Senin, 09 Juni 2008

Masa Gus Dus seperti Soeharto atau Habibie?

Yusron Zaenuri adalah korban pembantain Tanjungpriok, pada 12 September 1984. Yusron, yang tertembak dadanya, di pengadilan justru divonis penjara 1 tahun karena terbukti ikut berdemonstrasi dan melawan petugas, Hingga kini, dia masih menuntut agar kasus itu dituntaskan. ”kan mungkin saja Soeharto yang nyuruh,” katanya ketika ditemui DeTAK, Kamis (24/2).

Tablig Akbar pada bulan-bulan itu di Tanjungpriok memang sangat marak. Sebelum tanggal 12 September, beberapa kali memang dilakukan tabliq akbar sehubungan dengan UU tentang asas tunggal atau kasus jilbab. Hal seperti itu ditanggapi betul masyarakat Priok.

Pada 12 Sepetember itu Yusron hadir di pengajian, di jalan Sindang Raya. Massanya tak hanya dari Priok, tapi juga dari Jabotabek. Pembicaranya antara lain Syarifin Maloko, Pratono, Yayan Inderayana, dan terakhir yang kapasitasnya bukan sebagai penceramah adalah Amir Biki.

Amir Biki hanya sebagai tokoh masyarakat. Beliau naik ke mimbar dan menyatakan kepada massa bahwa ada 4 orang jemaah pengurus musalah as-Sa’adah dan Baitul Makmur yang ditahan Kodim. Dari atas mimbar, Amir meminta kepada aparat agar mereka dibebaskan. Dengan Ultimatum, jika sampai pukul 23.00 tidak dibebaskan, massa yang hadir pada malam itu akan bersama-sama meminta.

Ternyata sampai pukul 23.00 tidak dibebaskan. Akhirnya, massa bergerak dan dibagi dua, dipimpin oleh Amir Biki. Satu menuju ke arah Koja dan satu menuju Kodim. saya ikut bergerak ke arah Kodim. Belum sampai Kodim, jaraknya masih sekitar 5 kilo lagi, tepatnya di depan Polres, kami sudah dihadang, Tentara membuat barisan menutup jalan, dengan posisi siap tembak. Jarak antara kami dan petugas sekitar sampai 10 meter. Kami berhenti. Jadi, tidak ada perlawanan. Massa hanya bertakbir.

Tapi tiba-tiba, tanpa tembakan peringatan, mereka menembak ke arah massa. Banyak yang kena. Saya sendiri tidak tahu kapan tertembak. Saya menyuruh teman-teman untuk tiarap. Ketika saya pegang dada kiri, sudah berlumuran darah. Ternyata badan saya sudah berlubang-lubang. Ada seseoarang di dekat saya yang hendak melarikan diri. Saya ingatkan supaya tidak lari. Betul saja, begitu bangun dia langsung ditembak.

Kemudian tembakan mereda. Dari arah utara menuju selatan, mobil tentara datang. Saya yakin betul-karena melihat sendiri-bagaimana mobil tentara melindas massa yang masaih tiarap. Berapa meter setelah melewati massa, barulah berhenti.

Mereka lalu memilah mana yang masih hidup dan mati. Waktu itu saya tidak pingsan, tapi saya pura-pura mati. Kepala saya sempat diinjak dan akan ditembak lagi. Karena takdir Allah, peluru meleset. Setelah mereka yakin saya mati, saya dilemparkan dua orang ke atas truk. Korban hanya ditumpuk. Ada yang mati dan ada yang masih hidup. Dari situ kami dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat). Di RSPAD itulah saya berteriak bahwa saya masih hidup. Kemudian saya diseret dan dibawa ke ruangan. Dada saya ditambal, tidak dioperasi. Bagian-bagian lubang dijahit. Kalau tidak salah, salah satu yang menangani adalah dokter Sutopo.

Setelah tiga bulan dirawat di sana, kami digiring ke rumah tahanan militer (RTM), Cimanggis. Sebelumnya dibawa ke Guntur untuk diinterogasi.

Saya masih memakai baju rumah sakit dan masih banyak perban di tubuh. Perlakuan pada saya tidak terlalu kasar meskipun tendangan dan pukulan sempat mendarat. Tidak separah teman-teman yang lain, yang mengaku dijadikan bola. Di Guntur hanya sehari. Di RTM Cimanggis, kurang lebih di bulan. Itu pun tanpa ada pemberitahuan kepada keluarga. Saya baru bertemu dengan orang tua setelah tiga bulan kejadian.

Di pengadilan, saya divonis satu tahun. Tanggal 17 Agustus 1985 saya bebas. Tidak lama setelah itu, pada saat pengadilan HR Darsono, saya dengar kabar bahwa saya dianggap bisa menjadi saksi yang berbahaya. Malam itu juga saya berinisiatif meninggalkan rumah. Ternyata benar, pagi-pagi petugas datang ke rumah.

Pak lurah juga ikut sibuk mencari saya. Bahkan dia membawa mobil dan berjanji kepada orang tua saya, asal saya tidak memberikan kesaksian. Itu cara yang halus. Yang kasar, rumah saya setiap hari dijaga intel. Pembicaraan apapun disadap.

Sejak saat itu, di antara teman-teman, saya yang paling aktif menuntut kasus ini diungkap kembali. Bukan masalah dendam, tapi keadilan harus ditegakkan. Pemimpin sudah berganti dan kasus ini tetap tak tuntas. Dulu Soeharto diganti Habibie, tenyata begitu juga. Habibie tidak bisa menyelesaikan. Masa Gus Dur juga akan seperti itu?

Menurut saya, pelaku utama tentu saja komandan Kodim karena dia tidak koordinasi dengan Polres. Ketika saya disidangkan, Butarbutar (Dandim Jakarta Utara) tidak berani memberikan kesaksian. Kedua, Try Soetrisno sebagai Pangdam Jaya. Dia pasti sangat mengetahui prakondisi saat itu, tapi membiarkan atau bahkan mendorong. Pada saat kejadian, Benny Moerdani (Pangab) juga mengetahui. Paling tidak, tiga orang itulah yang harus diminta keterangan. Apakah itu di DPR, di Komnas HAM, atau di Kejaksaan. Apakah Try atas perintah Pangab? Atau mungkin atas perintah Pangap? Kan, mungkin saja Seoharto yang menyuruh.

Rusman
Tulisan berdasarkan wawancara dengan Yusron Zaenuri, Korban Tragedi Tangjungpriok. Telah terpublikasi di Tabloid DeTAK No. 83 Tahun ke-2, 29 Februari-6 Maret 2000.

Tidak ada komentar: