Rabu, 02 April 2008

Satu Pemimpin, Satu Wangsit

Dari generasi ke generasi masyarakat adat kasepuhan tetap memelihara tradisi. Untuk menentukan pemimpin, juga untuk membuat keputusan penting, mereka masih mengandalkan isyarat langit. Inilah bagian kekayaan budaya dari salah satu "penghuni" Gunung Halimun Selatan.

Di kaki Gunung Halimun Selatan tersembunyi beberapa dusun. Di antaranya ada Dusun Cicemet, Sirnaresmi dan Ciptarasa. Masyarakat di tengah belantara itu, seperti galibnya masyarakat adat Sunda, tetap menjalankan "adat kasepuhan" alias tata cara warisan leluhur mereka. Listrik dan televisi memang sudah merasuk ke taman nasional di Sukabumi itu. Namun, tradisi yang terwariskan masih terus dijalankan.

Masyarakat adat itu bermukim di tempat yang biasa disebut lembur atau pilemburan. Permukiman mereka berpencaran di antara bebukitan. Dusun yang satu menjalin pergaulan dengan dusun lainnya.

Di dusun-dusun itu hidup pula aneka kesenian. Misalnya saja wayang golek, tari topeng dan tari jipeng. Ada pula pantun, tutukrojot, debus dan angklung. Semua hiburan biasa digelar tiap kali diselenggarakan perhelatan besar semisal serah taun atau seren taun, upacara untuk mensyukuri hasil panen yang baik dan melimpah.

Tabu-tabu tetap dituruti. Tak ada rumah beratap genting. Tak pernah dalam setahun padi ditanam hingga dua kali. Tak pernah sawah ditanami dengan bibit dari luar dusun. Juga tak ada ceritanya penduduk menjual padi. "Semua itu amanat leluhur," kata Abah Anom, pemuka adat kasepuhan.

Bila ada yang melanggar tabu, sanksinya tak langsung dijatuhkan oleh pemuka adat. Mereka percaya, sanksi pasti datang dengan sendirinya berupa penyakit atau kutukan dari para leluhur mereka. Melanggar tabu berarti kuwalat, dan bisa berakibat gawat.

Hutan bagi masyarakat kasepuhan dijadikan tempat yang keramat. Masyarakat kasepuhan percaya bahwa hutan ada penghuninya. Sehingga ada larangan menebang pohon yang besar. Bila larangan ini dilanggar, biasanya sipenebang akan mengalami sakit.

Masyarakat kasepuhan memiliki legenda yang unik. Mereka percaya bahwa harimau jawa atau Lodaya dan Sancang bukan hewan sembarangan. Misalnya Lodaya, dianggap oleh masyarakat sebagai harimau titisan dewa. Sedangkan Sancang sebagai harimau jawa biasa yang lebih rendah dari Lodaya. Hewan ini dapat berkomunikasi dengan beberapa penduduk dengan cara mistik.

PEMIMPIN DAN WANGSIT

Abah Anom adalah julukan bagi pemimpin masyarakat adat kasepuhan. Nama sebenarnya dari Abah Anom yang sekarang adalah AE Sucipta S. Usianya baru 35 tahun. Dalam sejarah dusun-dusun di kaki gunung itu, ia adalah pemimpin adat yang kedelapan.

Tata cara menentukan pemimpin juga tak berubah dari generasi ke generasi. "Abah menjadi pemimpin kasepuhan tidak dipilih oleh masyarakat. Tapi atas wangsit yang datang pada ayah abah," kata Abah Anom.

Wangsit adalah semacam ilham yang datangnya tidak terduga dan diluar kuasa manusia. Itu mungkin sejenis isyarat langit yang dipercaya para pengikut Abah Anom. Selama wangsit belum terbersit, pemimpin baru tak bisa diakui. Konon, di antara ketujuh pemimpin terdahulu mereka, ada yang menjalankan kepemimpinannya hingga 175 tahun lamanya.

Abah Anom jauh lebih tangguh dari Presiden di negeri ini. Tak pernah ada yang mempertanyakan hak prerogatif Si Abah untuk mengangkat atau memecat para pembantunya. Si Abah sendirilah yang langsung mengangkat siapa saja yang dinilai layak duduk dalam kabinetnya. Dan, sudah pasti, tiap-tiap pembantunya punya keahlian tersendiri, semisal di bidang agama, pertanian, dan keamanan. Utusan Si Abah banyak juga. Katanya, ia punya utusan sebanyak 567 orang yang tersebar di berbagai dusun masyarakat adat kasepuhan. Di Cicemet saja, tempat isteri keduanya bermukim, ada 28 orang utusannya.

Menjadi seorang Abah Anom berarti mesti menganut agama Sunda Wiwitan. Kata Abah Anom, kepercayaan sunda wiwitan merupakan agama yang "sudah diislamkan, sudah dikristenkan, sudah dikatolikkan, dan sudah dibudhakan". Uniknya, warga kasepuhan sendiri diberi kebebasan untuk memilih agama yang dikehendaki mereka. Umumnya, masyarakat kasepuhan memeluk Islam. Isteri dan anak-anak Abah Anom memeluk Islam pula.

Ibadat Sunda Wiwitan dilakukan satu kali sehari tiap pukul duabelas malam. Di tengah malam itulah, Abah Anom mendekatkan diri kepada tuhannya. Ia bersembahyang dengan cara bersemedi di sebuah ruangan khusus di rumahnya sendiri.

WANGSIT DAN PERMUKIMAN

Wangsit tidak hanya berlaku dalam memilih pemimpin adat. Isyarat langit itu pun bisa berlaku untuk menentukan tempat permukiman baru. Masyarakat ini pada hakikatnya memang masih menjalani pola hidup berpindah-pindah. "Bila tiba-tiba datang wangsit untuk pindah, kita harus pindah," papar Abah Anom. "Secara lahir sebetulnya perpindahan itu yang ditakutkan Abah."

Konon, masyarakat kasepuhan pada mulanya adalah bagian dari masyarakat Baduy. Namun, mereka keluar memisahkan diri dari masyarakat utamanya. Alasan utama adalah karena ada wangsit yang datang pada mereka. Perpindahan merupakan suatu yang harus dijalani oleh Masyarakat Kasepuhan. Mulanya dari Banten mereka berpindah ke daerah Guradok Kaler, Bogor. Kemudian mereka berpindah ke daerah Gongkok Citoreng. Dari daerah Gongkok Citoreng akhirnya mereka pindah ke Lebak Binong. Generasi selanjutnya berpindah ke daerah Sirna Resmi dan kemudian Sirna Rasa sampai Linggarjati, Sukabumi. Akhirnya, sejak tahun 1984 hingga kini Abah Anom bermukim di dusun Cipta Rasa. (sekitar 2 tahun setelah tulisan ini dipublikasikan tidak lagi di Cipta Rasa)

Bila terjadi perpindahan, tidak semua warga harus ikut ke tempat pemukiman yang baru. Seorang Abah Anom tidak memaksa pengikutnya agar pindah ke pemukiman yang baru. Semua diserahkan kepada pengikutnya untuk memilih, tinggal atau ikut tempat yang baru. "Abah tidak bisa memaksa mereka. Mereka kan punya hak memilih," kata Abah Anom lagi.

Inilah sekelumit kehidupan masyarakat adat Kasepuhan dari waktu ke waktu. Mereka sangat percaya dengan kebiasaan para leluhurnya. Harapan akhir mungkin, semoga kekayaan budaya tidak pupus oleh zaman. Apapun, mereka adalah bagian dari kekayaan yang ada di Gunung Halimun.

rusman

Tulisan ini pernah dipublikasi di Tabloid DeTAK tahun 2000, setelah mengikuti kunjungan ke Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat.

Tidak ada komentar: