Kamis, 06 November 2008

Yang Tersisa dari Alam


Sebuah Ironi: hari lingkungan sedunia selalu diperingati setiap 5 Juni, tapi praktik pembabatan hutan, pencemaran udara, dan penambangan liar masih terus berlangsung. Masih adakah yang tersisa dari Alam Indonesia?

...lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu...saja
Oh..oh...jelas kami kecewa....


Masih ingat dengan bait syair lagunya Iwan Fals ini? Lirik lagunya sarat dengan kritik soal gencarnya praktik pembabatan hutan secara berlebihan. Dan agaknya, lirik lagu Iwan tersebut sangat cocok untuk dijadikan tema dalam peringatan hari lingkungan hidup tahun ini. Mengapa tidak? Soalnya sampai kini kerusakan alam masih menjadi momok yang sulit dielakkan. Malahan, tingkat kerusakan lingkungan hidup makin hari makin tinggi. Sebut saja mulai dari pembabatan hutan, pembuangan limbah, polusi udara, sampai penambangan liar.

Anhnya, banyak orang tidak merasa terusik dengan peristiwa. Padahal, bila ingin jujur, kerusakan lingkungan hidup telah berada pada posisi yang emergency. Mungkin bagi sebagaina kalangan, penilaian semacam ini terlalu berlebihan. Namun, tidak begitu bagi para aktivis lingkungan. Bagi kelompok yang selalu bergelut dengan persoalan hidup, peristiwa tersebut merupakan sebuah ancaman.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), misalnya, menganggap penyelamatan hutan menjadi menu utama untuk dikampayekan. Menurut Emmy Hafild, penyelamatan hutan sudah sangat mendesak. Alasannya, ”Hutan kita sudah sangat parah,” tegas Emmy kepada DeTAK. Dengan alasan seperti itu, Walhi bersikap tegas, yaitu mengeluarkan moratorium penebangan hutan. Artinya, Walhi besrikap keras bahwa penebangan hutan saat ini juga harus dihentikan. ”Kalau mau hutan kita tidak bertambah rusak, ini harus dilakukan,” tegas Emmy lagi.

Agaknya, apa yang dicanangkan Walhi ini tidaklah berlebihan. Pasalnya kini luas hutanyang layak dieksploitasi hanya tinggal 37 juta hektare. Sisanya, sekitar ratusan juta hektare hutan telah mengalami kerusakan dan tidak bisa dieksploitasi. Sementara itu, untuk mengembalaikan hutan dalam keadaan asri seperti semula, tidak semudah membalikkan tangan. Dibutuhkan waktu sampai puluhan tahun lamanya.

Penebangan hutan secara berlebihan bagi Indonesia merupakan penyakit yang sulit disembuhkan. Selama ini banyak faktor yang menjadi penyebab sulitnya memerangi penebangan hutan secara berlebihan ini. Namun, penyebab utama yang paling jelas adalah lemahnya penegakkan supremasi hukum. ”Makanya kita harus mendorong penegakkan hukumnya,” Mardi Minangsari, aktivis Telapak Indonesia kepada DeTAK. Menurutnya, karena supremasi hukumnya lemah, penjahat hutan tidak terjerat hukum. Rupanya, hal tersebut dimengerti oleh Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Sonny Keraf. ”Makanya saya akan memfokuskan pada penegakkan hukum,” kata Sonny Keraf , singkat.

Namun belakangan, Sonny Keraf tidak sepakat dengan desakan Walhi yang meminta moratorium diterapkan. Menurutnya, moratorium tidak bisa diberlakukan secra mutlak. ”Harus dicari jalan tengah untuk menjembatani antara moratorium dan realitas yang ada,” kata Sonny kepada Wartawan.

Pencemaran Udara

Sementara itu, ancaman lingkngan hidup lain yang tidak kalah pentingnya adalah pencemaran udara. Menurut penelitian United Nation for Environment Programme (UNEP), tingakt pencemaran udara di Jakarta termasuk terparah setelah Meksiko dan Bangkok. Menurut Bapedal, penyebab utama polusi udara di Jakarta adalah asap kendaraan bermotor, yang sampai 70 persen.

Tentu saja asap bermotor sangat berbahaya bagi lingkungan. Pasalnya, asap yang keluar dari sebagian kendaraan bermotor tersebut sarat dengan zat-zat beracun. Sebut saja timbal, racun yang dapat merusak pertumbuhan otak anak-anak. Belum lagi asap-asap dari cerobong pabrik yang ikut menambah pekatnya udara.

Nah, menghadapi hal tersebut Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) memilki program penghapusan bensin bertimbal secara bertahap. Untuk Jakarta misalnya, Penghapusan bensin berimbal akan dilakukan pada Juli 2001 ini. Sementara itu, untuk seluruh Indonesia akan dilakukan pada Januari 2003.

Akan halnya tingkat pencemaran sungai dan lat masih terbilang tinggi. Menurut catatan Walhi, sebanyak 2,2 jta ton limbah bahan beracun berbahaya (B3) tiap tahunnya dibuang ke sungai di Jakarta dan Jawa Barat. Belum lagi daerah-daerah lain yang juga sara pencemaran sungai. Laut sebagai daerah terluas juga diyakini kerap menjadi tempat pembuangan limbah dari industri-industri. Belum lagi tumpahan minyak ke laut. Kejadian di Jepara beberapa bulan lalu, yakni tumpahnya miyak dari sebuah kapal, tentu menjadi catatan tersendiri bagi Indonesia.

Belum lagi soal banyak rusaknya terumbu karang akibat dari tingginya penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bom. Lihat saja yang terjadi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara, terumbu karang terancam punah. Sementara itu, lingkungan di Balai Taman Laut Naasional (BLTN) Karimunjawa, Jepara, juga terancam rusak akibat adanya pengkapan ikan dengan menggunakan potasiumsianida dan bom.

Masalah pertambangan kemudian juga memunculkan persoalan. Misal saja pertambangan liar di Gunung Pongkor, di kawasan Gunung Halimun, Jawa Barat, semakin marak. Mereka menabang pohon-pohon hutan lindung. Tidak itu saja, para penambang ini juga membuang limbah air raksa yang digunakan untk mencuci hasil galiannya ke sungai di sekitarnya. Akibatnya, sungai itupun tercemar oleh logam berat dan beracun. Hal serupa juga terjadi di daerah lain seperti di Cikoreng, Jawa Barat; Sawalunto, Sumatera Barat; juga di wilayah pertambangan di Kalimantan Timur, di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.

Agaknya, bila lingkungan hidup tidak ditangani secara arif, dikwatirkan akan menambah rapuhnya alam ini. Masihkan kita menikmati keindahan alam yang tersisa?

Rusman
Dipublikasikan di Tabloid DeTAK No. 143 Tahun ke 3, 13-19 Juni 2001

Tidak ada komentar: