Jumat, 21 Desember 2012

Museum KAA adakan Edukasi Publik Bertajuk "Bandung Spirit for Palestine"

Di penghujung tahun 2012, guna meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya kalangan generasi muda Kota Bandung, mengenai Sejarah Perjuangan Diplomasi Indonesia dan Solidaritas Rakyat Asia Afrika, Museum KAA, Kementerian Luar Negeri yang didukung oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat gelar serangkaian kegiatan edukasi publik yang bertajuk “Bandung Spirit for Palestine”. Mengawali rangkaian kegiatan, pada hari Rabu (26/12) di Ruang Audiovisual Museum KAA, “Culture Festive: Arabian Day” akan hadirkan seni budaya Timur Tengah dan The Beauty of Hijab Workshop pada Pkl. 13.00-16.00WIB. Menyusul pada Pkl. 17.00-20.00WIB, sebuah buku menarik karya R. Garaudy, “Israel dan Praktik Zionisme” akan dibedah secara bersama-sama. “Informasi yang berimbang tentang isu Timur Tengah diharapkan dapat menjawab segala rasa ingin tahu kita selama ini, khususnya kalangan generasi muda”, papar Thomas Siregar, Kepala Museum KAA di Bandung, Kamis (20/12). Tak lupa bagi peminat film genre sejarah, sebuah film kolosal berlatar Timur Tengah, “Kingdom of Heaven” digelar pada Kamis (27/12), Pkl. 13.00-17.00WIB di Ruang Audiovisual Museum KAA. Film akan dikupas tuntas oleh Alfitri Adlin dan Tobing, Jr. dalam diskusi seru yang dimoderasi Adew Habtsa. Masih menurut Thomas, pemutaran dan diskusi film ini diharapkan jadi sarana ampuh guna komunikasikan “Bandung Spirit for Palestine” kepada publik. Pamungkas, Senin (31/12), Pkl. 13.00-17.00WIB di Ruang Pamer Tetap Museum KAA, digelar talkshow “Bandung Spirit: Dulu, Kini & Masa Depan”. Talkshow akan hadirkan narasumber, yaitu Direktur Timur Tengah - Kemlu, Budhyana Kartawidjaja (Pimred. HU Pikiran Rakyat), http://dinasulaeman.wordpress.com/ (Pengamat Hubungan Internasional dan Kajian Timur Tengah) dan Hendrajit (Direktur Eksekutif Global Future Institute) serta Teuku Reza (Dosen Universitas Padjadjaran) sebagai moderator. Pada kesempatan ini juga, pameran foto “Bandung Spirit for Palestine” direncanakan akan dibuka resmi oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Pameran berlangsung hingga akhir Januari 2013 dan terbuka untuk umum. Asal muasal konflik Timur Tengah hingga tercapainya pengakuan Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat disajikan secara apik untuk pengunjung museum. Masih dalam rangkaian akhir kegiatan, Museum KAA sambut malam pergantian tahun 2012-2013 pada Senin (31/12) dengan menawarkan layanan khas “Night at the Museum” kepada masyarakat. Sejak Pkl. 19.00-00.59WIB, masyarakat dapat menikmati sensasi suasana kunjungan museum di malam hari. Selain itu, berbagai pertunjukkan bernafas kebangsaan berupa seni akustik, angklung hingga penampilan teatrikal dan stand aneka kuliner di Selasar Timur Museum KAA akan manjakan pengunjung. Thomas juga mengingatkan bahwa “Bandung Spirit for Palestine” merupakan dukungan negara-negara Asia Afrika yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Asia Afrika terhadap kemerdekaan Palestina sejak Konferensi Asia Afrika 1955 (KAA). Komunike Akhir KAA 1955 dengan tegas nyatakan dan rumuskan bentuk dukungan politik terhadap upaya tercapainya perdamaian di Timur Tengah (Palestina). Wujud dukungan ini terus berlanjut di masa-masa setelahnya. Berbagai bentuk penggalangan dukungan untuk Palestina telah dilakukan Indonesia mulai dari pengiriman Kontingen I Garuda di Perang Arab-Israel (1959), KTT Gerakan Nonblok, NAASP (New Asian-African Strategic Partnership) hingga forum-forum internasional lainnya. Berbasis pada Politik Luar Negeri Bebas Aktif, Indonesia secara konsisten mengawal dukungan perjuangan rakyat Palestina. “Bandung Spirit for Palestine tidak saja bersumber pada Komunike Akhir KAA 1955 namun juga menjadi amanat luhur Pancasila dan UUD 1945. Selain itu di awal kelahirannya, kemerdekaan Indonesia memperoleh pengakuan de jure dari negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam Liga Arab”, pungkas Thomas. Kegiatan ini terbuka untuk umum dan terselenggara dengan semangat kerja sama antara Museum KAA, Kementerian Luar Negeri dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta didukung oleh kalangan komunitas masyarakat, antara lain: Sahabat Museum Konperensi Asia Afrika (SMKAA), Komunitas Film LayarKita, Asian - African Reading Club (AARC) serta berbagai komponen masyarakat lainnya. (TGR/Kemlu RI)

Rabu, 05 Desember 2012

Mengungsi, Tapi Bukan Pengungsi

Suasana Ardallah, sebuah kota wisata di Palestina, siang itu terasa kelabu.
Halaman kafe Fardous penuh dengan orang-orang dan radio dibunyikan dengan volume penuh.
Terdengar musik mengalun. Mereka semua menantikan berita tentang Sidang Umum PBB yang akan menentukan nasib mereka
.

Tiba-tiba musik berhenti dan terdengar suara penyiar, “PBB telah mengesahkan resolusi terhadap pembagian Palestina.”

Orang-orang tercekat seakan-akan ada orang yang memasang tali gantung ke leher mereka.

Penyiar meneruskan, “Kota suci Jerusalem dan sekitarnya menjadi hak internasional. Mandat Inggris akan berakhir dan Inggris akan pergi Agustus mendatang.”

“Gila!” Yousif mendengar Salman berseru di belakangnya..

“Hasil pemungutan suara yang mengejutkan telah keluar. 33 anggota mendukung resolusi, 3 menolak, dan 10 abstain.”

“Delegasi negara-negara Arab sangat terkejut,” penyiar meneruskan, “melihat bagaimana AS telah memaksa negara-negara lain mendukung pembagian Palestina. Bahkan negara besar seperti Prancis diancam tidak lagi menerima bantuan luar negeri AS kalau tidak mendukung pembagian.”

Kejadian di atas adalah kutipan (dengan sedikit editan untuk mempersingkat) dari novel My Salwa, My Palestine karya penulis Palestina, Ibrahim Fawal. Selanjutnya, tokoh Yousif dan keluarganya serta seluruh penduduk Arab di Ardallah diusir dari rumah-rumah mereka oleh pasukan Zionis dan orang-orang Yahudi yang semula tetangga mereka sendiri. Mereka menempuh perjalanan kaki yang sangat jauh, terpencar-pencar satu sama lain, sebagian jatuh sakit dan meninggal, lalu akhirnya menetap di pengungsian.

Tokoh Yousif dalam novel itu mungkin rekaan semata. Namun, kejadian pengusiran itu nyata dan dicatat dalam sejarah. Segera setelah Resolusi 181 disahkan PBB tahun 1947, kelompok-kelompok sipil militan Yahudi seperti Haganah segera melakukan operasi pengusiran orang Arab dari wilayah yang menjadi ‘jatah’ Israel. Ilan Pappe, sejarawan Yahudi, dalam bukunya menulis bahwa pada 10 Maret 1948, dua bulan sebelum proklamasi “kemerdekaan” Israel, para pemimpin Zionis berkumpul di Tel Aviv dan menyetujui Rencana Dalet. Melalui rencana ini, lebih dari 13 operasi militer bawah tanah dilancarkan. Berikut ini bunyi instruksinya:

Operasi-operasi ini dapat dilaksanakan dalam bentuk berikut ini: menghancurkan desa-desa (dengan membakar, meledakkan, dan menanam ranjau di reruntuhan desa itu)... atau menyisir kawasan pegunungan dan melakukan operasi pengontrolan dengan mengikuti petunjuk ini: mengepung desa-desa dan melakukan pencarian di dalam desa-desa itu. Bila ada perlawanan, kekuatan bersenjata harus dilenyapkan dan penduduk desa diusir hingga keluar dari perbatasan negara.
--Plan Dalet, 10 Maret 1948


Taktik pembersihan etnis Arab oleh Israel antara lain: desa-desa dikepung dari tiga arah dan arah keempat dibuka untuk pelarian dan evakuasi. Dalam beberapa kasus, taktik ini tidak berhasil karena para penduduk desa tetap tinggal di dalam rumah-rumah mereka. Dalam kondisi seperti inilah dilakukan pembunuhan massal. Hingga tahun 1954, total 80% orang Palestina yang tinggal di kawasan ‘jatah’ Israel telah terusir dan hidup di pengungsian hingga kini. Kawasan jatah Israel pun, yang oleh PBB ditetapkan 56,5% kini telah meluas menjadi 77% dan upaya ekspansi terus berlanjut hingga hari ini.

Para pengungsi Palestina melalui musim dingin di tenda-tenda yang disediakan oleh para sularelawan; hampir semua lokasi pengungsian ini akhirnya menjadi tempat tinggal permanen mereka sampai hari ini. Satu-satunya harapan bagi para pengungsi saat itu adalah Resolusi PBB nomor 194 (11 Desember 1948) yang menjanjikan bahwa mereka akan segera dipulangkan ke rumah masing-masing; resolusi itu adalah salah satu dari sekian banyak janji yang dibuat oleh masyarakat internasional untuk bangsa Palestina, yang tidak pernah dilaksanakan hingga hari ini.

Selain itu, ada orang-orang Arab yang masih ‘tersisa’ di dalam wilayah yang menjadi jatah Israel. Mereka kini tercatat sebagai warga Israel, meski sangat didiskriminasi. Untuk mencari nafkah, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang enggan dilakukan warga Yahudi. Israel memang membangun tempat tinggal baru untuk orang-orang Arab itu, tapi di tempat lain, bukan di tanah milik mereka sendiri. Inilah relokasi versi Israel: tanah dan rumah penduduk Arab dirampas, lalu mereka diberi ganti tempat tinggal dengan kondisi yang mengenaskan. Israel menetapkan hukum law of return: mengizinkan orang Yahudi untuk ‘kembali’ dan menjadi warga Israel dengan diberi berbagai fasilitas istimewa; tetapi pada saat yang sama, mengabaikan right of return orang-orang Arab ke tanah dan rumah mereka.

UNHCR mengategorikan orang-orang seperti ini dengan istilah Internally Displaced Person (IDP). IDP tidak sama dengan pengungsi, karena mereka tidak melintas batas negara. Mereka mengungsi (atau tepatnya, diusir dari tempat tinggal asal), dan terpaksa hidup di tempat lain, meski tetap berada dalam wilayah yang sama. Mereka mengungsi, tapi tidak bisa disebut pengungsi. Menurut aturan UNHCR, mereka tetap menjadi tanggung jawab pemerintah Israel, meskipun justru Israel sendiri yang menyebabkan mereka jadi pengungsi. Artinya, kezaliman terhadap IDP tidak bisa diutak-atik orang luar. Untuk membantu pengungsi yang benar-benar pengungsi (refugees), ada banyak organisasi sosial internasional yang bisa turun tangan. Tapi upaya membantu IDP akan bertabrakan dengan tembok ‘kedaulatan negara’ dan jargon ‘dilarang mencampuri urusan internal negara lain.’

IDP bukan hanya ada di Israel. IDMC (The Internal Displacement Monitoring Centre) mencatat, di seluruh dunia ada sekitar 26.400.000 orang yang terpaksa menjadi IDP: secara de jure mereka berstatus warga negara, tetapi secara de facto mereka adalah pengungsi. Mereka adalah korban konflik dan kekerasan di sekitar 60 negara, antara lain Bosnia, Chad, Kolombia, Kongo, Afganistan. Algeria. Angola, Armenia, Azerbaijan, India, Irak, Syria, Kosovo, Somalia, Sudan, Libya, Myanmar, Somalia, dan, jangan kaget, Indonesia.

IDMC mencatat ada 180.000 orang Indonesia yang berstatus IDP. Mereka antara lain berada di Aceh, Makasar, Bima, Maluku, Flores, Poso, Papua, dan Madura. Perhatian pemerintah terhadap mereka sangat minim, bahkan cenderung mengabaikan. Padahal, seharusnya sebagaimana dinyatakan oleh UNHCR, IDP adalah tanggung jawab pemerintah. Warga Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, misalnya, yang pada 26 Agustus diserang dan diusir dari desa mereka oleh kelompok-kelompok fanatik garis keras, hingga kini masih hidup di GOR Sampang. Mereka tidak bisa kembali ke tanah mereka (rumah mereka sudah habis dibakar massa) karena dilarang oleh pemerintah daerahnya sendiri. Beritaprotes.com (2/12/12) merilis berita bahwa GOR Sampang kini menjadi semacam penjara besar untuk hampir 200 orang ‘pengungsi’ (IDP) itu. Akses keluar-masuk GOR dihambat, suplai makanan dan air pun sangat terbatas. Kondisi para pengungsi yang sepertiganya adalah bayi dan balita menjadi kian miris. Berdalih tak punya uang, pemerintah Sampang menghentikan suplai makanan. Bukannya memulihkan hak mereka untuk kembali (right of return) Pemda malah mendesak pengungsi agar mau direlokasi.

Membaca berita ini, agaknya bangsa ini perlu introspeksi diri. Bangsa ini dengan penuh semangat menggalang dana untuk membantu bangsa Palestina yang terjajah, mengirim tim-tim relawan, membangun rumah sakit, dll. Tentu sangat ironis bila di kampung halaman sendiri ada saudara sebangsa yang berstatus IDP. Membela Palestina itu harus, tapi saudara sebangsa yang terzalimi pun jangan sampai diabaikan.


*Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Research Associate of Global Future Institute (GFI)