Sabtu, 24 Mei 2008

Permisa, Inilah Republik Layar Kaca

Beberapa daerah siap meluncurkan stasiun televisi lokal. Di Riau dan Pematangsiantar stasiun televisi baru telah mengudara. Pengelola media cetak pun berlomba membuat televisi.


Era reformasi berdampak postif bagi dunia media. Sejumlah media, baik media cetak maupun elektronik, bertambah banyak. Belakangan, walaupun terkesan agak lambat, televisi mulai menggebrak dunia bisnis media. Lihat saja yang terjadi di Riau dan Pematangsiantar, Sumatra Utara. Di kedua daerah tersebut telah berdiri stasiun televisi baru.


Stasiun televisi baru di Pematangsiantar pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah setempat. Modalnya tidak terlalu besar. Hanya dengan kocek Rp 400 juta, Pemda setempat dapat memiliki stasiun televisi lokal. Dengan modal sebesar itu memang pengelolaannya masih cenderung menyerupai televisi publik. Namun, kehadiran stasiun televise baru tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat setempat.


Hadirnya stasiun televisi lokal jugha membantu masyarakat untuk menikmati siaran televisi swasta denga jelas. Pasalnya, selama ini masyarakat sukar menangkap siaran televisi swasta. Hal dikarenakan daerah yang terletak di 147 kilometer sebelah selatan Medan ini merupakan daerah pegunungan. Akibatnya, sebelum stasiun televisi baru tersebut mengudara, masyarakat setempat hanya dapat menikmati siaran TVRI. Kini, tanpa menggunakan parabola atau alat digital yang harganya berkisar Rp 4 juta sampat Rp 6 Juta, masyarakat dapat menikmati siaran televisi yang lebih beragam.


Sementara itu, di Pekan baru, Riau, juga mengudara stasiun televisi baru yang diprakarsai oleh sekelompok usaha Riau Pos. Pengelolaan stasiun televisi yang mengudara di gelombang 32 UHF ini dilakukan oleh tenaga kelompok usaha Riau Pos sendiri. Stasiun televisi ini bernama Riau Televison (RTV). Dana yang dikucurkan untuk mendirikan stasiun televisi baru itu sebesar Rp 15 miliar. Belakangan, perusahaan media yang berada dibawah bendera kelompok usaha Jawa Pos ini berencana mendirikan empat stasiun TV baru lagi. Salah satu daerah yang akan dituju adalah Jawa Timur.


Nah, untuk stasiun televisi di Jawa Timur ini, bos Jawa Pos, Dahlan Iskan, telah menyiapkan dana Rp. 50 miliar. Sebenarnya kocek sebesar itu terbilang minim untuk ukuran bisnis televisi. Namun, perusahaan media massa yang memiliki banyak cabang di hampir seluruh daerah di Indonesia ini tetap optimis dengan prospek bisnis barunya.


Kehadiran stasiun televisi baru saat ini merupakan terobosan baru dalam dunia pertelevisian. Soalnya, selama ini terjadi pembatasan jumlah stasiun televisi. Akibatnya, hanya ada enam stasiun televisi yang mendapat izin mengudara. Itulah TVRI, RCTI, AN-Teve, Indosiar, TPI, dan SCTV. Belakangan, setelah terjadi kemudahan perizinan, muncul Metro TV sebagi pendatang baru dalam dunia pertelevisian. Dan tidak lama lagi empat stasiun televisi swasta baru akan mengudara ke hadapan permirsa: Tran TV melintas di gelombang 31 UHF, DVN TV dan 49 UHF, Global TVY di 51 UHF, dan PR TV du 53 UHF. Menurut deadline yang telah ditetapkan, stasiun televisi baru itu harus sudah mengudara selambat-lambatnya 21 Oktober 2001.


Gelagatnya, September tahun ini pemirsa punya pilihan stasiun televisi yang lebih banyak. Lantas, benarkah booming media televisi sedang terjadi di Indonesia?


Terlalu dini mengatakan bahwa kini telah terjadi booming media televisi di Indonesia. Pasalnya, bila dibandingkan dengan negara lain, perkembangan penyiaran televisi di Indonesia masih terbilang lambat. Di Amerika, yang notabene negara adidaya terdapat tiga ribu stasiun televisi. Tetapi disana tidak boleh siaran nasional. Itu mesti Lokal,” kata Sumita Tobing, salah seorang pendiri Metro TV.


Sebagai pembanding, dapat dicatat bahwa di Rumania terdapat sekitar dua ratus stasiun televisi original dan lokal. Di Indonesia baru ada televisi komersial. “Padahal kita di Indonesia dari 32 provinsi sebenarnya harus dibuka peluang untuk mendirikan televisi lokal,” kata Leo Batubara. Namun, menurut pengamat media ini, yang menjadi tantangan adalah soal daya dukung ekonomi.


Agaknya, pendapat itu masuk akal. Pasalnya, untuk mendirikan sebuah stasiun televise yang serba oke dibutuhkan fulus yang tidak sedikit. Tarulah untuk sebuah stasiun televisi dibutuhkan fulus hingga ratusan miliar rupiah. Lihat saja kelompok Kompas-Gramedia yang juga ingin mendirikan stasiun televisi. Diperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk mendirikan stasiun televisi mereka tidak kurang dari Rp 220 miliar.


Rusman

Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No. 141 Tahun ke-3, 30 Mei-4 Juni 2001

Tidak ada komentar: