Jumat, 19 Oktober 2012

Saya Bangga dengan Teman-teman GFI Bisa Melihat Kondisi Global untuk Kepentingan Nasional

Pada hari jadi Global Future Institute (GFI) yang ke-5, tepatnya Kamis, 11 Oktober 2012, tim redaksi The Global Review mendapat kesempatan mewawancarai Indra Sugandi, aktivis Pergerakan Rakyat Semesta (GKRS) di kantor GFI, Wisma Daria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mbak Indra begitu ia disapa, menuturkan pendapatnya seputar terbitan perdana Jurnal The Global Review Quarterly. Berikut wawancara Indra Sugandi dengan Rusman dan Hendrajit : Tanggapan Anda terhadap Isi jurnal The Global Review Quarterly (TGRQ) edisi perdana ini? Saya kagum bahwa ada teman-teman muda saya bisa membahas summit APEC ini secara mendalam dan lengkap. Ini dapat membangkitkan kembali ingatan kita akan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Yang seharusnya kita sebagai bangsa sekarang ini memperkuat posisi strategis di dunia internasional dengan menjabarkan konsepsi politik luar negeri tersebut. Karena itu saya katakan ini sebagai sebuah karya yang keren. Tetapi pertanyaan saya sejauh apa dampaknya kepada para pembaca. Menurut hemat saya, kita, seharusnya sebagai bangsa Indonesia seharusnya mampu memposisikan diri sesuai dengan politik bebas aktif ini di tingkat global. Sejauhmana kita bisa merebut kembali momentum tersebut seperti yang pernah diprakarsai oleh Bung Karno dalam forum Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955, dan Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok pada 1961 di Yugoslavia. Bagi saya ini bukan sinisme tapi sebuah harapan ke depan, sehingga politik luar negeri RI yang bebas dan aktif betul-betul bisa digunakan sebagai senjata Indonesia untuk memperkuat posisi strategis Indonesia menghadapi negara-negara lain. Terutama negara-negara adidaya. Anda melihat berapa besar niat pemerintah menerima masukan-masukan seperti yang terbahas dalam jurnal TGRQ ini? Saya melihat belum ada. Dari dua dekade pemerintahan ini, kecuali sebagai individu presiden kita pada saat mengambil kesempatan, hanya sekadar bicara saja tapi bukan pada subtansinya. Dan diplomat kita di luar negeri, saya melihatnya juga hanya sekadar pencitraan belaka. Buktinya pemerintah kita tidak bisa berbuat apa-apa ketika para Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri kita mau dipenggal seperti terjadi di Arab Saudi. Data kemarin saja, di Malaysia sekitar 100 orang kabarnya sedang menghadapi hukuman gantung. Ada komentar dari pejabat KBRI di luar negeri kita. “Kami tidak pernah tahu. Kalau kami tahu, kami pasti akan memberi bantuan. Masak kayak gitu sih ngomongnya diplomat kita? Harusnya kan bukan seperti itu. Sebenarnya keberadaan KBRI kita di seluruh dunia kan mestinya mencari tahu adanya kasus semacam itu atau kasus-kasus yang berpotensi terjadinya kasus Ruyati seperti di Arab Saudi. Bukannya setelah kejadian terjadi, baru para diplomat KBRI pada datang, bertindak. Artinya para diplomasi kita hanya bersikap reaktif? Ya terlalu reaktif. Mereka tidak pro aktif. Kembali dengan pendapat Anda dengan isi yang terbahas dalam Jurnal TGRQ? Yang menarik lagi ada dalam artikel dalam jurnal dikutip “And Hatta prescribed the best option for Indonesia to sail between two reefs in which the nation must keep sailing or meet the risks for being shipwrecked on either side. And that is what having till now been called as ” free and active” foreign policy.” Ini sebenarnya yang menjadi esensi tema yang diangkat. Lantas apa harapan Anda untuk terbitan jurnal TGRQ di masa mendatang? Harapan saya mungkin dapat dibuatkan tema berseri seperti di sub judul “Free-Active” in Soekarno’s version. Diperdalam dan dijabarkan dalam sub topik. Dan misalnya lagi , “New Definition of Free and ActiveForeign Policy in GFI’s Version.” Inilah peran strategis yang saya harapkan dimainkan oleh Global Future Institute. Pandangan Anda tentang tema APEC sendiri? Harus diambil momentumnya. Misalnya terjadi dengan Pacific Rim, seperti Cina, yang ingin mendudukkan diri sebaga kekuatan baru. What role of Indonesia can play? ASEAN sendiri saja sudah tidak terdengar sekarang. Intinya APEC harus jadi momentum dan harus direalisasikan. Saya tidak tau harus bagaimana, Karena Indonesia itu akan jadi pusat konsentrasi. Anda melihat momentum APEC ini tidak disadari sebagai kesempatan oleh pemerintah untuk berperan? Bila kita bicara kesadaran, bahasa jawanya harus dioprak-oprak dulu, artinya ini harus terus didorong. Karena kalau kita mengenal sistem pendidikan disekolah, tidak diperkenalkan apa itu Indonesia, wilayahnya itu seperti apa. Kebudayaannya seperti apa. Strategis Indonesia itu seperti apa, padahal letaknya diantara dua samudera dan dua benua. Sehingga tidak menjadikan Indonesia sebagai kebanggaan. Saya sangat bangga dengan teman-teman GFI yang dapat melihat kondisi global untuk kepentingan nasional. Bagaimana Anda melihat komposisi para penulis di jurnal TGRQ ini? Cukup bagus. Namun dari sisi wanita, saya bangga dengan Dina Sulaeman. Saya ingin mengenal lebih dekat. Karena saya lihat tidak semua perempuan dapat menulis dengan kritis seperti dia. (TGR)

Senin, 08 Oktober 2012

Ketegangan AS-Cina di Laut Cina Selatan Meningkat, Bisnis Perdagangan Senjata Meningkat

Penulis : Hendrajit dan Tim Riset Global Future Institute Reuters melansir sebuah berita cukup menarik. Kawasan Asia bakal jadi pasar yang mengundang minat para pengusaha industri strategis pertahanan untuk melempar produknya di kawasana ini. Buat Asia Tenggara, khususnya Indonesia, ini jelas perkembangan yang cukup mencemaskan karena di dalamnya terkait agenda strategis Amerika Serikat untuk meningkatkan eskalasi konfliknya di Asia Tenggara. Apalagi ketika konflik Amerika dan Cina semakin tajam dan berpotensi mengarah pada perang terbuka secara militer dalam dua atau tiga tahun mendatang. Beberapa indikasi sudah terlihat ketika dua perusahaan persenjataan strategis Amerika Lockheed Martin dan Boeing Defense, telah melakukan forcasting atau proyeksi bahwa kawasan Asia akan menyumbang 40 persen dari pendapatan internasional. Berarti, salah satu andalannya diperkirakan adalah di bidang industri strategis pertahanan. Membaca tren global ini, Global Future Institute berpandangan bahwa pada perkembangannya nanti meningkatnya potensi pasar di Asia terkait bisnis persenjataan strategis pada perkembangannya juga terkait dengan semakin menajamnya ketegangnan militer antara Amerika-sekutu-sekutu baratnya versus Cina di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Maka dari itu, kawasan Asia Tenggara terutama ASEAN, kiranya perlu mengantisipasi tren global tersebut. Karena dengan begitu pola ancaman bakal muncul bisa diprediksi sejak awal. Sekadar ilustrasi, mari kita simak Vietnam, yang sekarang ini harus dibaca sebagai sekutu potensial Amerika menghadapi pengaruh Cina yang semakin meluas di kawasan Asia Tenggara. Menurut catatan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), 97 persen persenjataan utamanya, termasuk Fregat, pesawat tempur, dan sistem rudal maritim Bastion- yang selama ini mengandalkan bantuan dan pasokan dari Rusia, dalam waktu mendatang menurut prediksi SIPRI), berencana untuk mengembangkan dan mendiversifikasi sumber-sumber peralatan militer strategisnya dari Belanda dan Amerika. Dalam bacaan Global Future Institute, tren ini bukan sekadar motivasi bisnis semata. Lebih dari itu, juga menggambarkan adanya pergeseran halun politik luar negeri Vietnam yang cenderung “merapat” ke Amerika dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam North Atlantic Treaty Organization (NATO). Kalau Filipina, jelas tak perlu diragukan lagi kiblatnya ke Amerika. Menurut catatan SIPRI, negara ASEAN yang satu ini mengandalkan 90 persen persenjataan strategisnya dari Amerika. Apalagi dengan kian meningkatnya konflik perbatasan Filipina dengan Cina terkait klaim wilayah di sekitar Laut Cina Selatan, maka dalam 5 tahun mendatang Filipina berencana akan memodernisasikan peralatan militernya. Yang itu artinya, semakin meningkat ketergantungan negara ini pada AS. Thailand, juga tidak kalah gencar dalam menggalakkan modernisasi peralatan militernya, yang tentunya juga untuk mengantisipasi meningkatnya ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Untuk memperkuat kapal patrolionya, negara Gajah Putih tersebut mengandalkan pasokan dari BAE System dari Inggris. Bahkan dalam rencana strategis pertahanan Thailand 5 tahun ke depan, berencana akan memodernisasikan kapal fregat dengan membeli dua kapal. Singapura, meskipun dalam berbagai simulasi skenario Perang terbuka Amerika dan Cina dalam dua tahun ke depan, diragukan kesetiaannya untuk membela AS dan negara-negara barat, namun nyatanya selama ini memberli sebagian besar alat sistem persenjataan strategisnya dari AS, Perancis dan Jerman. Baru-baru ini Singapore telah memesan pesawat jet tempur F-15SG dari Boeing Co di AS, serta dua kapal selam Kelas Archer dari Swedia untuk menambah armada mereka. Sebelumnya, negara kota itu sudah punya empat unit kapal selam Challenger. Walau negerinya kecil, Singapura nyatanya punya anggaran yang melimpah untuk membeli peralatan militer canggih. Menurut IISS(The International Institute for Strategic Studies (Asia), Singapura pada 2011 memiliki anggaran pertahanan sebesar US$9,66 miliar. Jumlahnya hampir dua kali lipat dari tetangga-tetangganya, yaitu Thailand (US$5,52 miliar), Indonesia (US$5,42 miliar), Malaysia (US$4,54 miliar), dan Vietnam (US$2,66 miliar), ungkap IISS. Sumber: The Global Review