Kamis, 14 Agustus 2008

Jurus Wiranto Menepis Serangan Gus Dur

"Apa pun risiko yang harus dipikul TNI, bahkan saya pribadi, akan saya terima bila dilaksanakan dengan mengacu pada kebenaran,” ucap Wiranto. Tapi, Wiranto menolak perintah Gus Dur untuk mundur. Apa jurus Wiranto untuk tetap bertahan?


Nahas benar nasib Wiranto belakangan ini. Namanya terus saja disangkutkan dengan berbagai persoalan yang tidak mengenakkan. Misalnya, Wiranto sempat dicurigai terkait dengan rencana kudeta yang sempat menjadi pembicaraan publik beberapa waktu lalu. Ketika ternyata isu itu tidak benar, nama Wiranto kemudian diceburkan ke dalam perdebatan opini tentang rencana Gus Dur yang hendak mengangkat Letjen (Purn) Prabowo Subiyanto, mantan komandan Kopassus, sebagai penasihat militer Presiden. "Rencana memilih Prabowo sebagai penasihat militer Presiden dimaksudkan untuk mengganjal Wiranto," begitulah kira-kira perkiraan sejumlah kalangan tentang maksud Gus Dur merekrut Prabowo.

Belum lagi perbincangan itu reda, lagi-lagi Wiranto dihadapkan pada persoalan pelik. Kali ini, bukan saja karena opini masyarakat, tapi juga opini Gus Dur—orang nomor satu di republik ini. Gus Dur terang-terangan minta agar Wiranto mengundurkan diri dari kursi menteri koordinator politik dan keamanan (menko polkam). Permintaan itu disampaikan ketika Gus Dur tengah berada di Davos, Swiss, Senin (31/1), sebagai rangkaian turnya ke 13 negara.

Secara resmi Gus Dur kemudian mengutus Menhankam Juwono Sudarsono agar menemui Wiranto untuk menyampaikan pesan yang sama: agar Wiranto mengundurkan diri. "Tugas menyampaikan pesan dari Bapak Presiden itu sudah saya lakukan," kata Juwono kepada pers, Jumat (4/2) lalu.

Itulah reaksi cepat Gus Dur setelah Komnas HAM menyerahkan laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) Timor Timur kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman, Senin (31/1) lalu. Kalau Gus Dur sampai terang-terangan minta agar Wiranto mundur, pasti persoalannya sangat krusial. Seberapa berat dosa Wiranto di mata KPP HAM?

Salah satu kesimpulan KPP HAM yang istimewa adalah yang menyangkut nama Wiranto. "Keseluruhan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur, langsung atau tidak langsung, terjadi karena kegagalan Panglima TNI dalam menjamin keamanan dari pelaksanaan pengumuman dua opsi oleh pemerintah. Struktur kepolisian yang ada waktu itu masih di bawah komando. Menteri Pertahanan turut memperlemah kemampuan aparat kepolisian dalam melaksanakan tugas pengamanan berdasarkan perjanjian New York. Untuk itu, Jenderal Wiranto selaku panglima TNI adalah pihak yang harus dimintai pertanggungjawabannya,” demikian rekomendasi KPP HAM.

Apa boleh buat. Kesimpulan KPP HAM secara jelas menyebut nama Wiranto. Bagi yang berpandangan pesimistis, kesimpulan ini memperlihatkan bahwa KPP terkesan terlalu hati-hati. Pertama, penyebutan nama Wiranto hanya karena jabatannya selaku panglima TNI. Kalimat “kegagalan Panglima TNI dalam menjamin keamanan” setidaknya menyiratkan hal itu.

Kedua, KPP HAM tidak menyebut secara detail keterlibatan Wiranto. Padahal, dalam laporan itu banyak sekali disebut jenis pelanggaran HAM yang terjadi. Juga, sebelum laporan itu diumumkan, banyak berdedar kabar tak resmi. Misalnya kabar tentang adanya rekaman pembicaraan yang bisa menjadi bukti langsung keterlibatan Wiranto. Kalau KPP HAM tak menyebut detail keterlibatan Wiranto, kemungkinannya ada dua: dugaan keterlibatan Wiranto secara langsung tak bisa dibuktikan, atau KPP mau mengambil jalan yang lebih aman.

Meski ada yang menganggap hasilnya kurang memuaskan, laporan KPP HAM sudah cukup untuk membuat Tim Advokasi HAM Perwira TNI, yang membela Wiranto, mencak-mencak. Adnan Buyung Nasution, koordinator tim itu, menilai Komnas HAM telah sewenang-wenang karena terang-terangan menyebut nama-nama yang diduga terlibat. Buyung dengan tegas menolak semua laporan itu. “Kami akan pelajari semua yang ada dalam laporan Komnas HAM itu. Karena, kami tidak akan lakukan legal action kalau tidak kuat,” kata Buyung dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/2) lalu. Buyung juga mengatakan bahwa Wiranto tak punya niat untuk mundur dari jabatan menko polkam. Berarti, Wiranto menolak permintaan Gus Dur agar mundur.

Bagaimana reaksi Wiranto sendiri? Boleh saja dalam hati barangkali ketar-ketir sambil menahan marah. Tapi, penampilan Wiranto betul-betul prima. "Apa pun risiko yang harus dipikul TNI, bahkan saya pribadi, akan saya terima bila dilaksanakan dengan mengacu pada kebenaran," ucap Wiranto dengan ekspresi yang dingin seperti biasanya, saat jumpa pers, Selasa (1/2) lalu di Jakarta. Di luar itu, Wiranto sama sekali tak mau berkomentar soal permintaan Gus Dur agar dirinya mundur.

Menanggapi soal ini, Ikrar Nusa Bhakti, peneliti LIPI, mengatakan bahwa hasil KPP HAM, "Bukan berarti sudah merupakan suatu tuduhan, melainkan cuma rekomendasi untuk melakukan penyidikan tambahan atau ulang," katanya kepada DëTAK, Jumat (4/2).

Pernyataan Ikrar ini memang lebih bernada menyejukkan. Tapi, bisakah hati Wiranto merasa sejuk bila berkas laporan KPP HAM itu sekarang sudah dipegang oleh Jaksa Agung Marzuki Darusman? Jika menuruti opini publik, Marzuki harus cepat-cepat menindaklanjuti laporan KPP HAM itu.

Sekarang, bola di tangan Marzuki. Masalahnya, berani dan mampukah Marzuki menyidik Wiranto lebih jauh? Semua mata kini tertuju ke Marzuki. "Saya mengharapkan, dalam dua minggu, Jaksa Agung sudah dapat mengeluarkan surat perintah penyidikan,” kata Asmara Nababan, sekretaris KPP HAM, kepada DëTAk, Kamis (3/2). Marzuki, mau tak mau, harus segera menuntaskan persoalan yang pelik dan mengerikan ini. Sebab, Gus Dur sendiri sudah memberikan perintah kepada Marzuki agar segera menuntaskan kasus Timtim ini.

Memang, Gus Dur sudah memerintahkan Marzuki. Tapi bagi Kejaksaan, ini bukan persoalan gampang. Dan, seperti biasanya, Kejagung selalu mampu membuat kalimat untuk mengelak dari tudingan bahwa kinerjanya lamban. "Kejagung masih mempelajari rekomendasi Komnas HAM sebagaimana dilaporkan KPP HAM Timtim. Kejagung pun masih menunggu bahan-bahan lebih rinci dari Komnas sebagai pelengkap tindakan selanjutnya," kata Marzuki kepada wartawan, Kamis (3/2).

Sementara Kejagung masih sibuk mengumpulkan bahan-bahan lebih rinci, tim Advokasi HAM Perwira TNI langsung mempersoalkan data dan fakta yang disodorkan oleh KPP HAM ke Jaksa Agung ini. Mereka menganggap, data dan fakta itu belum terbukti ada. "Kita mau melihat apakah itu betul-betul ada atau isapan jempol,” kata Hotma Sitompoel, salah satu anggota tim itu, kepada DëTAK, Kamis (3/2).

Tapi, kubu Komnas HAM tampaknya tidak mau ambil pusing dengan pendapat Hotma ini. "Bila komentar individual, apalagi komentar Buyung dan kawan-kawan, kita tidak hitung itu sebagai sikap TNI,” tegas Nababan. Sebab, menurut Nababan, sudah ada pernyataan yang menyebutkan bahwa TNI menghargai kerja KPP HAM. "TNI diuntungkan dengan laporan KPP HAM ini,” kata Asmara menambahkan.

Selain itu, Komnas HAM sangat yakin dengan perolehan data-datanya. Ketua Komnas HAM, Djoko Soegianto, menilai, hasil pengumpulan data dan fakta yang dilakukan KPP HAM Timtim sudah cukup dijadikan bukti. "KPP HAM memang bekerja keras untuk mengumpulkan data dan fakta selengkap mungkin,” kata Djoko kepada DëTAK, Rabu (2/2).
Kalau benar data-datanya sudah cukup dijadikan bukti, Kejagung seharusnya bisa bergerak maju dengan cepat. "Tetapi, bila Jaksa Agung merasa kekurangan, ia bisa meminta Komnas HAM melengkapinya,” tambah Asmara.

Nama-nama Yang Disebut
Isi laporan KPP HAM Timtim (Summary Executive-nya) mirip dengan hasil Komisi Penyelidik Internasional yang dibentuk oleh Komisi Tinggi HAM PBB. Terutama, pada jenis pelanggaran HAM yang terjadi di Timtim. Hanya saja, laporan KPP HAM ini lebih rinci dan transparan dalam menyebutkan nama-nama orang yang diduga terlibat pelanggaran HAM berat di Timtim.

Laporan yang terdiri dari enam bab ini cukup jelas. Pada tiap poin kejadian, ada penjelasan yang cukup memadai. Terutama mengenai tragedi pembumihangusan di Dili. Pada bab terakhir laporan itu disebutkan: “Terdapat hubungan dan keterkaitan yang kuat antara aparat TNI, Polri, birokrasi sipil dengan milisi.” Juga, “Kekerasan yang terjadi di Timtim mulai pengumuman pemberian opsi hingga pascapengumuman jajak pendapat bukan diakibatkan oleh suatu perang saudara, melainkann hasil dari suatu tindakan kekerasan yang sistematis."

Dalam Bab II, poin 19, disebutkan: "Dari sejumlah fakta, diketahui bahwa jelas ada keterkaitan antara milisi pro-integrasi dan militer, dan sebagian besar pimpinan dan personel inti milisi adalah para anggota Kamra, Wanra, Milsas, Garda Paksi, Hansip dan Anggota TNI AD. Mereka dilatih dan dipersenjatai dengan SKS, M 16, Mauser, G-3, granat dan pistol di samping diberi senjata peninggalan Portugis."

Temuan lainnya menyebutkan, dropping senjata pernah dilakukan dari tangan Komandan Satgas Tribuana dan Kodim Suai kepada kelompok milisi. Apakah ini bagian perintah dari pimpinan TNI di Jakarta? Jawaban institusional pasti mengatakan “tidak”. Tapi, mungkinkah tindakan itu tidak diketahui oleh pimpinan TNI saat itu?

Yang paling menarik, laporan KPP HAM Timtim ini secara jelas menyebutkan satu per satu nama-nama yang diduga terlibat dalam kejahatan pelanggaran HAM. Dari kalangan birokrat atau bupati tertera nama Abilio Soares, Dominggos Soares, Kolonel Herman Sediono, Leoneto Martins, Guilherme dos Santos, dan Edmundo Conceicao E Silva.

Adapun dari kalangan TNI dan Polri tertera nama Kolonel M Nur Muis, Brigjend Pol Timbul Silaen, Lettu Sugito, Lettu Sutrisno, Letkol Burhanuddin Siagian, Letkol Sudrajat, Mayor Inf Yakraman Yagus, Mayor Inf Jacob Sarosa, Pratu Luis, Kapten Tatang, Letkol Yayat Sudrajat, Lettu Yacob, Mayjen TNI Adam Damiri, dan Mayjen Zacky Makarim.

Dan dari kalangan milisi tertera nama seperti Eurico Gutteres (komandan milisi Aitarak), Olivio Moruk, Martinus, Manek, Joni Marquez, Joa da Costa, Manuel da Costa, Amillo da Costa, Manuel Sousa (milisi Besi Merah Putih), dan Joao Tavares (komandan pasukan pejuang prointegrasi).

Tekanan Buat Jaksa Agung
Kasus pelanggaran HAM di Timtim menambah daftar kasus-kasus yang harus ditangani oleh Kejagung. Padahal, sejauh ini Kejagung tampaknya sudah megap-megap kewalahan menangani kasus dugaan KKN Soeharto, skandal Bank Bali, skandal Texmaco, dan masih banyak lagi.

Karena itu, laporan Komnas HAM ini makin menguatkan tuntutan masyarakat agar Kejagung berani dan cepat bertindak. Tapi, bukankah itu membuat Kejagung akan makin megap-megap saja? Memang. Tapi, sebenarnya Kejagung memperoleh pendorong yang bisa membuatnya berani bertindak. Pendorong itu tak lain adalah Komisi Penyelidik Internasional, yang dibentuk oleh Komisi TingginHAM PBB. Dalam laporannya, komisi ini secara tak langsung menyebut keterlibatan Wiranto. Istilah yang digunakan adalah “top military command”. Rekomendasinya, agar digelar pengadilan HAM internasional.

Adanya tekanan yang menginginkan agar digelar pengadilan HAM internasional secara tak langsung menguatkan posisi politis Kejagung untuk memeriksa Wiranto. Gampangnya, jika Kejagung tak serius menangani para pelanggar HAM Timtim, ancaman pengadilan HAM internasional bisa-bisa menjadi kenyataan. Meski begitu, bagi Djoko Soegianto, tekanan internasional bukanlah menjadi dasar untuk mengadili para pelanggar HAM dinegeri ini. "Pokoknya, ada pelanggaran berat HAM. Dan seluruh rakyat ingin mengetahui perkembangannya,” kata Djoko.

Komnas HAM pun, menurut Asmara, mempunyai hak untuk seaktu-waktu meminta laporan perkembangan dari penyidikan yang dilakukan Kejagung. "Itu sudah ditentukan dalam Perpu,” kata Asmara. Bahkan, menurut draft RUU Peradilan HAM, ada kewenangan bagi Komnas HAM untuk menggugat Jaksa Agung di prapengadilan bila Kejaksaan dianggap tidak serius dalam menanganinya. ”Dalam keterangan secara tertulis Jaksa Agung tidak dapat diterima Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, maka Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berhak mengajukan permohonan pra peradilan di pengadilan Hak Asasi Manusia,” demikian petikan draft RUU itu.

Maka, hanya ada satu pilihan bagi Kejagung: berani dan serius memeriksa nama-nama yang disebut dalam laporan Komnas HAM itu. Kalau gagal melakukannya, tak tertutup kemungkinan Kejagung bakal bernasib sama dengan MA sekarang: sisa-sisa warisan orde yang pamornya makin hancur.

rusman
laporan:m.i. wibowo/memed

Terpublikasi di Tabloid Detak No. 80 Tahun Ke-2, 8-14 Februari 2000

Aborsi Semakin Jadi

Di tangan dr Agung Waluyo, 200 bayi digugurkan dalam waktu 11 bulan. Aborsi telah menjadi gejala penyakit sosial bagi sebagian kaum wanita kelas menengah?


Aborsi makin digemari. Dan sekali lagi praktek ilegal pengguguran kandungan itu terbongkar. Kasus terakhir yang diungkap polisi adalah penggerebekan pada hari Jumat (11/2) di tempat praktek dr Agung Waluyo, di Jalan Musik Raya, daerah perumahan mewah Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Sampai hari terbongkarnya praktek tersebut, dokter kandungan yang biasa berpraktek di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ini telah 11 bulan menjalankan praktek aborsi ilegal. Dua ratus pasien telah ia tangani. Dua ratus janin ia gugurkan. Itu pengakuan dr Agung sendiri. “Terus terang, saya hanya terpanggil oleh keluhan wanita yang hamil, tapi ditinggal pasangannya,” kata alumnus UI ini dengan entengnya.

Selain ‘panggilan mulia’ itu, silakan bercuriga terhadap motif lain yang tak terkatakan. Uang, misalnya. Untuk melihat bahwa praktek aborsi ilegal ini tak ubahnya seperti tambang emas bagi dr Agung Waluyo, simaklah pengakuan bidan Jubaedah, yang turut membantu praktek haram tersebut. Menurut Jubaedah, tarif yang dikenakan kepada setiap pasien cukup lumayan, yakni antara Rp600 ribu hingga Rp2 juta. Itu untuk pasien yang kondisinya sehat. Ongkos yang lebih mahal akan dikenakan bagi pasien yang kondisinya kurang sehat. Untuk memperlancar prakteknya, selain mempekerjakan bidan Jubaedah, Agung dibantu oleh seorang calo yang bertugas mencari calon pasien. Sebagai calo, Bobby digaji Rp100 ribu per hari.

Terhadap kasus di Kelapa Gading ini, psikiater Dadang Hawari mengatakan, “Ini, kan, diduga indikasinya abortus kriminalis.” Jika dugaan kriminal itu terbukti, Anda bisa merujuk pada UU No 23/1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. UU itu jelas menyebutkan sanksi yang berat baik bagi pengaborsi maupun dokter yang melakukan aborsi. “Jadi, praktek itu bisa dihukum dan terjerat undang-undang,” kata Dadang kepada DëTAK, Selasa (15/2).

Hal senada dilontarkan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menperpu)/Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Khofifah Indar Parawansa. “Dalam undang-undang kesehatan sudah jelas bahwa sangat berat sekali sanksinya bagi aparatur medis yang membantu pelayanan aborsi,” kata Khofifah.

Agaknya, praktek yang dilakukan Agung ini bukan satu-satunya pratek aborsi ilegal yang terungkap. Mungkin, bila dilakukan penelitian lebih luas, praktek aborsi ilegal ini bisa diungkap lebih banyak lagi. Kepala Divisi Reproduksi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Priya Subroto, tampaknya membenarkan pendapat ini. “Begitu luas, dari desa sampai ke kota-kota kecil. Sulit untuk mendata dalam skala nasional,” kata Priya kepada DëTAK, Selasa (15/2). Selain luas wilayahnya, praktek aborsi pun dilakukan tak hanya oleh dokter, tapi juga oleh dukun kandungan.

Menurut catatan PKBI, diperkirakan, dalam dua tahun terakhir, wanita yang melakukan pengguguran kandungan (aborsi) sebanyak 2 juta. “Yang paling menyedihkan, dari 2 juta itu sekitar 750.000 dijalani oleh kaum remaja di luar nikah,” kata Khofifah kepada DëTAK di sela-sela hearing dengan komisi VI, Rabu (16/2). “Ledakan angka pada remaja ini menjadi keprihatinan kita,” tambah Khofifah. Menurut Khofifah, angka itu sangatlah besar jika dibandingkan dengan angka kelahiran bayi yang sekitar 4,5 juta jiwa.

Dengan pembanding data Departemen Kesehatan tahun 1997, lonjakan kasus aborsi di Indonesia kelihatan makin membubung. Sepanjang tahun 1997, di Indonesia tercatat sekitar 9.757 bayi mati akibat abortus. Ini berarti kasus aborsi di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Penyakit sosial

Perihal keselamatan si ibu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat angka 15—50% kematian maternal disebabkan oleh aborsi berupa pendarahan, atau infeksi, atau gabungan keduanya. Data di Depertemen Kesehatan menunjukkan, di Indonesia kematian maternal yang disebabkan oleh aborsi hampir tidak ada. Atau tidak tercatat? Sebab, cukup sering terdengar kasus perempuan meninggal karena upaya pengguguran kandungan.
Sementara itu, tidak ada data yang pasti tentang berapa besar dampak aborsi terhadap kesehatan wanita. WHO memperkirakan, di seluruh dunia setiap tahun terjadi sekitar 20 juta unsafe abortion. Sebanyak 70.000 wanita meninggal akibat unsafe abortion. Atau 1 di antara 8 kematian maternal disebabkan oleh unsafe abortion.

Bila angka kematian akibat aborsi begitu tinggi, mengapa aborsi makin digemari? Jawabannya bervariasi, mulai dari kegagalan kontrasepsi, terikat penyakit tertentu, kelainan jiwa, sampai kelainan/cacat pada janin dengan berbagai latar belakang sosial budaya. Jawaban lain—dan ini cukup banyak—karena kehamilan yang tidak direncanakan, tidak kehendaki (unintention), tidak diinginkan (unwanted), atau malu dan ingin menutup aibnya. Ini mungkin bisa dilihat dari salah satu yang ditangkap polisi pada saat penggerebekan di rumah praktek Agung di Kelapa Gading. “Saya sebenarnya tidak tega menggugurkan kandungan ini. Tapi saya malu dengan teman-teman kuliah yang sering melihat saya muntah-muntah di WC,” ungkap pasien dr Agung yang belum sempat melakukan aborsi.

Bagi Dadang Hawari, praktek aborsi akhir-akhir ini memang telah menjadi semacam penyakit sosial. “Banyak kondom, ternyata banyak juga yang hamil,” kata Dadang. Menurut psikiater kondang ini, meningkatnya wanita melakukan aborsi sangat erat kaitannya dengan minuman keras, narkoba, dan pornografi. “Jadi, minuman keras dan narkoba adalah provaktor tindakan asusila, bahkan hubungan seks bebas. Begitu juga pornografi,” simpul Dadang.

Solusi yang Tak Kunjung Tiba

Aborsi merupakan suatu kontroversi yang tidak pernah selesai. Akhir tahun lalu, Menteri Kesehatan telah membicarakannya pada sebuah pertemuan di Semarang. Di situ Menteri Kesehatan menjanjikan bahwa dalam waktu dekat, pemerintah akan menentukan beberapa rumah sakit atau klinik yang diperbolehkan melayani aborsi. Untuk itu, “Harus ada penyuluhan dan harus ada lembaga khusus yang boleh melakukan itu,” kata Dadang.

Dan jika hal ini hendak diwujudkan, pemerintah tampaknya harus melayani perdebatan sengit dengan kalangan agamawan. “Idealnya memang harus ada forum bersama dari agamawan, Depkes, dan Ikatan Dokter Indonesia,” kata Khofifah. “Forum inilah yang akan mencari solusi terbaik.”

Apa pun solusi yang akan diambil kelak, yang jelas apa yang dinamakan praktek haram tak mungkin dibiarkan tanpa penyelesaian. Termasuk aborsi ilegal. Ia tak hanya menunjukkan makin meningkatnya gejala penyakit sosial. Dalam cara pandang paham kriminalitas, kasus Kelapa Gading ini menjadi puncak dari kejahatan yang tengah berlangsung dalam kehidupan masyarakat kelas menengah kita.

rusman/memed

Terpublikasi di Tabloid DeTAK No. 82 Tahun ke-2, 22-28 Februari 2000

Senin, 04 Agustus 2008

Aksi Teror Untuk LSM

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menjadi sasaran teror. Bahkan, teror fisik dalam bentuk kekerasan merebak kembali. Budaya peninggalan Orde Baru?

Jum’at siang (26/5), beberapa aktifis Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan korban kekerasan) terlihat sibuk memindahkan beberapa dokumen-dokumen penting mereka. Setelah itu, mereka bergegas membawanya ke mobil dan segera meluncur pergi.

Memang Kontras mau pindah kantor? Ternyata tidak. “Kita menerima telepon gelap. Katanya kantor ini mau diduduki dan dibakar,” kata Gian, aktifis Kontras kepada DeTAK, Rabu (31/5). Setelah mendapatkan ancaman itulah, mereka berinisiatif menyimpan beberapa dokumen penting tersebut ketempat yang aman.

Ancaman dari penelpon gelap tadi, tampaknya, terkait dengan kejadian sehari sebelumnya. Pada Kamis (25/5), ketika mahasiswa sedang gencar-gencarnya melakukan demo ke Cendana, di depan kantor Kontras yang terletak di Jl Mendut, Menteng, Jakarta Pusat, sempat terjadi kericuhan. Masalahnya bermula ketika beberapa aktifis Kontras berusaha melindungi seorang aparat dari amuk para demonstran. Sayangnya, justru terjadi kesalahan-pahaman antara Kontras dengan pihak aparat. “Kontras dianggap mereka sebagai pelindung dan penggerak para demontran,” kata Gian lagi.

Apa yang dialami Kontras memang tidak separah yang dialami ICW (Indonesian Coruption Watch) dan Solidamor (Solidaritas untuk Masyarakat Timor-Timur). Kantor kedua LSM ini, sempat disatroni sekelompok orang. Kantor sekretariat ICW yang terletak di Jl Tulodong Bawah, Minggu lalu, diserbu oleh para pendemo yang jumlahnya sekitar 30 orang. Mereka mendesak ICW untuk tidak ‘hanya’ mengurusi masalah mega kredit Texmaco, tapi juga mengusut kasus BLBI. Ironisnya, para pendemo itu melabrak sekretariat ICW sampai tiga kali, satu diantaranya datang malam hari.

Peristiwa yang hampir sama juga dialami oleh Solidamor. Kantor sekretariat Solidamor yang terletak di Jl Pramuka Jayasari yang merupakan kawasan cukup padat itu, diserbu sekelompok massa, pada Rabu (24/5). Selain mengobrak-abrik, mereka juga menyikat uang sejumlah Rp 18 juta. Tak hanya itu, massa juga mencederai tiga aktifis Solidamor.

Dilihat sepintas, orangpun mahfum, bahwa aksi teror yang dialamai tiga LSM itu sangat kental bernuansa politis. Teten Masduki, Koordinator ICW kepada DeTAK, mendapatkan bukti bahw aorang-orang yang mendatangi kantornya adalah orang suruhan. “Salah satunya bilang, mereka hanya melakukan perintah bos,” kata Teten Masduki, Selasa (30/5) lalu.

Sementara itu, Tri Agus, aktifis Solidamor ini kepada DeTAK, Rabu (31/5), menengerai orang-orang yang menyerbu ke kantornya sebagusuruhan para mantan jenderal yang terlibat pembumihangusan di Timtim pasca jajak pendapat lalu. Masalahnya, mereka yang datang itu, apabila dilihat dari warna kulit dan rambut, adalah orang asli Timtim,

Mencuatnya tiga kasus itu, tentu saja, membuat prihatin semua pihak. Apalagi, tiga LSM yang disantroni itu, dikenal vokal dalam dunia politik. “Itu resiko mereka melakukan aktifitas seperti itu,” kata Arbi Sanit kepada DeTAK, Kamis (1/5).

Sebenarnya, sejak Soeharto berkuasa, aksi teror sering kali dialami para aktifis pro demokrasi. Perbedaannya, ketika Soeharto berkuasa justeru negara lah yang melakukan aksi-aksi teror. Sedangkan saat ini, justru masyarakat yang melakukannya. “Masyarakat mempunyai kesempatan politik yang lebih luas, lalu mereka melakukan segala hal sampai keteror,” kata Arbi lagi.

Kalau pun itu resiko, bagaimana sikap para aktifis? “Kami tidak akan kapok sedikitpun,” tegas Tri Agus. Sedangkan Teten, menyatakan tak menghiraukan tekanan-tekanan semacam itu. Hanya saja, dia berharap agar aparat kepolisian bersikap lebih tegas dalam menangani kasus-kasus semacam itu. Jangan malah ikut meneror.


rusman

Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No. 97 Tahun ke-2, 6-12 Juni 2000