Selasa, 01 Maret 2011

Menilik Potensi Tuna Indonesia

Oleh Taufik Ridwan
Perairan Indonesia yang terletak di "The Coral Triangle", perairan yang membentang dari Laut Andaman (Nanggroe Aceh Darussalam) hingga Laut Aru dan Perairan Papua (Samudera Pasifik), adalah salah satu wilayah penghasil ikan terbesar di dunia.

Organisasi pecinta lingkungan dan binatang, "World Wide Fund" (WWF) mencatat panjang lurus wilayah dari Sabang (Aceh) sampai Merauke (Papua) mencapai 5.300 kilometer dengan luas perairan 3,1 juta kilometer persegi dan panjang garis pantai sekitar 81.000 kilometer.

Salah satu potensi ikan laut yang menjadi andalan di Indonesia, yakni Tuna (thynnos) yang hidup di laut dalam khususnya di Perairan Indonesia bagian Timur meliputi Laut Makassar, Laut Banda, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Arafuru dan Laut Papua.

Ketua Komisi Tuna Indonesia, Purwito Martosubroto di Bitung, Sulawesi Utara, Jumat (25/2), mengatakan potensi produksi tuna di Indonesia hampir mencapai 1,2 juta ton per tahunnya dan nilai ekspor lebih dari 3,5 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2009.

"Memang Indonesia menjadi salah satu kekuatan produsen ikan tuna terbesar di dunia dengan nilai produksi yang menunjukkan peningkatan setiap tahunnya," kata Purwito.

Ahli kelautan itu, menyebutkan produksi tuna di Indonesia pada tahun 2005 dan 2006 sekitar 900.000 ton, memasuki 2007 hingga 2009 terjadi lonjakan kenaikan dengan rata-rata mencapai 1,1 juta ton per tahunnya.

Indonesia juga memperlihatkan potensi ekspor tuna yang menjanjikan pada tahun 2005 dengan menembus angka 2,5 miliar Dolar AS, 2006 (2,6 miliar Dolar AS), 2007 (3,1 miliar Dolar AS), 2008 (3,4 miliar Dolar AS) dan 2009 (3,6 miliar Dolar AS).

Potensi perikanan di Indonesia terdiri dari 11 Wilayah Potensi Perikanan (WPP), yakni Luat Andaman (Selat Malaka), Laut Sumatera bagian Barat, Laut Jawa bagian Selatan, Laut Jawa, Selat Karimata, Selat Makassar, Laut Banda, Laut Halmahera, Laut Sulawesi, Laut Papua dan Laut Aru.

Sedangkan potensi tuna tersebar pada lokasi perairan Indonesia bagian Timur yang terbagi dua WPP, yakni Laut Halmahera dan Laut Banda.

Purwito mengatakan faktor penyebab Indonesia bagian Timur memiliki kekuatan potensi tuna yang tinggi karena adanya pertemuan arus di sekitar Samudera Pasifik sehingga aliran dan sanitasi air besar.

"Saluran air dan sanitasi yang tinggi menjadi tempat perkembangbiakan ikan tuna," ujar Purwito.

Meskipun perairan Indonesia bagian Timur menjadi tempat berkembang biak tuna, namun Purwito menegaskan Indonesia tidak bisa mengklaim tuna merupakan ikan yang berasal Indonesia karena ikan laut itu, hidup secara migrasi (pindah-pindah) di sekitar Samudera Pasifik dan Laut China Selatan yang meliputi negara Malaysia, Thailand, Filipina, Timor Leste dan Papua Nugini.

Selain diuntungkan faktor alam, peningkatan produksi ikan dan nilai ekspor tuna dipengaruhi semakin banyaknya jumlah kapal penangkap ikan dalam maupun luar negeri yang beroperasi di perairan Indonesia.

Data Kementerian Perikanan dan Kelautan menunjukkan jumlah perusahaan perikanan tangkap domestik pada 2010 mencapai 2.741 dengan jumlah kapal tangkap mencapai 5.417 armada.

Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung, Hengkie R.F. Wowor menyebutkan pihaknya mendukung upaya pemerintah Indonesia guna meningkatkan produksi tuna yang menjadi salah satu andalan komoditi perikanan domestik.

"Kota Bitung mentargetkan sebagai penghasil tuna terbesar di Indonesia pada 2016," ujar Hengkie seraya menambahkan mayoritas potensi ikan terbanyak di Bitung sejenis cakalang, tuna dan layang.

Kota Bitung yang menjadi salah satu pusat penghasil komoditi perikanan di Indonesia, mengandalkan penangkapan ikan di perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Teluk Berau, Laut Sulawesidan Laut Halmahera bagian Utara dengan memiliki luas laut sekitar 714 kilometer persegi, garis pantai sepanjang 143,2 kilometer, serta 13 pulau besar maupun kecil.

Hengkie menyebutkan potensi kelestarian sumber daya ikan Kota Bitung mencapai 1.884.900 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebanyak 1.491.000 ton per tahun, sedangkan produksi ikan pada tahun 2008 sekitar 142.435 ton, 2009 (145.129 ton), serta 2010 (147.091 ton).

Pemerintah Kota Bitung mencatat realisasi ekspor perikanan sekitar 37.633,86 ton dengan senilai 88,5 juta Dolar AS, 26.634.23 ton/82,1 juta Dolar AS (2009) dan 28.451,20 ton/66,2 juta Dolar AS dengan sasaran tujuan ekspor, yakni Jepang, AS dan negara Timur Tengah.

Kendala

Pelaku bisnis perikanan maupun pemerintah pusat hingga daerah mengaku menemukan sejumlah kendala dan tantangan untuk meningkatkan produksi dan kegiatan ekspor ikan laut di Indonesia.

Purwito menyebutkan persoalan yang dihadapi untuk meningkatkan produksi ikan, antara lain sarana dan prasarana jalan belum memadai termasuk infrastruktur pelabuhan dan pusat pendaratan ikan, sumber daya listrik dan bahan bakar minyak yang terbatas, fasilitas transport darat, udara, serta laut tidak menunjang sehingga biaya transport tinggi, adanya kegiatan penangkapan ikan ilegal dan penjualan ikan antarkapal dan pengelolaan perikanan belum mapan, seperti pendataan (logbook) dan pengendalaian penangkapan.

Sedangkan Pemerintah Kota Bitung menganalisa persoalan yang dihadapi untuk meningkatkan potensi perikanan, yaitu regulasi penjualan ikan termasuk kelengkapan dokumen, penurunan produktivitas, keterbatasan alat tangkap dan modal usaha, minim kelembagaan/organisasi nelayan, serta degradasi sumber daya ikan.

Purwito menyebutkan solusi mengatasi kendala itu harus ada kerjasama antara pemerintah dengan pelaku usaha perikanan sebagai mitra kerja yang sinergis, jalinan antarpemerintah daerah di kawasan Indonesia Timur dengan tujuan mengoptimalkan sumber daya ikan, pemerintah pusat perlu membangun infrastruktur produksi perikanan tuna.

Selain itu, pemerintah pusat juga harus menyediakan insentif bagi pengusaha yang ingin membangun perikanan tuna di Indonesia Timur, serta upaya pengendalian produksi mulai dari perbaikan database penangkapan (logbook) dan pengawasan.

Hengkie menambahkan upaya untuk mengatasi permasalahan peningkatan kegiatan produksi ikan dapat melalui penegakan aturan, selektivitas alat tangkap, modifikasi armada penangkapan ikan, pendalaman metode penangkapan ikan yang tepat, revitalisasi dan efisiensi penangkapan ikan, pembatasan kapasitas penangkapan, sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan aturan, optimalisasi fungsi prasarana perikanan tangkap dan penguatan kelembagaan (koperasi) khusus pengusaha ikan maupun nelayan.

Berkelanjutan

Sementara itu, aktivis WWF Indonesia, Ahmad Hafidz Adyas menegaskan persoalan bisnis perikanan tidak hanya berkaitan dengan upaya peningkatan produksi saja, namun pemerintah maupun pelaku usaha harus mengidentifikasi kelanjutan dari populasi jenis ikan yang ditangkap.

"Kita harus mewujudkan bisnis perikanan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab dengan menjaga persediaan populasi jenis ikan yang ditangkap," kata aktivis lingkungan itu.

Hafidz menekankan agar pemerintah maupun pengusaha memperhatikan jenis ikan yang dibisniskan agar tidak punah keberadaannya dengan cara menyeleksi kualitas dan kuantitas hasil tangkapan.

Hafidz mengatakan pemerintah harus menegakkan segala aturan terhadap pelaku bisnis yang memperdagangkan ikan yang nyaris punah, termasuk mengawasi cara dan penggunaan alat tangkap yang merusak jaringan makan ikan.

WWF sebagai organisasi dunia yang peduli terhadap lingkungan dan binatang, berupaya mengembangkan cara agar kegiatan produksi ikan tidak berdampak terhadap kepunahan populasi maupun habitat ikan.

Salah satu solusi menghindari kepunahan populasi tuna dengan cara inovasi kail tangkapan ikan berbentuk "circlehook" (c-hook) sehingga nelayan tidak menggunakan kail "J-hook" pada alat tangkap dengan tujuan agar lebih selektif menangkap ikan.

"Penggunaan C-hook untuk menghindari tangkapan ikan yang masih kecil," ujar Hafidz.

Kail C-hook juga dapat menghindari hewan yang bukan menjadi sasaran tangkapan (by-catch), seperti penyu, paus, hiu, burung, dan jenis ikan yang dilindungi agar tidak terjadi kepunahan.

WWF telah melakukan penelitian penggunaan kail C-hook pada alat tangkap konvensional menggunakan tangan (handline) sejak tahun 2006 dengan hasil dengan kualitas maupun kuantitas tangkapan yang lebih optimal dibanding kail J-hook pada alat tangkap rawai atau tali panjang menggunakan pelampung (longline).

Sumber: ANTARA

Tidak ada komentar: