Kamis, 20 September 2012

Hidupkan Kembali Cita-cita Kebangsaan

Bangsa ini harus menghidupkan kembali cita-cita mendirikan Republik Indonesia tahun 1945, terutama dengan mengacu pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan awal pendirian bangsa itu perlu terus dirajut kembali agar bangsa Indonesia tak semakin tersesat arus liberalism politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian dikatakan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Abdul Mun’im DZ dalam diskusi Pra-Musyawarah Nasional NU bertema “Dampak Liberalisasi Politik dalam Sistem Ketatanegaraan dan Hankam”, di Jakarta, Kamis (13/9). Pembicara lainnya adalah penulis buku Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, Wisnu HKP Notonegoro, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute Hendrajit. Mun’im mengajak masyarakat mengevaluasi perjalanan negara dan bangsa Indonesia sampai sejauh ini. Saat ini, elite politik telah melancarkan semangat liberasi hampir dalam semua bidang kehidupan, terutama lewat amandemen UUD 1945. Sebagian hasil amandemen sampai keempat itu justru menjauhkan dari cita-cita awal pendiri bangsa. Otonomi daerah yang kelewat bebas, misalnya, mendekatkan bentuk negara pada system federal. Pemilihan pemimpin dari presiden hingga kepala daerah secara langsung mendorong demokrasi liberal yang berbiaya tinggi dan rentan konflik. Sector-sektor strategis ekomomi justru dikuasai swasta, sementara masyarakat pun menjadi lebih individual. “Keresahan dan penderitaan masyarakat terjadi di semua tingkatan akibat ketidakpastian masa depan. Kedaulatan dan harga diri bangsa merosot serta kita tertinggal dari bangsa lain,” katanya. Untuk mengatasi kondisi ini, bangsa Indonesia perlu kembali ke semangat khitah 1945, terutama dengan mengacu pada kesepakatan para pendiri bangsa berupa Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. “Kita harus membangun bangsa ini sebagaimana cita-cita dan semangat awal untuk bentuk negara Indonesia uang merdeka, berdaulat, menuju masyarakat yang adil dan makmur,” ujarnya. Wisnu HKP Notonegoro menilai, negara telah menyimpang dari cita-cita Proklamasi RI tahun 1945. Dalam era Reformasi saat ini, negara masuk dalam penjajahan neoliberalisme yang dikendalikan asing. “Bahkan, kita menjadi lebih liberal daripada negara Amerika Serikat yang liberalis. Demokrasi tanpa rambu-rambu hukum melahirkan anarkisme,” katanya. Hendrajit mengingatkan agar lebih hati-hati mencermati skema global yang bisa jadi memperlemah bangsa lewat berbagai agenda internasional. “Jangan terkecoh, apalagi sampai terpecah belah sehingga justru saling melemahkan,” ujarnya. Sumber: Koran KOMPAS

Sabtu, 01 September 2012

DAMPAK PERTIKAIAN GLOBAL: SIKAP POLITIK DAN REVOLUSI INDUSTRI DI INDONESIA (Sebuah Telaah Geopolitik)

Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute dan M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institue Pointers Usulan Global Future Institute (GFI) dalam Focus Group Discussion yang Diselenggarakan Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI Tanggal 30/8/2012, di Hotel Akmani, Jalan KH Wahid Hasyim No 91, Jakarta Pusat. 1. Geopolitik Global dan Isyarat Pergeserannya Kajian strategis Deep Stoat yang tetap valid hingga kini tentang perpolitikan ialah “If you would understand world geopolitics today, follow the oil”. Inilah sebab akibat dinamika global. Barang siapa ingin memahami geopolitik maka ikuti fluktuasi minyak dan telusuri sumber energi. Oleh karena hampir semua simpul kepentingan terutama politik akan bertemu serta beradu kuat disitu. Kiranya asumsi itu harus dijadikan sebagai alat guna mengurai isue-isue aktual, terutama mencari asal darimana serta kemana arus geopolitik bergerak dan berujung. Dan agaknya asumsi tadi justru semakin menebalkan tesis Sir Halford Mackider, pakar geopolitik Inggris abad ke-19 yang membagi atau mengklasifikasikan dunia dalam “Empat Kawasan”. Kawasan I disebut Heartland atau World Island, atau “Jantung Dunia” meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah; Kawasan II adalah Marginal Lands terdiri atas Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina; Kawasan III dinamai Desert (Padang Pasir) adalah Afrika Utara; dan Kawasan IV istilahnya Island or Outer Continents meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia. Inti tesis Mackinder menyebut, siapa negara menguasai Kawasan Heartland atau “Jantung Dunia” yang mempunyai kandungan sumberdaya alam (SDA) dan mineral melimpah ruah, niscaya menuju “Global Imperium”. Menjadi wajar ketika banyak negara di kawasan ini selalu dihujani konflik-konflik (“ciptaan”) tak kunjung usai. Dalam kajian politik, conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Itulah modus kolonial semenjak dulu, dan sering ia menebar penyesatan (alih perhatian), baik dalam bentuk konflik ataupun gerakan-gerakan “massa” lainnya di permukaan, agar tujuan utama tak terpantau. Cermatan GFI tentang “Empat Kawasan”-nya Mackinder, tampaknya sudah tidak akurat lagi. Hal ini terbaca melalui Smart Power-nya Partai Demokrat, Amerika Serikat (AS) via Arab Spring ternyata juga menggoyang negara-negara Afrika Utara seperti Libya, Tunisia, Yaman yang nota bene merupakan Kawasan Padang Pasir/Tandus (Desert), bukan Kawasan “Jantung Dunia” sebagaimana rekomendasi Mackinder. GFI mengendus, justru AS dan sekutu kini tengah menerapkan teori Toni Cartalucci, Research Assosciate di Central for Research on Globalization (CRG), Montreal, Kanada. Adapun bunyi asumsinya: “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia”. Menafsir asumsi Cartalucci di atas: barang siapa ingin menguasai dunia maka (Langkah I) harus menguasai dulu Timur Tengah. Inilah salah satu Kawasan Heartland selain Asia Tengah yang dirujuk oleh Mackinder. Dan jika Langkah I berhasil maka automaticly mengakibatkan “mati”-nya Cina dan Rusia (Langkah II), maka hasilnya ialah menguasai dunia. Itulah benang merah teori tersebut. Tak boleh dipungkiri, bahwa cengkeraman Uncle Sam terhadap beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, EUA, Oman, dan Qatar via Dewan Kerjasama Teluk (GCC) sejak 1979-an ---sebagaimana isyarat Cartalucci--- terbukti unggul dalam hal dominasi minyak dunia. Hingga sekarang GCC dianggap “pabrik dolar” terbesar AS karena selain hampir setiap 10 menit kapal-kapal tanker berlayar membawa 40% minyak dunia, atau sekitar 90% ekspor minyak dari kelompok GCC dan negeri sekitarnya. Yang paling utama adalah setiap transaksi minyaknya menggunakan US Dollar. Itulah Langkah I menurut teori Cartalucci. Beberapa pertanyaan muncul: Kenapa Rusia dan Cina tidak juga “mati” bahkan semakin menggeliat meskipun sebagian negara di Timur Tengah (GCC) telah dikendalikan oleh AS; seberapa besarkah ketergantungan Cina-Rusia pada Timur Tengah, dan mengapa musti “mati” --- kata teori tadi --- jika Timur Tengah dikuasai negara lain? Tidak dijelaskan oleh Cartalucci. Agaknya ia lupa, bahwa Rusia kini sudah menjadi Autarky (negara swasembada) seperti halnya Kanada. Artinya kecil sekali kadar ketergantungannya terhadap negara lain. Justru Cina meski kemajuan ekonomi dan militernya relatif signifikan namun masih tergantung impor. Mengkaji tafsiran di atas, hipotesa GFI mengatakan semata-mata karena ENERGI tetap sebagai kunci skema bagi setiap manuver apapun, terutama militer. Merujuk kajian Deep Stoat, Kawasan Heartland dulu bahkan sampai sekarang masih dianggap titik tolak geopolitik global sebab merupakan basis produsen minyak dan gas alam dunia, meskipun dalam perkembangannya banyak jajaran negara Afrika Utara, Amerika Latin dan Rusia telah menjadi Net Oil Exporter. Perkembangan aktual perpolitikan internasional kini mengisyaratkan, bahwa ada pergeseran sentral geopolitik dari Kawasan Timur Tengah (Jantung Dunia) menuju ke Asia Tenggara, khususnya Laut Cina Selatan. Persoalan apakah Uncle Sam berubah stratetegi ingin langsung menerapkan Langkah II-nya Cartalucci, dan kenapa ia mulai meninggalkan Langkah I yang belum tuntas, tidak akan dibahas dalam makalah ini. Tetapi isyarat peralihan tersebut terlihat dari beberapa indikasi, yakni selain AS ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara, kemungkinan besar ditujukan kepada Cina, ia juga menyatakan akan memperluas pengaturan militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura. Menteri Pertahanan (Menhan) AS Leon Panetta, di depan para Menhan ASEAN mendukung pembentukan ASEAN Security Community tahun 2015 dan menganjurkan ada “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang berkekuatan hukum terkait Laut Cina Selatan. Yang paling kentara dan mengejutkan ialah rencana menggeser 60% armada tempur ke Asia Pasifik. 2. Isue dan Dampak Regional Kompleksitas pertikaian wilayah di Laut Cina Selatan, disinyalir memang bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, namun persoalan lain pun bercampur, seperti hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi serta explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, dan lain-lain. Garis besar pertikaian kepulauan di atas bisa digolongkan, (1) Kep Paracel: antara Cina versus Taiwan, (2) Kep Spratly: antara Cina versus beberapa negara yakni Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam dan Brunai Darussalam. Cina pun sebenarnya sedang ribut dengan Philipina terkait Dangkalan Scarborough Shoal, juga berkonflik melawan Jepang soal Pulau Dioayu atau Senkaku, dan lainnya. Adapun mapping konflik secara detail meliputi Cina - Vietnam, Filipina - Malaysia, Filipina - Taiwan, Filipina - Cina, Malaysia - Vietnam, Filipina - Vietnam, Malaysia - Brunai, Taiwan - Cina dan Indonesia - Cina. Kendati langkah-langkah diplomasi sering digelar baik bilateral maupun multilateral, namun sepertinya “jalan ditempat”. Oleh sebab benang merah konflik berkait erat dengan National Interest atau Kepentingan Nasional masing-masing guna mewujudkan kedaulatan serta (hegemoni) jaminan keamanan pelayaran dan explorasi SDA. Forum ASEAN pun seperti mandul karena sebatas mediasi bukan mengurus soal demarkasi atau tapal batas. Dimana ada negara yang rela Kepentingan Nasionalnya direngut orang lain? Secara politis ketegangan di antara negara-negara kawasan tersebut cenderung meningkat karena miskinnya win-win solution. Semua yang terlibat pertikaian saling klaim, merasa paling benar sendiri. Urgensi geografis Laut Cina Selatan yang vital dalam “pergeseran” geopolitik global, meniscayakan penyelesaian sengketa Kepulauan Paracel dan Spartly ke depan akan terus terkendala. Bahkan diduga keras isue konflik teritorial bakal menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka (Perang Dunia III?) di Laut Cina Selatan. Dan tampaknya “suhu panas” ini akan mempengaruhi negara-negara di sekitar wilayah sengketa. Secara proximatis geografi, posisi Indonesia sangat dekat dengan Laut Cina Selatan baik dalam konteks Asia Tenggara, ASEAN maupun Asia Pasifik. Dan diperkirakan situasi panas tersebut berlangsung lama mengingat negara-negara yang terlibat konflik selain menunggu “momentum”, juga masing-masing upaya antisipasifnya semakin intensif dan terbuka, terutama AS dan sekutu versus Cina dkk. Sudah barang tentu kondisi tersebut akan mempengaruhi sikap politik dan kebijakan negeri di sekeliling terutama Indonesia yang saat ini tengah berproses dalam Masterplan Percepatan, Perluasan dan Peningkatan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Inilah faktor eksternal yang mutlak dicermati dalam melanjutkan MP3EI. 3. Empowerment Geopolitik dalam MP3EI Semoga posisi geografis Indonesia yang konon cukup strategis di antara dua benua dan dua samudera, bukan sekedar “angin sorga” bagi bangsa ini sebagaimana tertulis di buku-buku sekolah, oleh karena para elit dan pemangku kepentingan dalam MP3EI tidak tahu bagaimana mengaplikasikan. Dibanding Iran yang hanya memiliki Selat Hormuz tetapi menggegerkan dunia cuma melalui ancaman menutup selat “basah” tersebut. Atau Syria misalnya, meski minyaknya tidak sekaya Libya, Irak dan lainnya namun diperebutkan banyak adidaya karena urgensi geopolitik pipeline dan geostrategy possition. Itulah contoh sederhana pemahaman dan geopolitic awareness. Retorikanya, bagaimana seandainya Selat Lombok, Selat Malaka, Selat Sunda atau selat-selat lainnya ditutup selama sebulan untuk latihan gabungan TNI-Polri dalam rangka memerangi terorisme perairan? Banyak negara tergantung dengan selat dan perairan Indonesia. Sekitar 40% perdagangan dunia melalui perairan nusantara, seperti Australia, Cina, New Zealand, Singapore, Malaysia, Korea, Jepang bahkan negara-negara di Kawasan Heartland karena terkait distribusi dan transportasi minyak ke berbagai negara. Dari diskusi terbatas di Forum Kepentingan Nasional RI (KENARI) pimpinan Dirgo D Purbo, tercatat bahwa 80% APBN Australia tergantung Indonesia. Demikian pula negeri tetangga lainnya. Bahkan 85% lebih APBN Singapore konon tergantung dari republik tercinta ini. Terkait program MP3EI, seyogyanya faktor geopolitik menjadi rujukan utama bagi para pemangku kepentingan terutama pihak yang berkompeten memaksimalkan peran geopolitik, karena pengelolaan yang baik selain mengoptimalkan output dan outcome, faktor posisi geografi jika diberdayakan bisa menjadi geopolitic weapon terutama bagi negara-negara lain yang sangat tergantung perairan Indonesia. Hakiki Kebijakan Luar Negeri merupakan the extension domestic affairs sehingga implementasi MP3EI harus mudah dikemas dalam satu paket terintegrasi ke investor asing. Misalnya ada daerah yang sudah memberikan kemudahan disana-sini serta benar-benar membuka peluang bagi investor ternyata terkendala justru di tingkat pusat karena faktor “warna Parpol”. Ini yang harus diantisipasi. Selain itu program-program MP3EI harus mengantisipasi perang ekonomi sebagai akibat bergesernya geopolitik dari Timur Tengah ke Asia Tenggara. Artinya jika tidak berpijak geopolitik dan karakter landas kontinen Indonesia, dikhawatirkan justru memposisikan Indonesia sebagai proxy economic war, malah memberi leluasa kepentingan Barat seperti yang kini tengah berlangsung, misalnya negara agraris dengan curah hujan tinggi namun mengimpor kedelai, singkong, beras, kopi dan lainnya. Atau negara (kepulauan) kelautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia tetapi mengimpor garam, ikan dan lainnya. Betapa ironis. Masalah penempatan marinir AS di Darwin, dan penempatan kapal-kapal perang AS di Singapore, apakah langkah MP3EI sudah mengantispasi hal tersebut? Ataukah sudah ada kontruksi mengelola Selat Sunda sehubungan akan semakin memanasnya situasi karena Selat Malaka telah dikuasai oleh AS dan sekutu? Termasuk memberdayakan selat-selat dan perairan Indonesia dalam rangka memberantas illegal logging, narkoba, trafficking in person, dan lainnya. Demikian sekilas pemberdayaan geopoitik dalam menjalankan MP3EI. 4. Korupsi dan Revolusi Industri Tak dapat dipungkiri, korupsi di Indonesia sebenarnya hanya sebuah modus, tema atau tata cara dari sebuah kolonialisme model baru. Maraknya korupsi di Indonesia karena diciptakan oleh sistem serta didukung aturan dan perundang-undangan (UU) yang dirombak pada awal reformasi dahulu. Ketika sistem yang kini berjalan justru mendorong perilaku koruptif, seperti otonomi daerah, multi partai, pemilu langsung, one man one vote, politik pencitraan dan lain-lainnya, maka seratus pun --- bahkan seribu lembaga seperti KPK tidak akan mampu membendung korupsi. GFI pada akhir 2011 menyatakan, bahwa dengan model demokrasi Indonesia saat ini yang berkuasa adalah kaum pemodal. Ya, korupsi di Indonesia sengaja diciptakan melalui sistem oleh kolonialisme global. Permasalahan bangsa ini ada di hulu (sistem), tetapi segenap komponen dan anak bangsa selama ini sepertinya “tertipu”, ya memang benar-benar tertipu! Karena malah memerangi persoalan-persoalan di hilir belaka. Oleh media, khususnya media mainstream perhatian publik sering digiring pada dinamika kasus-kasus, peristiwa fenomenal, unjuk rasa, pola pemberantasan, seminar atau debatisasi di berbagai media justru membuat “bingung” rakyat: mana yang salah dan siapa benar? Media terkesan menjadi sarana adu domba antar pakar dan segenap elit di negeri ini. Cermatan GFI, selain korupsi merupakan methode dari sebuah kolonialisme juga mampu menjadi infotaimen menarik berating tinggi di media, namun substansinya nihil dalam solusi berbangsa dan bernegara. Para tokoh, pakar dan pejabat-pejabat yang berkompeten terjebak dalam dialog-dialog emosi, saling memaki, mengelak atau menyebar fitnah kesana-kemari. Korupsi sebagai “alat menyerbu” Indonesia memang efektif, selain menyentuh sisi paling vital dalam kehidupan berbangsa yaitu mental, moral dan keuangan negara, juga tersirat ruh adu domba disana-sini. Inilah yang kini tengah berlangsung. Sebagai methode dari (sistem) kolonialisme gaya baru di tanah air, korupsi mutlak harus dikontra serentak, sistematis, dan dilakukan secara gegap gempita di berbagai lapisan masyarakat, bahkan pemerintah itu sendiri. Sejarah mengajarkan, bahwa kemajuan suatu negara diawali dari revolusi industri. Revolusi industri membuat negara terkapar namun rakyat diuntungkan pada satu sisi, sangat berbeda dengan korupsi, selain negara dan rakyat (terkapar) dirugikan, korupsi merupakan “cermin buruk” sekaligus potret memalukan sebuah bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia. Inti revolusi industri adalah kebebasan warga negara berekspresi memenuhi kebutuhan sedang peran negara bersifat melindungi, mengarahkan dan mengawasi. Selanjutnya setelah hasil dari dinamika warga tersebut diekspor baru negara mengenakan pajak atas hasil karyanya. Seperti di Cina, selain negara memberi modal dan fasilitas juga mencarikan pasar bagi komoditi yang dihasilkan oleh karya warganya. Sedangkan hakiki revolusi industri ialah menghindari jerat ketergantungan apapun! sekali lagi revolusi industri menghindari ketergantungan bidang apa saja dan dari negara mana saja, baik pangan, teknologi, energi dan lain-lain. Kita adalah bangsa besar dan maju cuma saat ini tengah terbelenggu oleh sistem ciptaan asing! Terimakasih Jakarta, 30 Agustus 2012