Senin, 08 Oktober 2012

Ketegangan AS-Cina di Laut Cina Selatan Meningkat, Bisnis Perdagangan Senjata Meningkat

Penulis : Hendrajit dan Tim Riset Global Future Institute Reuters melansir sebuah berita cukup menarik. Kawasan Asia bakal jadi pasar yang mengundang minat para pengusaha industri strategis pertahanan untuk melempar produknya di kawasana ini. Buat Asia Tenggara, khususnya Indonesia, ini jelas perkembangan yang cukup mencemaskan karena di dalamnya terkait agenda strategis Amerika Serikat untuk meningkatkan eskalasi konfliknya di Asia Tenggara. Apalagi ketika konflik Amerika dan Cina semakin tajam dan berpotensi mengarah pada perang terbuka secara militer dalam dua atau tiga tahun mendatang. Beberapa indikasi sudah terlihat ketika dua perusahaan persenjataan strategis Amerika Lockheed Martin dan Boeing Defense, telah melakukan forcasting atau proyeksi bahwa kawasan Asia akan menyumbang 40 persen dari pendapatan internasional. Berarti, salah satu andalannya diperkirakan adalah di bidang industri strategis pertahanan. Membaca tren global ini, Global Future Institute berpandangan bahwa pada perkembangannya nanti meningkatnya potensi pasar di Asia terkait bisnis persenjataan strategis pada perkembangannya juga terkait dengan semakin menajamnya ketegangnan militer antara Amerika-sekutu-sekutu baratnya versus Cina di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Maka dari itu, kawasan Asia Tenggara terutama ASEAN, kiranya perlu mengantisipasi tren global tersebut. Karena dengan begitu pola ancaman bakal muncul bisa diprediksi sejak awal. Sekadar ilustrasi, mari kita simak Vietnam, yang sekarang ini harus dibaca sebagai sekutu potensial Amerika menghadapi pengaruh Cina yang semakin meluas di kawasan Asia Tenggara. Menurut catatan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), 97 persen persenjataan utamanya, termasuk Fregat, pesawat tempur, dan sistem rudal maritim Bastion- yang selama ini mengandalkan bantuan dan pasokan dari Rusia, dalam waktu mendatang menurut prediksi SIPRI), berencana untuk mengembangkan dan mendiversifikasi sumber-sumber peralatan militer strategisnya dari Belanda dan Amerika. Dalam bacaan Global Future Institute, tren ini bukan sekadar motivasi bisnis semata. Lebih dari itu, juga menggambarkan adanya pergeseran halun politik luar negeri Vietnam yang cenderung “merapat” ke Amerika dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO). Kalau Filipina, jelas tak perlu diragukan lagi kiblatnya ke Amerika. Menurut catatan SIPRI, negara ASEAN yang satu ini mengandalkan 90 persen persenjataan strategisnya dari Amerika. Apalagi dengan kian meningkatnya konflik perbatasan Filipina dengan Cina terkait klaim wilayah di sekitar Laut Cina Selatan, maka dalam 5 tahun mendatang Filipina berencana akan memodernisasikan peralatan militernya. Yang itu artinya, semakin meningkat ketergantungan negara ini pada AS. Thailand, juga tidak kalah gencar dalam menggalakkan modernisasi peralatan militernya, yang tentunya juga untuk mengantisipasi meningkatnya ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Untuk memperkuat kapal patrolionya, negara Gajah Putih tersebut mengandalkan pasokan dari BAE System dari Inggris. Bahkan dalam rencana strategis pertahanan Thailand 5 tahun ke depan, berencana akan memodernisasikan kapal fregat dengan membeli dua kapal. Singapura, meskipun dalam berbagai simulasi skenario Perang terbuka Amerika dan Cina dalam dua tahun ke depan, diragukan kesetiaannya untuk membela AS dan negara-negara barat, namun nyatanya selama ini memberli sebagian besar alat sistem persenjataan strategisnya dari AS, Perancis dan Jerman. Baru-baru ini Singapore telah memesan pesawat jet tempur F-15SG dari Boeing Co di AS, serta dua kapal selam Kelas Archer dari Swedia untuk menambah armada mereka. Sebelumnya, negara kota itu sudah punya empat unit kapal selam Challenger. Walau negerinya kecil, Singapura nyatanya punya anggaran yang melimpah untuk membeli peralatan militer canggih. Menurut IISS(The International Institute for Strategic Studies (Asia), Singapura pada 2011 memiliki anggaran pertahanan sebesar US$9,66 miliar. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari tetangga-tetangganya, yaitu Thailand (US$5,52 miliar), Indonesia (US$5,42 miliar), Malaysia (US$4,54 miliar), dan Vietnam (US$2,66 miliar), ungkap IISS. Sumber: The Global Review

Tidak ada komentar: