan Spartly ke depan akan terus terkendala. Bahkan diduga keras isue konflik teritorial bakal menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka (Perang Dunia III?) di Laut Cina Selatan. Dan tampaknya “suhu panas” ini akan mempengaruhi negara-negara di sekitar wilayah sengketa. Secara proximatis geografi, posisi Indonesia sangat dekat dengan Laut Cina Selatan baik dalam konteks Asia Tenggara, ASEAN maupun Asia Pasifik. Dan diperkirakan situasi panas tersebut berlangsung lama mengingat negara-negara yang terlibat konflik selain menunggu “momentum”, juga masing-masing upaya antisipasifnya semakin intensif dan terbuka, terutama AS dan sekutu versus Cina dkk. Sudah barang tentu kondisi tersebut akan mempengaruhi sikap politik dan kebijakan negeri di sekeliling terutama Indonesia yang saat ini tengah berproses dalam Masterplan Percepatan, Perluasan dan Peningkatan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Inilah faktor eksternal yang mutlak dicermati dalam melanjutkan MP3EI. 3. Empowerment Geopolitik dalam MP3EI Semoga posisi geografis Indonesia yang konon cukup strategis di antara dua benua dan dua samudera, bukan sekedar “angin sorga” bagi bangsa ini sebagaimana tertulis di buku-buku sekolah, oleh karena para elit dan pemangku kepentingan dalam MP3EI tidak tahu bagaimana mengaplikasikan. Dibanding Iran yang hanya memiliki Selat Hormuz tetapi menggegerkan dunia cuma melalui ancaman menutup selat “basah” tersebut. Atau Syria misalnya, meski minyaknya tidak sekaya Libya, Irak dan lainnya namun diperebutkan banyak adidaya karena urgensi geopolitik pipeline dan geostrategy possition. Itulah contoh sederhana pemahaman dan geopolitic awareness. Retorikanya, bagaimana seandainya Selat Lombok, Selat Malaka, Selat Sunda atau selat-selat lainnya ditutup selama sebulan untuk latihan gabungan TNI-Polri dalam rangka memerangi terorisme perairan? Banyak negara tergantung dengan selat dan perairan Indonesia. Sekitar 40% perdagangan dunia melalui perairan nusantara, seperti Australia, Cina, New Zealand, Singapore, Malaysia, Korea, Jepang bahkan negara-negara di Kawasan Heartland karena terkait distribusi dan transportasi minyak ke berbagai negara. Dari diskusi terbatas di Forum Kepentingan Nasional RI (KENARI) pimpinan Dirgo D Purbo, tercatat bahwa 80% APBN Australia tergantung Indonesia. Demikian pula negeri tetangga lainnya. Bahkan 85% lebih APBN Singapore konon tergantung dari republik tercinta ini. Terkait program MP3EI, seyogyanya faktor geopolitik menjadi rujukan utama bagi para pemangku kepentingan terutama pihak yang berkompeten memaksimalkan peran geopolitik, karena pengelolaan yang baik selain mengoptimalkan output dan outcome, faktor posisi geografi jika diberdayakan bisa menjadi geopolitic weapon terutama bagi negara-negara lain yang sangat tergantung perairan Indonesia. Hakiki Kebijakan Luar Negeri merupakan the extension domestic affairs sehingga implementasi MP3EI harus mudah dikemas dalam satu paket terintegrasi ke investor asing. Misalnya ada daerah yang sudah memberikan kemudahan disana-sini serta benar-benar membuka peluang bagi investor ternyata terkendala justru di tingkat pusat karena faktor “warna Parpol”. Ini yang harus diantisipasi. Selain itu program-program MP3EI harus mengantisipasi perang ekonomi sebagai akibat bergesernya geopolitik dari Timur Tengah ke Asia Tenggara. Artinya jika tidak berpijak geopolitik dan karakter landas kontinen Indonesia, dikhawatirkan justru memposisikan Indonesia sebagai proxy economic war, malah memberi leluasa kepentingan Barat seperti yang kini tengah berlangsung, misalnya negara agraris dengan curah hujan tinggi namun mengimpor kedelai, singkong, beras, kopi dan lainnya. Atau negara (kepulauan) kelautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia tetapi mengimpor garam, ikan dan lainnya. Betapa ironis. Masalah penempatan marinir AS di Darwin, dan penempatan kapal-kapal perang AS di Singapore, apakah langkah MP3EI sudah mengantispasi hal tersebut? Ataukah sudah ada kontruksi mengelola Selat Sunda sehubungan akan semakin memanasnya situasi karena Selat Malaka telah dikuasai oleh AS dan sekutu? Termasuk memberdayakan selat-selat dan perairan Indonesia dalam rangka memberantas illegal logging, narkoba, trafficking in person, dan lainnya. Demikian sekilas pemberdayaan geopoitik dalam menjalankan MP3EI. 4. Korupsi dan Revolusi Industri Tak dapat dipungkiri, korupsi di Indonesia sebenarnya hanya sebuah modus, tema atau tata cara dari sebuah kolonialisme model baru. Maraknya korupsi di Indonesia karena diciptakan oleh sistem serta didukung aturan dan perundang-undangan (UU) yang dirombak pada awal reformasi dahulu. Ketika sistem yang kini berjalan justru mendorong perilaku koruptif, seperti otonomi daerah, multi partai, pemilu langsung, one man one vote, politik pencitraan dan lain-lainnya, maka seratus pun --- bahkan seribu lembaga seperti KPK tidak akan mampu membendung korupsi. GFI pada akhir 2011 menyatakan, bahwa dengan model demokrasi Indonesia saat ini yang berkuasa adalah kaum pemodal. Ya, korupsi di Indonesia sengaja diciptakan melalui sistem oleh kolonialisme global. Permasalahan bangsa ini ada di hulu (sistem), tetapi segenap komponen dan anak bangsa selama ini sepertinya “tertipu”, ya memang benar-benar tertipu! Karena malah memerangi persoalan-persoalan di hilir belaka. Oleh media, khususnya media mainstream perhatian publik sering digiring pada dinamika kasus-kasus, peristiwa fenomenal, unjuk rasa, pola pemberantasan, seminar atau debatisasi di berbagai media justru membuat “bingung” rakyat: mana yang salah dan siapa benar? Media terkesan menjadi sarana adu domba antar pakar dan segenap elit di negeri ini. Cermatan GFI, selain korupsi merupakan methode dari sebuah kolonialisme juga mampu menjadi infotaimen menarik berating tinggi di media, namun substansinya nihil dalam solusi berbangsa dan bernegara. Para tokoh, pakar dan pejabat-pejabat yang berkompeten terjebak dalam dialog-dialog emosi, saling memaki, mengelak atau menyebar fitnah kesana-kemari. Korupsi sebagai “alat menyerbu” Indonesia memang efektif, selain menyentuh sisi paling vital dalam kehidupan berbangsa yaitu mental, moral dan keuangan negara, juga tersirat ruh adu domba disana-sini. Inilah yang kini tengah berlangsung. Sebagai methode dari (sistem) kolonialisme gaya baru di tanah air, korupsi mutlak harus dikontra serentak, sistematis, dan dilakukan secara gegap gempita di berbagai lapisan masyarakat, bahkan pemerintah itu sendiri. Sejarah mengajarkan, bahwa kemajuan suatu negara diawali dari revolusi industri. Revolusi industri membuat negara terkapar namun rakyat diuntungkan pada satu sisi, sangat berbeda dengan korupsi, selain negara dan rakyat (terkapar) dirugikan, korupsi merupakan “cermin buruk” sekaligus potret memalukan sebuah bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia. Inti revolusi industri adalah kebebasan warga negara berekspresi memenuhi kebutuhan sedang peran negara bersifat melindungi, mengarahkan dan mengawasi. Selanjutnya setelah hasil dari dinamika warga tersebut diekspor baru negara mengenakan pajak atas hasil karyanya. Seperti di Cina, selain negara memberi modal dan fasilitas juga mencarikan pasar bagi komoditi yang dihasilkan oleh karya warganya. Sedangkan hakiki revolusi industri ialah menghindari jerat ketergantungan apapun! sekali lagi revolusi industri menghindari ketergantungan bidang apa saja dan dari negara mana saja, baik pangan, teknologi, energi dan lain-lain. Kita adalah bangsa besar dan maju cuma saat ini tengah terbelenggu oleh sistem ciptaan asing! Terimakasih Jakarta, 30 Agustus 2012

Jumat, 06 April 2012

Memakmurkan Rakyat di Hari Nelayan Nasional

Oleh: Rudini Sirat
(Sumber: Iran Indonesian Radio)
UU Asuransi Kesehatan Menjadi Ajang Perang Segi Tiga Kekuasaan di AS
Dukungan Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman Amerika atas hukum yang dikeluarkan pengadilan, masalah konfrontasi pemerintah dengan Mahkamah Agung terkait asuransi kesehatan semakin meningkat. Eric Holder, Jaksa Agung AS saat menjawab permintaan seorang hakim federal mengatakan, "Pemerintah Amerika menghormati keputusan pengadilan." Tapi pada saat yang sama ia berusaha menjelaskan ucapan kontroversi Barack Obama, Presiden Amerika soal kritikannya atas Pengadilan Tinggi Federal yang tampaknya akan membatalkan undang-undang asuransi kesehatan, masih sesuai dengan aturan yang ada.

Saat ini ada 9 hakim Pengadilan Tinggi Federal yang tengah membahas pengaduan 26 negara bagian Amerika terhadap pemerintah Federal. Dalam pengaduan ini disebutkan bahwa reformasi undang-undang asuransi kesehatan yang dikenal dengan Obamacare bertentangan dengan UUD. Mereka yang mengajukan pengaduan meyakini bahwa pemerintah Federal tidak berhak memaksa warga membeli sebuah produk dan siapa saja yang melanggar harus ditindak. Dalam undang-undang yang tengah diupayakan agar segera diratifikasi oleh Obama pada tahun 2010, semua warga Amerika diwajibkan harus memiliki asuransi kesehatan, bila tidak maka mereka akan ditindak. UU ini kontan membuat marah kubu konservatif AS. Mereka berusaha lewat Kongres atau Pengadilan Tinggi Federal untuk melawan Presiden Obama.

Sementara itu, Pengadilan Tinggi Federal punya peran sangat menentukan sebagai lembaga yang memiliki otoritas menafsirkan UUD AS. Lembaga ini juga menjadi tempat terakhir proses sebuah pengadilan di AS dan keputusannya mengikat. Dengan alasan ini, bila pada bulan Juni, mayoritas dari 9 hakim Pengadilan Tinggi Federal sepakat membatalkan UU asuransi kesehatan, maka Gedung Putih dan partai Demokrat yang berada di Kongres tidak punya pilihan lain, kecuali tunduk pada keputusan itu.

Hal ini menyebabkan Barack Obama dalam sebuah reaksi yang tidak biasanya, menyebut para hakim Pengadilan Tinggi Federal sebagai Judicial Activism (Aktivis Hukum). Padahal mereka tengah membahas sebuah masalah hukum. Istilah Judicial Activism biasanya dipakai untuk keputusan yang dikeluarkan berdasarkan kepentingan pribadi atau politik.

Para pengritik Obama menyebut ungkapan yang dipakai presiden sebagai penghinaan terhadap hakim-hakim tinggi di negara ini. Sementara Obama mengatakan bahwa mereka yang disebutnya (hakim-hakim Pengadilan Tinggi Federal) tidak boleh menyoal suara dari wakil-wakil rakyat di Kongres.

Saat ini masalah asuransi kesehatan yang tampaknya masalah spesifik dan teknis telah menjadi ajang pamer kekuatan lembaga-lembaga tinggi negara Amerika. Kubu Liberal yang mendukung reformasi UU asuransi kesehatan ini berada di balik lembaga eksekutif dan legislatif yang dipilih oleh rakyat. Dengan cara ini mereka berusaha untuk mempertahankan satu dari UU paling kontroversi di AS selama setengah abad terakhir. Sementara kelompok konservatif dan lembaga yudikatif diwakili oleh Pengadilan Tinggi Federal. Mereka memiliki kartu truf, karena berdasarkan UUD AS, Pengadilan Tinggi Federal memiliki kekuasaan untuk membatalkan seluruh UU yang diratifikasi oleh lembaga eksekutif dan tata tertib pemerintah.

Bila kubu Liberal memenangkan perang besar ini, selain menyelamatkan asuransi kesehatan nasional, mereka dapat meningkatkan kekuatan pemerintah AS dari sebelunya. Tapi bila mereka kalah, dan kubu konservatif yang memenangkan perang besar ini, bukan hanya 40 juta warga AS yang tidak mendapat asuransi kesehatan, tapi teori "pemerintah sejahtera" bakal semakin ditinggalkan. (IRIB Indonesia)

Jumat, 27 Januari 2012

Sejarah "Ianfu" Diakui Pemerintah Indonesia

Penulis: EkaHindra-Peneliti Independen "Ianfu" Indonesia

Pengantar redaksi: artikel ini disarikan dari Sejarah Nasional Indonesia yang khusus berkaitan dengan Ianfu Indonesia oleh EkaHindra, Peneliti Independen "Ianfu" Indonesia. Selamat membaca artikel penting ini. Sejak tahun 2007 telah dibentuk tim untuk melakukan revisi untuk penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang terdiri dari VI jilid. Khusus jilid ke IV periode Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia (1942-1998) terdapat uraian fakta-fakta baru mengenai hal yang sangat penting diketahui masyarakat Indonesia tentang adanya “Ianfu”, yaitu perempuan-perempuan yang dipaksa menjadi budak seks militer Jepang 1942-1945.

Dengan dimaksukannya materi “Ianfu” Ini, diharapakan masyarakat Indonesia akan mengetahui dengan jelas masa periode Jepang mengenai mobilisasi tenaga kerja paksa tidak hanya terjadi di kalangan laki-laki, tetapi juga dikalangan perempuan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan seksual militer Jepang. Dari sini jelas sekali perempuan muda masa itu sangat menderita baik secara fisik dan mental. Mereka bukalah Pekerja Seks Komersial tetapi sebagai Budak Seks yang dipaksakan. Bagaimana pemaksaan pemerkosaan yang menyentuh fisik dan mental secara keji dalam tergambar jelas dalam tulisan masalah “Ianfu” pada bagian Jilid VI ini.

Sejarahwan Rochmani Santoso sebagai salah satu tim yang khusus menulis soal “Ianfu” menyatakan bahwa dirinya bersyukur bisa menemukan sumber-sumber yang akurat yang diambil dan dipelajari dari buku buku terbitan di Indonesia yang berjudul “Momoye; Mereka Memanggilku”; 2007 (EkaHindra dan Koichi Kimura) dan juga “Derita Paksa Perempuan”;1997 (Budi Hartono dan Dadang Juliantoro). Lebih lanjut Rochmani menyatakan bahwa tanpa adanya kesulitan bisa menuliskan lebih panjang penderitaan para perempuan Indonesia baik secara fisik dan mental pada jaman pendudukan Jepang. Sehingga diharapkan tulisan ini bisa menyentuh hati nurani pemerintah Indonesia untuk memperhatikan nasib para survivor “Ianfu” dengan cara memberikan santunan dan memulihkan Hak Asasinya oleh karena usia lanjut mereka.

Buku Sejarah Nasional Indonesia terbit pertama kali tahun 1974 dibawah pimpinan Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoenet Poesponegoro. Buku perguruan tinggi di Indonesia sebagai acuan sumber Sejarah Nasional Indonesia. Namun sejak orde baru tumbang buku ini untuk sementara tidak diterbitkan lagi. Sebagai gantinya muncul buku pelajaran sejarah yang baru, namun buku tersebut menuai kritikan publik karena pro-kontra mengenai peristiwa 65 yang berujung pada penarikan buku ini dari peredaran oleh pemerintah Indonesia.

Menyikapi hal ini Balai Pustaka sebagai pemegang lisensi dari penerbitan buku Sejarah Nasional Indonesia mengambil inisiatif untuk menampilkan kembali buku Sejarah Nasional Indonesia yang sempat dipetieskan paska orde baru dengan materi-materi sejarah baru yang telah dimutakhirkan.

Memasuki tahun 2009 akhirnya terbit buku Sejarah Nasional Indonesia edisi pemutakhiran yang memuat materi “Ianfu”. Ini merupakan langkah besar pemerintah Indonesia untuk mengakui bahwa “Ianfu” sebagai sistem perbudakan seksual militer Jepang telah diakui sebagai bagian dari Sejarah Nasional Indonesia. Dengan demikian generasi muda Indonesia bisa mempelajari persoalan “Ianfu” dari buku diterbitkan sebagai buku pedoman Sejarah Nasional Indonesia.

Diakui Rochmani baru masuknya materi “Ianfu” dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia oleh karena terakhir revisi dilakukan sekitar tahun 1980-an. Pada masa itu kasus “Ianfu” belum muncul ke publik. Kasus “Ianfu” pertama kali ramai dipublikasikan dunia Internasional tahun 1991 pada saat Kim Hak Soon seorang survivor dari Korea Selatan dengan lantang bersaksi bahwa ia adalah korban kebrutalan sistem perbudakan seksual militer Jepang pada waktu peringatan 50 tahun pengeboman Pearl Harbor. Sedangkan kemunculan kasus “Ianfu” di Indonesia mencuat pertama kali tahun 1992 setelah seorang Teolog Jepang Dr. Koichi Kimura berhasil mewawancarai Tuminah, “Ianfu” dari Solo, Jawa Tengah.

Lahirnya buku ini menjadi lonceng keras pengingat bagi pemerintah Indonesia bahwa soal “Ianfu” sudah diakui resmi sebagai bagian sejarah besar bangsa Indonesia. Sudah semestinya pemerintah Indonesia membuat langkah kongkrit dan strategis memperjuangkan keadilan bagi para “Ianfu” Indonesia di meja diplomatik berhadapan dengan pemerintah Jepang.