Kamis, 20 Oktober 2011

Press Release Buku: Japanese Militarism and its War Crimes in Asia Pacific

Sejarah Kelam Militerisme Jepang di Indonesia dibuka kembali. Begitulah semangat dan gagasan di balik buku karya Hendrajit (Ed) terbitan Global Future Institute. Buku ini akan diluncurkan pada Hari Rabu 28 September 2011, Pukul 18.30 WIB di Wisma Daria, Iskandarsyah Raya No. 7, Kebayoran-Baru, Jakarta Selatan.

Buku ini sejatinya merupakan kolaborasi internasional untuk meminta pertanggungjawaban Pemerintah Jepang atas kejahatan-kejahatannya yang mereka lakukan ketika menjajah negara-negara di kawasan Asia Pacifik seperti Indonesia, Malaysia, Singapore, Filipina, Birma, Korea, dan Cina.

Buku yang bermula dari Seminar Mengungkap Sejarah Kelam Militerisme Jepang di Indonesia dan Asia Pasifik Oktober 2010 lalu, terungkap bahwa dalam masa 3,5 tahun Masa Penjajahannya di Indonesia antara 1942-1945, ternyata daya rusaknya terhadap masyarakat Indonesia tidak kalah besarnya dengan masa 350 tahun Penjajahan Belanda.

Perbudakan Seks (Jugun Ianfu), Buruh Paksa (Romusha) dan Wajib Militer Paksa (Heiho), merupakan tiga kejahatan perang Jepang yang dampaknya tetap tidak bisa dihilangkan dari para korban yang mengalaminya pada era tersebut.

Dan semua kejahatan perang tersebut, sebagaimana diuraikan oleh tim penulis buku ini, bisa terjadi karena restu dan bahkan legitimasi moral dari Pemerintahan Fasime-Militerisme Jepang pada masa Perang Dunia II.

Eka Hindrati, salah seorang kontributor buku ini sekaligus yang memotori okasi para korban kekejaman pemerintahan colonial Jepang di Indonesia, khsuusnya dalam soal Ianfu (praktek perbudakan sex) yang direstui para penguasa militer Jepang Indonesia antara 1942-1945, menegaskan bahwa Sebetulnya advokasi memperjuangkan korban-korban kejahatan Jepang dalam Perang Dunia II sudah berlangsung lama, dimana pertama kali ditemukan kasus ianfu pada tahun 1992 oleh Pak Koichi Kimura yang kemudian terus bergulir.

Dan pemerintah Indonesia mulai sadar terhadap kasus ianfu ini. Selanjutnya pada tahun 1993 Asosiasi Masyarakat Jepang datang ke Indonesia untuk meminta masukan ke beberapa NGO di Indonesia yang waktu itu adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Jakarta Lawyers Club. Dan kemudian terus bergulir ke media dan akhirnya sampai ke Departemen Sosial, yang sekarang adalah Kementerian Sosial. Dan kemensos telah membuat pernyataan di Harian Merdeka bahwa kasus ianfu harus digali. Semenjak itulah penelusuran kasus ianfu dimulai.

Sayangnya menurut Eka Hindrati, kasus ini oleh berbagai kalangan di Indonesia dianggap kasus sepele dan bersifat masa lalu. Padahal, kasus Ianfu dan juga kasus Romusha sebagai bagian dari Kejahatan Perang Jepang di Indonesia, sejatinya merupakan isu politik dan ekonomi. Karenanya para korban ketiga kasus kejahatan perang Jepang ini harus diperjuangkan baik rehabilitisasi reputasinya di tengah masyarakat maupun kompensasi atas penderitaannya yang tak terperikan akibat perbudakan sekssual, Romusha maupun Heih, yang dilakukan oleh para personil tentara Jepang di Indonesia waktu itu.

Pada tataran inilah, Global Future Institute memprakarsai proyek penulisan buku ini, sebagai wujud kepedulian berbagai elemen strategis masyarkaat Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban Pemerintah Jepang terhadap para korban dan keluarganya yang telah mengalami derita penindasan terkait Ianfu, Romusha dan Heiho.

Dan pada saat yang sama, kami dari Global Future Institute mengundang beberapa mitra strategis kami dari luar negeri seperti Dr Koichi Kimura dari Jepang, Wartawati Belanda Hilde Jansen, Dr Albert Jansen dari Cina, Peneliti Sosial-Politik LP3ES Rahadi Teguh Wiratama, Peneliti Romusha Anugrah Saputra, Peneliti Independen Ianfu Indonesia Eka Hindrati, Peneliti Sosial hubungan bilateral Indoensia-Jepang Hendri F Isnaeni, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute Hendrajit.

Buku ini, selain membedah dan melacak sepak-terjang dan kejahatan perang Jepang di Indonesia dan beberapa negara Asia eks koloni Jepang, juga secara khusus membahas karakteristik militerisme-fasisme Jepang itu sendiri yang lahir di era 1930-an. Sekaligus juga membahas secara khusus akar-akar militerisme Jepang yang melekat di dalam konstitusi Jepang maupun pola budaya yang menempatkan kesetiaan dan pengorbanan total warga masyarakat Jepang di hadapan Kaisar Jepang.

Melalui buku ini juga, dari dimensi politik internasional dibahas berbagai kemungkinan dan potensi bangkitnya kembali militerisme Jepang, atau setidaknya postur angkatan bersenjata Jepang yang lebih agresif di masa depan, mengingat adanya kekhawatiran bersama antara Amerika Serikat dan Jepang terhadap bangkitnya Cina sebagai negara adidaya di bidang ekonomi dan militer.

Berkaitan dengan gagasan di balik proyek penerbitan buku ini, kami dengan segala hormat dan kerendahan hati bermaksud mengundang teman-teman redaksi dari berbagai media massa baik cetak, elektronik maupun online, untuk hadir dan meliput Peluncuran Buku sebagaimana tercantum di awal press release tersebut.

Hormat Kami


Hendrajit
Direktur Eskekutif Global Future Institute