Jumat, 16 Mei 2008

Kekerasan Membayangi Kebebasan Pers

Hari kebebasan pers dunia diperingati di banyak Negara. Bagaimana makna kebebasan pers di Indonesia?

Sepuluh tahun silam, tepatnya 3 Mei 1991, di Kota Windhoek, Namibia, Afrika, sekitar 200 wartawan dari berbagai Negara Afrika berkumpul. Kehadiran mereka awalnya hanya sekedar mendiskusikan problem dunia jurnalistik yang mereka hadapi. Akhirnya diskusi berkembang ke soal kebebasan pers yang dihadapi tiap-tiap Negara. Diujung pertemuan, ke 200 peserta itu mengeluarkan kesepakatan bersama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Deklarasi Windhoek.Kelahiran deklarasi itu hingga kini dicanangkan sebagai hari kebebasan pers dunia.

Deklarasi tersebut memang bersisi keinginan para wartawan tentang tercipatnya masyarakat yang ideal dan masyarakat sipil yang kuat. Mereka menyimpulkan, bahwa untuk mencapai masyarakat ideal seperti itu, kebebasan pers merupakan suatu keniscayaan. Mereka juga menyimpulkan bahwa independensi media serta pluralitas informasi meruapakan satu syarat penting bagi terciptanya suatu masyarakat demokratis. Tampaknya, Atmakusumah Astraatmadja, Ketua Dewan Pers Nasional, sepakat dengan hal ini. “Tanpa kebebasan pers tidak mungkin ada demokrasi,” kata Atmakusumah kepada DeTAK, Jum’at, 4 Mei.

Tema yang dicanangkan dalam peringatan hari kebebasan pers dunia tahun ini adalah dijadikannya 2001 sebagai tahun internasional untuk mobilisasi menentang diskriminasi rasial, senofobia dan ketidaktoleransian yang berkaitan dengan diskriminasi rasial dan senofoia. Boleh jadi tema tersebut merupakan sebuah slogan kampaye. Pasalnya, dibanyak Negara termasuk Indonesia masih terjadi pertentangan rasial. Lantas, apa yang memaknai hari kebebasan pers di Indonesia sendiri?

Tentu saja setiap Negara akan berlainan dalam memaknai hari kebebasan pers ini. Di Indonesia, sejak reformasi bergulir, di saat rezim Soeharto tumbang, media massa tumbuh seperti jamur di musim hujan. Jumlah media massa makin hari makin bertambah banyak. Ini lantaran tidak ada lagi aturan atau semacam izin sebagai syarat untuk mendirikan bisnis penerbitan. Sayangnya, kondisi ini tidak dibarengi dengan terbebasnya pekerja media dari berbagai malapetaka.

Tampaknya, selama kurun waktu 10 tahun terakhir ini, makna kebebasan pers di Indonesia masih perlu dipertanyakan. Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap wartawan misalnya masih terbilang tinggi. Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang Mei 2000 hingga April 2001 terdapat 106 kasus kekerasan, tekanan terhdap wartawan dan media massa. Dari jumlah itu, 48 berupa tekanan fisik, mulai dari pemukulan, pendudukan kantor media serta perusakan kantor media. Dan 56 kasus lain berupa tekanan nonfisik seperti penghinaan, pelecehan, ancaman, larangan, dan terror. Malahan menurut data AJI angka tersebut tidak jauh dengan data sebelumnya. Bahkan AJI menemukan fakta bahwa kualitas tekanan fisik terhadap wartawan dan media semakin tinggi.

Belakangan, dua orang wartawan di Medan dianiaya oleh salah satu satgas PDIP. Celakanya, polisi yang seharusnya menangani secara hukum kasus yang dilakukan oleh massa kerap tidak melakukan apa-apa. Bahkan, dalam banyak kasus polisi menjadi pelaku utama kekerasan. Nah, untuk kasus ini saja terjadi peningkatan. Tahun lalu kekerasan yang dilakukan polisi ada 17 kasus, sementara tahun 2001 meningkat menjadi 18 kasus.

Inilah kondisi riil kebebasan pers di Indonesia. Resiko berat masih saja menghatui para kulit disket. Apakah ini yang dinamakan kebebasan pers?

Rusman
Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No.138 Tahun ke 3, 9-15 Mei 2001

Tidak ada komentar: