Selasa, 01 April 2008

Pemburu! Pemburu!


Harimau Sumatera terancam punah. Pemburu liar kian merajalela menembakinya untuk menambang uang. Bagaimana menyelamatkan satwa langka itu?

Nun di pedalaman belantara Sumatera, pemburuan terhadap satwa langka terus merajalela. Adalah harimau Sumatera (panthera tigris sumatera) salah satu di antara penghuni belantara yang malang itu. Hasil penelitian World Wild Fund (WWF) Indonesia menunjukkan, selama tahun 1998 saja, sebanyak 66 ekor harimau Sumatera binasa akibat pemburuan.

"Pemburuan harus dihentikan!” seru Agus Purnomo, Direktur Eksekutif WWF Indonesia, dalam konferensi pers, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Ya, itulah seruan untuk menghalau ancaman terhadap harimau tidak hanya di Indonesia, tapi juga di beberapa negara lainnya. Lihatlah, dari Asia Selatan—sebut saja: India—hingga Asia Tenggara, jumlah populasi harimau kian berkurang. Kalaupun ada harimau yang masih mampu bertahan, paling-paling di Cina dan Rusia. Diperkirakan, populasi harimau di seluruh dunia hanya tinggal 5.000 hingga 7.500 ekor.

MENGANCAM TAMAN NASIONAL

Indonesia memiliki 3 di antara 8 subspesies harimau yang telah diketahui. Ketiganya adalah harimau Jawa (panthera tigris sondaica), harimau Bali (panthera tigris balica), dan harimau Sumatera. Namun, kini harimau Jawa dan harimau Bali telah dianggap punah oleh pakar lingkungan. Yang tinggal hanya harimau Sumatera. Itu pun kondisinya sudah sangat memprihatinkan.

Ihwal kian langkanya harimau Sumatera, Neil Franklin, Technical Advisor The Tiger Foundation, sebuah yayasan yang berkonsentrasi pada kegiatan penelitian harimau di Way Kambas, Lampung, membenarkan bahwa memang terjadi ancaman kepunahan terhadap harimau Sumatera. Menurut aktivis lingkungan yang sudah empat tahun berada di Indonesia ini, pemburuan terhadap harimau Sumatera akan terus jadi ancaman serius bila tak cepat-cepat dihentikan. “Pemburuan harimau itu sudah berlebihan sekali,” kata pria berkebangsaan Inggris ini kepada DëTAK.

Sementara itu, Koes Saparjadi, Direktur Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar Departemen Kehutanan, berpendapat bahwa ancaman terhadap satwa langka ini memang terjadi. Tapi, menurutnya, ancaman punah sama sekali memang tidak seperti anggapan banyak orang. "Harimau itu masih ada karena di daerah konservasi masih ada," sangkal Koes Saparjadi kepada DëTAK, Rabu (29/12). Walaupun telah ada daerah konservasi yang dapat melindungi harimau Sumatera ini, bukan berarti petugas hutan menutup mata terhadap aktifitas para pemburu liar.

Data dari WWF menunjukkan, pemburuan harimau Sumatera kian merajalela. Pada periode 1988—1992, diperkirakan paling sedikit 5 ekor harimau Sumatera diburu saban tahun. Diperkirakan pula, populasi harimau Sumatera yang masih hidup di belantara Sumatera hanya sekitar 400 ekor. Sementara berdasarkan pengamatan pada tahun 1972—1975 dan survai pada tahun 1978, diperkirakan masih ada sekitar 1.000 ekor harimau Sumatera yang tersebar di delapan provinsi Sumatera. Dapat dibayangkan selama kurun waktu 14 tahun sekitar 600 ekor harimau Sumatera hilang dari habibatnya di hutan.

Begitu memprihatinkan memang ancaman terhadap si kucing besar ini. Apalagi sekarang pemburuan liar terhadap harimau Sumatera juga berlangsung di beberapa taman nasional di kawasan Sumatera. Padahal, taman nasional merupakan kawasan konservasi yang terlarang bagi para pemburu ilegal. "Para pemburu itu mau menangkap di mana lagi," keluh Agus Purnomo kepada DëTAK, Selasa (28/12). Padahal, menurut dia, saat ini taman nasional merupakan tempat konsentrasi populasi terakhir harimau Sumatera yang tersisa.

Koes Saparjadi juga membenarkan adanya ancaman serius terhadap taman nasional. "Memang saat ini populasi harimau yang terancam itu ada di taman nasional," katanya kepada DëTAK. Apa sebab sampai taman nasional terancam? Menurut Koes Saparjadi, terjadinya pemburuan di taman nasional antara lain dikarenakan petugas yang menjaga hutan sangat terbatas. "Kalau kita mengandalkan jagawana (petugas hutan, red), kita memang kerepotan. Kita sebetulnya mengharapkan ada pressure dari masyarakat untuk mencegah orang-orang yang berburu," harap Koes.

Lantas, apa yang akan dilakukan? Jelas, perlu tindakan tepat dan cepat menghadapi kawanan pemburu. Bila perlu, jatuhkan sanksi berat biar mereka jera. Namun, sialnya, justru tindakan serupa itu yang selama ini sama langkanya dengan harimau Sumatera. Memang sudah undang-undang yang dapat dikenakan terhadap para pemburuan ilegal, tapi nyatanya mereka tak dibikin takut. "Di situ (UU No 5 tahun 1997, red), ada ancaman pidana yang maksimum 5 tahun atau 7 tahun, kena denda, dan sebagainya," ujar Koes. Tapi ia juga mengakui bahwa selama ini belum pernah ada pemburu yang terjerat dengan sanksi-sanksi yang berat. "Sanksi itu masih relatif ringan," imbuh Koes.

KOMODITAS MAHAL

WWF juga memergoki, pemburuan terhadap harimau Sumatera bertujuan untuk memasok secara ilegal kebutuhan pasar tulang dan kulit mamalia besar ini. Tulang si macan antara lain biasa dijadikan bahan obat tradisional. Kulitnya juga suka dijadikan hiasan. Sebagai gambaran, antara 1970 dan 1993, Korea Selatan diketahui mengimpor sebanyak 3.994 kilogram tulang harimau dari Indonesia. Saat itu Indonesia jadi negara pengekspor terbesar, yang menyediakan 44,5% pasokan dibandingkan dengan 11 negara pengeskpor lainnya. Sedangkan menurut dokumen Bea Cukai Taiwan, pada tahun 1984 Indonesia juga telah mengekspor tulang harimau sebanyak 100 kilogram ke negara itu.

Agus Purnomo membenarkan adanya penjualan tubuh harimau ke luar negeri. Menurut dia, umumnya para pembeli dari luar negeri berasal dari negara-negara Asia, seperti Korea Selatan, Korea Utara, Taiwan, Hongkong, dan Cina. "Memang khususnya seperti harimau itu, banyak orang mencari tulangnya, mencari giginya dan mencari kukunya untuk digunakan sebagai obat-obatan," ungkap Agus.

Perdagangan domestik juga punya andil dalam pemburuan itu. Di sini beberapa bagian tubuh harimau, seperti taring, kumis, kuku, dan potongan kulit—terutama kulit bagian kening—dianggap memiliki kekuatan magis. Perdagangannya relatif bebas. Bahkan kulit harimau Sumatera dijual bebas di mal-mal. Namun, Koes Saparjadi menyangkalnya. “Sebetulnya tidak bebas, tetapi belum sempat kita tangani,” katanya.

Namanya saja binatang langka, tentu mahal harganya. Taringnya saja, misalnya, biasanya diperjual-belikan dengan harga antara Rp300.000 dan Rp500.000 per buah, sedangkan kukunya diperdagangkan antara Rp20.000 sampai Rp50.000 perbuah. Dan di beberapa toko emas di Jambi, harga kuku harimau Sumatera biasanya disesuaikan dengan harga emas yang mengikatnya sebagai kalung. Bisnis yang menggiurkan itulah agaknya yang mendorong banyak orang berlomba-lomba memburu si kucing besar ini.

Kini WWF Indonesia tengah mengupayakan law enforcement. “Kita berharap sanksi hukum tidak hanya ditimpakan kepada para pemburunya, tapi juga anggota masyarakat yang memperjual-belikannya,” tandas Agus Purnomo. Dia bilang, pihaknya telah pula mendaftar nama-nama pemburu dan penjualnya. Sayang, Agus ogah memberitahukannya kepada pers. “Saya sudah serahkan datanya kepada Departemen Kehutanan sebagai penanggung jawab konservasi satwa yang dilindungi itu,” tambahnya.

Bagaimana sikap otoritas kehutanan? “Data itu, kan, masih bersifat dugaan. Tapi nama-nama itu juga kita informasikan ke kanwil-kamwil yang ada di Sumatera. Dengan begitu, petugas-petugas kita nanti di lapangan bisa punya arah untuk mengusut lebih lanjut,” janji Koes Saparjadi.

Selain itu, Agus Purnomo mengingatkan, ancaman terhadap harimau Sumatera tidak hanya diakibatkan oleh pemburuan ilegal. Berkurangnya populasi harimau Sumatera juga disebabkan kian sepitnya habibat hutan. Itu sebabnya Agus pun mengusulkan dilakukan pengetatan terhadap kepemilikan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dengan begitu, hutan sebagai habibat tempat harimau Sumatera melakukan reproduksi tak terancam.

Sebegitu jauh, solusinya memang masih menggelayut di angan-angan. Dan harimau-harimau malang itu terus saja diganggu para pemburu. Di sana, nun di pedalaman Sumatera.


rusman

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Tabloid DeTAK tahun 2000. Ucapkan terimakasih kepada Kang Hawe Setiawan yang tulus mengkoreksi tulisan ini ketika sama-sama masih bekerja.

Tidak ada komentar: