Sabtu, 24 Mei 2008

Apa yang Bisa diharapkan dari Kekuasaan?


Wawancara dengan mendiang Pramoedya Ananta Toer (Satrawan) seputar dengan usulan Gus Dur sebagai presiden untuk mencabut Tap MPRS No 25/1966. Saat itu niat Gus Dur ini sontak mendapat respon dari kalangan para Nadiyin NU. Berikut wawancaranya:

Banyak Kalangan NU menentang pernyataan maaf Gus Dur. Apa pendapat Anda?

Tidak soal. Itu pendapat orang, silahkan. Yang penting adalah dirikan hukum dan keadilan. Bukan maaf-memaafkan seperti itu. Mengembalikan apa yang dirampas saja sampai sekarang belum. Seperti rumah saya, perpustakaan yang dibakari. Naskah-naskah saya yang dibakari. Kan seluruh negara kita tidak bisa membuat naskah saya. Hanya saya sendiri yang bisa buat itu. Saya hanya hidup dari tulisan saya. Itu kan menjadi penghidupan saya. Enak saja ngomong maaf.


Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Semua yang dimaling harus dikembalikan. Logika saya logika orang desa saja.


Jadi, tidak hanya sekedar minta maaf?

Tidak bisa. Negara harus mendirikan hukum dan keadilan untuk rakyatnya. Kalau negara tidak mampu melakukan itu, bubar saja negara. Kembali ke zaman penjajahan. Mungkin lebih sederhana itu dan tidak berbelit-belit seperti sekarang.


Bagaimana bila ini tidak dilakukan pemerintah?

Pemerintah saya rasa tidak akan melakukan apa-apa. Sibuk dengan pribadi masing-masing saja. Yang sudah ditangkap karena korupsi saja dilepas. Apa yang bisa diharapkan. Ini persoalan elite. Yang busuk itu elite, sehingga negeri yang begitu besarnya, negara kepulauan terbesar didunia, bisa dijajah Belanda yang sekecil ini (sambil menunjukkan ujung jarinya).

Elite di negeri ini tidak punya karakter. Kalu saya tidak bicara keras seperti ini, orang tidak akan bangun-bangun. Belanda itu melakukan politik paternalisme. Belanda mengawinkan kolonialisme dan feodalisme pribumi. Karena itu, tidak mengherankan kalu raja-raja Jawa memanggil gubernur jenderal dengan sebutan eyang.

Dari perkawinan ini, lahir anak haram jadah, yaitu sub-kelas yang namanya priyayi. Priyayi ini menjadi pemasok birokrat kolonial. Kalau ke bawah dia menuntut upeti. Kalau keatas menjilat-jilat. Dan moral ini terus berlangsung dalam elite sampai saat ini. Yah, kalau orang mau marah, silahkan.


Bagaimana dengan kondisi orang-orang kiri yang masih hidup sampai sekarang?

Sulit sekali. Kerja sana tidak bisa, kerja sini tidak bisa. Sudah tua untuk memulai yang baru juga berat. Pada umumnya sudah mati.


Tinggal berapa orang yang Anda ketahui?

Tidak sampai 50 persen. Di buku Nyanyian Sunyi saya tulis daftarnya, 40 diantaranya dibunuh oleh angkatan darat. Tidak ada pengusutan sampai sekarang. Apa yang bisa diharapkan dari kekuasaan negeri ini? Saya pernah dibawa orang ke Komnas HAM. Saya berikan buku itu pada Sugiri. Ketika saya berikan buku itu, dia malah menolak, “Jangan, jangan, buku itu dilarang.” Lalu saya bilang, “Memang dilarang, tapi untuk dokumentasi saja Pak.” Tapi, persoalannya, daftar itu tidak menarik perhatian Komnas HAM.


Bagaimana dengan ajaran kiri yang dilarang?

Mereka itu hanya ketakutan dengan ilblis yang diciptakan sendiri. Sebab, Indonesia sampai sekarang secara struktural, hidupnya dengan pengisapan golongan bawah.


Apakah masih ada kemungkinan golongan kiri mendirikan partai?

Ya, mungkin saja, tapi saya bukan juru bicara mereka.


Rusman

Wawancara berlangsung di kediaman Pram di Kawasan Utan Kayu, Jakarta di bulan Maret 2000 dan dipublikasi di Tabloid DeTAK No. 88 Tahun ke 2, 4-10 April 2000



Tidak ada komentar: