Sabtu, 24 Mei 2008

Catatan Gerakan Mahasiswa: Apa Kabar Generasi 1999?

Tuntutan reformasi total menjadi tren pada tahun 1990-an. Tahun 1998 merupakan puncak keberhasilan gerakan mahasiswa. Kini para mahasiswa sedang memberi waktu. Sampai kapan?

Mei 1998, kerusuhan meledak di Jakarta setelah beberapa mahasiswa tewas tertembak dalam peristiwa Trisakti. Lantas, mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR, dan Soeharto akhirnya tumbang. Ya, 1998 menjadi puncak mata rantai panjang gerakan perlawanan mahasiswa terhadap Soeharto, yang sudah dimulai pada 1971. Sepanjang tahun 1970-an dipenuhi dengan gelombang perlawanan mahasiswa. Dan tercatat ada dua peristiwa monumental. Pertama, peristiwa Malari, 1974. Demonstrasi menentang modal asing itu berakhir dengan kerusuhan di Jakarta. Ketua Dema UI, Hariman Siregar, akhirnya ditangkap dan dipenjarakan.


Kedua, rangkaian pembubaran dewan mahasiswa, pembredelan pers mahasiswa, penangkapan dan pemenjaraan para tokoh-tokohnya, yang dilanjutkan dengan pemberlakuan NKK/BKK. Pada periode ini, perlawanan mahasiswa sempat mati sejenak. Selama lima tahun setelah itu, kampus steril dari iklim perlawanan terhadap Soeharto.


Tapi memasuki paruh waktu kedua tahun 1980-an, bibit-bibit perlawanan mahasiswa kembali muncul, dalam skala kecil. Akhir 1980-an, demonstrasi mahasiswa melawan Soeharto menjadi membesar, dan terus berlanjut memasuki tahun 1990-an. Dan, ditahun 1998 itulah puncaknya. Soeharto akhirnya jatuh di tangan mahasiswa, yang dulu di tahun 1966 bersama militer ikut membantunya naik ke panggung kekuasaan.


Tahun 1998, setelah perjalanan panjang, mahasiswa tampil lagi menjadi satu pilar kekuatan yang menentukan kejatuhan orang terkuat Orde Baru. Lalu naiklah Habibie. Sebagian kelompok menolak, sebagian lagi mempertanyakannya. Gerakan mahasiswa menunjukkan gejala perpecahan mengikuti friksi di tingkat elit politik yang saling menjegal dan menjagal.


Penolakan yang kuat kepada Habibie menemukan momen puncaknya pada demo besar-besaran atas penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR, November 1998. Hasilnya adalah Tragedi Semanggi I. Mahasiswa dan kelompok msayarakat yang mendemo SI MPR berhadapan dengan meliter dan PAM Swakarsa, kelompok milisi yang didukung dan direstui TNI.


Masuk tahun 1999 aksi mahasiswa tidak terlalu gencar. Dan Secara subtansial keberhasilan pun tak begitu besar seperti di tahun 1998. Tetapi, menjelang pertengahan tahun, terlebih ketika penghitungan suara pemilu tidak kunjung kelar, gelombang demontrasi mahasiswa marak kembali. Tuntutan mereka pun makin gencar dengan isu utama sekitar pengadilan Soeharto, krebilitas Habibie, dan penghapusan dwifungsi ABRI. Dan terakhir yang tidak kalah gencarnya adalah tuntutan menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Aksi menentang RUU PKB ini melahirkan Tragedi Semanggi II. Militer menunjukkan cacatnya sendiri dengan penembakan membabi buta kepada khalayak yang sedang melepas lelah di trotoar Jalan Sudirman.


Maraknya aksi mahasiswa tahun 1999 ini juga ditandai oleh tumbuhnya organ-organ gerakan baru di kalangan mahasiswa. Organ gerakan yang muncul pada era ini antara lain KAMMI, Famred, Front Jakarta, Gempur, dan organ gerakan lainnya. Secara jaringan, bisa dikatakan gerakan mereka telah cukup luas jangkauannya. Ada yang menjangkau ke beberapa kota di Indonesia. Bahkan salah satu dari organ gerakan mahasiswa itu telah menebar jaringan sampai ke luar negeri. Ini merupakan suatu hal yang menggembirakan bagi gerakan mahasiswa. Dan tentu merupakan dorongan besar untuk ikut menentukan arah politik.


Dalam rumusan Denny JA, Direktur Eksekutif Yayasan Universitas Jayabaya, gerakan mahasiswa berpeluang untuk turut menciptakan civil society yang hidup dan menghargai keberagaman, dapat mempengaruhi political society yang demokratis, dapat menciptakan governability pemerintahan yang tinggi, dapat menerapkan rule of law yang menjamin kebebasan dan equal opportunity serta mambangun economic society atau ekonomi yang bebas KKN.


Tapi itulah yang oleh mahasiswa sendiri agaknya dianggap belum tercapai. “Reformasi nasih setengah hati,” begitulah suara mahasiswa ketika kekuasaan jatuh ke Habibie. Bagi kalangan gerakan mahasiswa, terbetuknya pemerintahan Habibie dengan kabinet reformasi pembangunannya hanyalah perpanjangan dari kekuasaan lama. Mereka bergerak karena rasa cemas terhadap unsur Soehartoisme. Kemudian tidak mengherankan bila semau elemen gerakan mahsiswa kembali bangkit menentang rezim Habibie ini.


Bagi Haryo Sutioko, Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), gerakan mahasiswa di era 1999 belum mencapai hasil yang optimal dari tujuan reformasi total secara keseluruhan. “Nah, itu masih menjadi pekerjaan rumah buat kita untuk memikirkannya,” kata Haryo kepada DeTAK, Rabu (22/12). Pendapat senada dilontarkan oleh Sarbini, aktivis Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se-Jakarta (FKSMJ). Menurutnya, keberhasilan gerakan mahasiswa di tahun 199 masih jauh dari tujuan reformasi total yang diharapkan oleh banyak orang. Dia pun memberikan penilaian bahwa keberhasilan gerakan mahasiswa di tahun 1999 baru mencapai 25%. “Masih jauh tujuan kita jika kita berbicara tentang reformasi total,” kata Sarbini.


Turunnya Habibie tampaknya merupakan waktu bagi mahasiswa untuk sedikit mengambil napas lega. “Sekarang mereka (mahasiswa, red) akan memberikan waktu dulu kepada pemerintah yang legitimate,” kata J Kristiadi, pengamat CSIS. Pendapat Kristiadi ini dibenarkan oleh Sarbini. “Saat ini kita memberikan toleransi buat pemimpin bangsa untuk melakukan perubahan-perubahan,” katanya. Tetapi dia menambahkan, bila dalam toleransi pemerintahan Gus Dur tidak melakukan perubahan, dapat dipastikan gerakan akan muncul kembali.


BERKORBAN DEMI PERUBAHAN

Sepanjang sejarahnya, sejak tahun 1960-an hingga pengujung tahun 1990-an, gerakan mahasiswa adalah gerakan pendobrak. Dan daya dobrak itulah yang begitu kuat untuk merobohkan kekuatan Orde Baru dan menjadi pembuka bagi gerakan mahasiswa di tahun 1999. Sejak peristiwa yang bersejarah di tahun 1998, para mahasiswa tak henti-hentinya meneriakkan tuntutan reformasi total untuk menembus sumbat kemacetan politik.


Untuk semua itu, mereka sepertinya tak gentar menghadapi berlapis-lapis barisan serdadu, lengkap dengan senjata yang siap melontarkan timah panas kepada siapa saja. Banyak aksi demokrasi mahasiswa berakhir dengan pertumpahan darah. Sudah berpuluh-puluh mahasiswa yang gugur selama tahun 1999, hanya untuk mewujudkan perubahan di negeri tercinta ini.


Entah sudah berapa banyak tragedi yang terjadi. Jika tahun 1998 dan 1999 dibaca dalam satu tarikan napas, kita akan mencatat Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I, sampai tragedi Semanggi II. Dari pengamatan DeTAK saja, dibeberapa daerah termasuk di Jakarta, setiap aksi demontrasi mahasiswa berakhir dengan memakan banyak korban. Di Palembang pada 5 Oktober 1999, aksi demontrasi mahasiswa menewaskan 1 orang di pihak mahasiswa. Pada 22 September 1999, di Jakarta berpuluh-puluh mahasiswa dan massa aksi lainnya terluka akibat bentrok dengan pihak aparat keamanan. Dan di Lampung pada 28 September 1999, aksi demontrasi mahasiswa berakhir dengan memakan korban 46 orang luka tembak dan luka ringan. Belum lagi tragedi kecil lainnya yang terjadi di seantero Nusantara.


Agaknya, aparat keamanan dalam hal ini militer masih mengandalkan tindakan represif dalam menghadapi aksi demontrasi mahasiswa. Menanggapi tindakan represif aparat keamanan disetiap aksi demontrasi mahasiswa itu, J Kristiadi menilai tindakan represif ini tidak dimulai oleh mahasiswa. Menurut pengamat CSIS ini, tindakan represif aparat militer memang tercipta sejak bertahun-tahun lalu. “Bukan karena mahasiswa yang mau, tetapi karena produknya sudah begini,” ujar Kristiadi.


Darah yang muncrat dan nyawa yang malayang agaknya sudah jamak dalam sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Tapi mereka pasti akan turun lagi ketika mereka menganggap sudah saatnya harus turun. Sebab, gerakan reformasi memerlukan benteng moral dan lembaga control yang tidak terkooptasi oleh kepentingan politik praktis. Di Lapangan inilah, pada saatnya, mereka akan kembali tampil. Siapapun yang duduk di kursi pemerintahan.


Rusman

Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No. 75 Tahun ke 2, 28 Desember 199-3 Januari 2000


Tidak ada komentar: