Sabtu, 24 Mei 2008

Buku Kiri, Riwayatnya Kini


Di zaman Soeharto, karma dilarang, buku-buku kiri dicari orang. Di zaman Gus Dur, karena tidak dilarang, buku-buku kiri dicemaskan sebagian orang.


Yang kiri dan yang kanan sempat hidup dalam kebersamaan. Di zaman “Nasakom” dulu, buku-buku kiri bebas beredar sebagaimana buku-buku kanan. Peminatnya biasa-biasa saja, terlalu sedikit tidak, kelawat banyak pun tidak. Maklumlah, dari dulu hingga kini, orang Indonesia yang suka membaca buku terbilang yang itu-itu juga: paling kalangan intelektual atau orang-orang sekolahan.


Bung Karno turun, Soeharto naik. Nah, di zaman Orde Baru-lah situasinya jadi berubah: Si Kanan diutamakan, sedang Si Kiri dimatikan. Buku-buku yang dianggap kiri dicekik sensor ekstraketat. Buku-buku seperti itu diharamkan terbit di negeri ini. Bahkan, para penulisanya pun mengalami nasib nahas. Banyak penulis dijebloskan ke dalam bui, hanya gara-gara dituduh menebarkan pemikiran kiri.


Karena hukum tidak punya supremasi, pelarangan terhadap buku-buku kiri dilakukan seenak perut penguasa. Tidak melalui jalur hukum. Anda pun tahu, bagaimana janggalnya proses pelarangan terhadap karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Tanpa dikasih kesempatan untuk membela diri di pengadilan, Pram dan karya-karyanya diperosokkan ke dalam pasungan.


Akibat pelarangan tersebut buku-buku yang berbau kiri hilang dari pasaran. Buku-buku tersebut tidak terlihat lagi di toko-toko buku. Tiba-tiba saja buku jenis itu menjadi barang yang langka. Tapi justru karena dilarang, buku-buku kiri dicari banyak orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa pelarangan itu malah menjadi iklan gratis. Inilah sisi yang tampak bodoh dari kekuasaan Orde Baru.


Waktu itu, kelangkaan buku kiri tampaknya dimanfaatkan oleh segelintir penjual buku yang terbilang berani. Para penjual buku-buku terlarang mulai memperbanyak bawaan dagangannya. Bahkan, mereka juga menjual buku terlarang tersebut dalam bentuk fotocopi. Dan biar fotocopi, banyak juga yang membeli.


Berjualan buku-buku kiri ketika itu jelas beresiko tinggi. Karena itu cara berjualannya pun bersembunyi-sembunyi. Biasanya buku-buku itu dijajakan dengan cara door to door. Bahkan, para penjual buku kiri ini terkenal dengan julukan “toko buku berjalan.” Penghasilannya cukup lumayan. Bisalah dipakai menghidupi keluarganya meski ala kadarnya.


Dari hitung-hitungan bisnis penerbitan, menerbitkan buku-buku terlarang ketika itu sebetulnya cukup menggiurkan. Pasalnya, buku-buku jenis itu bisa cepat terjual. Namun, dari hitung-hitungan politis, tentu saja seperti itu bisa bikin miris. Tinggi nian resikonya. Disaat Soeharto berkuasa, hanya ada segelincir penerbit yang punya nyali menerbitkan karya-karya kiri. Sebut saja penerbit Hasta Mitra yang didirikan oleh tiga serangkai Pramoedya Ananta Toer, Hasjim Rahman (alm.), dan Joesoef Isak. Penerbit kecil ini kerap mendapat tekanan dari kaki tangan si empunya kekuasaan.


Walaupun demikian, penerbit Hasta Mitra tetap menjalankan bisnisnya. Bagi Hasta Mitra, menerbitkan karya pengarang sekelas Pramoedya merupakan sebuah perjuangan politik. Setidaknya ini dibenarkan oleh Joesoef Isak, editor Hasta Mitra. Menurutnya, selain karena karya Pram terbilang baik, menerbitkan buku karangannya terdorong oleh keinginan lain: menegakkan demokrasi.


Kita sebenarnya ikut menyumbang kebebasan demokrasi,” kata Joesoef kepada DeTAK. Dia Juga bilang, kalau saja Hasta Mitra tidak menerbitkannya, mungkin karya Pram tidak dibaca orang di luar negeri. Pastilah ini sebuah kebanggan bagi penerbit Hasta Mitra. Pasalnya, sekarang ini karya-karya Pram telah diterjemahkan ke dalam hampir dua puluh bahasa di dunia.


Bukan hanya karangan Pram, buku kiri yang sempat beredar di era Soeharto. Banyak karya lain yang tergolong kiri yang juga beredar ketika itu. Sebut saja karya besar Tan Malaka, seperti Gerpolek, Madilog, dan Dari Penjara ke Penjara. Saat itu buku-bukunya beredar dalam bentuk fotocopi. Walaupun begitu, buku-buku tersebut tetap laku, terutama dikalangan mahasiswa.


Kini, ditengah ancaman sweeping, buku-buku kiri dapat diperoleh di toko-toko buku. Namun, buku-buku yang beredar tersebut bukan buku dengan judul baru. Maklum, sebagian besar merupakan revisi dari cetakan lama yang pernah terbit sebelumnya. Hanya, para penerbitnya merupakan pendatang baru. Entah apa yang membuat para penerbit, seperti Lentera, Bentang Budaya, atau Teplok merevisi buku-buku lama.


Lantas, mengapa karya-karya yang tergolong kiri itu menjadi lahan bisnis para penerbit? “Menjual buku seperti karya Pram cepat pulang modalnya,” kata Joesoef menyakinkan.


Rusman dan Ahmad Setiawan (Kini Produser di radio El-Shinta)

Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No. 139 Tahun ke-3, 16-22 Mei 2001

Tidak ada komentar: