Kamis, 22 Desember 2011

Barus, Peradaban dan Pintu Gerbang Masuknya Islam di Nusantara

Penulis: Rusman-Direktur Korporat Global Future Institute

Barus banyak menyimpan catatan penting tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara. Setidaknya ini terlihat dari banyaknya situs purbakala yang ditemui di Barus, yang secara administratif menjadi bagian wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Dan bukan itu saja, di Barus juga ditemukan makam-makam raja batak, benteng dan makam portugis.

Di Barus, yang dulunya terkenal dengan Barus Raya juga ditemukan sebuah kerajaan tua, yaitu kerajaan Lobu Tua (Bandar Niaga Yang termansyur), yang diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Lobu Tua, yang terletak di Kecamatan Andam Dewi ini pernah diteliti oleh peneliti Perancis (Ecole francaise d’Ectreme-Orient) pada tahun 1995. (Baca: Mengenal Barus Setelah Seribu Tahun Yang Lalu)

Bahkan berbagai sumber memperkirakan lebih jauh dari itu, sekitar 5000 tahun sebelum Nabi Isa lahir. Perkiraan terakhir ini didasarkan pada temuan bahan pengawet dari berbagai mummy Fir'aun Mesir kuno, dimana salah satu bahan pengawetnya menggunakan kapur barus atau kamper. Konon kampur Barus merupakan paling baik kualitasnya dan kala itu hanya ditemukan di sekitar Barus.

Sementara, sejarawan di era kemerdekaan, Profesor Muhamad Yamin memperkirakan perdagangan rempah-rempah, diantaranya kamper sudah dilakukan pedagang Nusantara sejak 6000 tahun lalu ke berbagai penjuru dunia.

Sedangkan seorang pengembara Yunani, Claudius Ptolomeus menyebutkan, selain pedagang Yunani, pedagang Venesia, India, Arab, dan juga Tiongkok lalu lalang ke Barus untuk mendapatkan rempah-rempah. Sedangkan, berdasarkan arsip tua India, Kathasaritsagara, sekitar tahun 600 M mencatat perjalanan seorang Brahmana mencari anaknya hingga ke Barus. Brahmana itu mengunjungi Keladvipa (pulau kelapa diduga Sumatera) dengan rute Ketaha (Kedah-Malaysia), menyusuri pantai Barat hingga ke pulau kapur yang dalam sansekerta disebut Karpurasuvarnadvipa (Barus).

Pada sekitar tahun 627-643 atau tahun pertama Hijriah kelompok pedagang Arab memasuki pelabuhan atau bandar Barus. Diantara mereka tercatat nama Wahab bin Qabishah yang mendarat di Pulau Mursala pada 627 M. Ada juga utusan Khulafaur Rasyidin bernama Syekh Ismail yang singgah di Barus sekitar tahun 634 M. Sejak itu, bangsa Arab yang beragama Islam mendirikan koloni di Barus. Bangsa Arab menamakan Barus dengan sebutan Fansur atau Fansuri, misalnya oleh penulis Sulaiman pada 851 M dalam bukunya Silsilatus Tawarikh.

Berikutnya Dinasty Syailendra dari Champa (Muangthai) menaklukkan empirium Barus sekitar 850 M dan menamakan koloni itu sebagai Kalasapura. Setelah penaklukan itu, di kota pelabuhan Barus berdiri koloni yang terdiri dari berbagai bangsa terpisah dari penduduk asli. Seabad setelah itu, bangsa Eropa menemukan Barus.

Menariknya, berdasarkan catatan sejarah, penjelajah terkenal Marcopolo menjejakkan kakinya di bandar Barus pada 1292 M. Sedangkan sejarawan muslim ternama, Ibnu Batutah, mengunjungi Barus pada 1345 M. Berikutnya pelaut Portugis berdagang di kota Barus pada 1469 M. Sedangkan pedagang dari berbagai belahan dunia lain menyinggahi Barus, seperti dari Srilanka, Yaman, Persia, Inggris, dan Spanyol.

Barus Sebagai Pintu Masuknya Islam di Nusantara

Seorang sejarawan lokal, Dada Meuraksa, dalam seminar I "Masuknya Islam di Nusantara" yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963 berkeyakinan Islam masuk ke Barus pada tahun I Hijriah. Pandangannya ini didasari oleh penemuan batu nisan Syekh Rukunuddin di komplek situs purbakala "mahligai" atau yang artinya sama dengan "istana kecil". Komplek makam ini terletak wilayah Aek Dakka, sekitar 4 kilometer dari Kecamatan Barus.

Menurut Dada Meuraksa, batu nisan yang terletak di makam mahligai itu mengemukakan, Syekh Rukunuddin wafat dalam usia 100 tahun, 2 bulan, dan 22 hari pada tahun hamim atau hijaratun Nabi. Meuraksa menerjemahkan ha - mim itu 8-40 yang kemudian dijumlahkan menjadi 48 H. Perhitungan itu berdasarkan Ilmu Falak dari kitab Tajut Mutuk.

Menariknya, saat seminar berlangsung, pandangan Meuraksa ini menjadi perdebatan oleh ulama terkenal Sumut saat itu, ustadz HM Arsyad Thalib Lubis. Menurut ulama pendiri Al Jam'iyatul Washliyah ini, bukti nisan tidak dapat dijadikan dasar penentuan.

Perbedaan pendapatan itu terus berlangsung hingga belasan tahun kemudian. Baru kemudian pada 1978 sejumlah arkeolog yang dipimpin Prof DR Hasan Muarif Ambary melakukan penelitian terhadap berbagai nisan makam yang ada di sekitar daerah Barus, termasuk diantaranya makam Syekh Rukunuddin.

Arkeolog Universitas Airlangga Surabaya itu meyakini Islam sudah masuk sejak tahun I Hijriah. Hal itu berdasarkan pada perhitungan yang menguatkan pendapat pertama oleh Dada Meuraksa yang didukung sejumlah sejarawan lainnya.

Selain itu, perhitungan masuknya Islam di Barus itu didukung pula dengan temuan 44 batu nisan penyebar Islam atau dikenal "Aulia 44" di sekitar Barus yang bertuliskan aksara Arab dan Persia. Misalnya batu nisan Syekh Mahmud di Papan Tinggi, yang berada di daerah Tompan, Barus Utara. Makam yang berada diketinggian 200 meter di atas permukaan laut itu hingga kini masih ada. Beberapa sumber mengatakan, tulisan di batu nisannya belum bisa diterjemahkan. Hal itu disebabkan tulisannya merupakan aksara Persia kuno yang bercampur dengan huruf Arab.

Konon, Syekh Mahmud ini berasal dari Hadramaut, Yaman, dan diperkirakan datang lebih awal dari Syekh Rukunuddin, yakni pada era 10 tahun pertama dakwah Nabi Muhammad SAW di Mekkah. Diperkirakan syekh yang masih kerabat dan sahabat nabi itu, membawa ajaran Islam Tauhid tanpa Syariat.

Pandangan akhir menyebutkan, Syekh Mahmud yang makamnya berada di papan tinggi merupakan penyebar Islam pertama di Barus, sedangkan 43 ulama lainnya merupakan pengikut dan murid-muridnya.

Berdasarkan sumber yang ditemui (selama melakukan kunjungan di Barus dan Singkil, Aceh Selatan di akhir November 2011) menyebutkan, ke 43 makam ulama penyebar Islam itu diantaranya, makam Syekh Rukunuddin, Syekh Abdurrauf Al Fansuri atau Tuanku Batu Badan, Tuanku Ambar, Tuan Kepala Ujung, Tuan Sirampak, Tuan Tembang, Tuanku Kayu Manang, Tuanku Machdum, Syekh Zainal Abidin Ilyas, Syekh Ahmad Khatib Sidik, dan makam Imam Mua'azhansyah. Selanjutnya, ada makam Imam Chatib Miktibai, Tuanku Pinago, Tuanku Sultan Ibrahim bin Tuanku Sultan Muhammadsyah Chaniago, dan makam Tuanku Digaung.

Keberadaan Islam di Barus berhubungan langsung dengan Islam di Aceh. Pendapat ini
pernah dikemukakan ustadz Djamaluddin Batubara (almarhum), sejarawan lokal dan sebagian masyarakat di Barus berpendapat ustad Djamaluddin sangat menguasai sejarah makam situs purbakala "Aulia 44" ini.

Sementara itu, beberapa arsip kuno menunjukkan adanya tiga ulama Islam yang menghubungkan Barus dan Aceh. Misalnya, keberadaan ulama terkenal Syekh Hamzah Fansuri (sayang sekali ketika berkunjung ke Singkil, penulis belum berhasil mengunjungi makamnya, yang menurut beberapa sumber di Singkil berada di daerah Runding, masih di wliayah Aceh) dan Syekh Syamsuddin as Sumatrani. Namun, paham-paham keagamaan mereka berseberangan dengan Syekh Abdul Rauf As Singkil (yang makamnya berada di Singkil, Aceh Selatan.

Sejarawan Islam banyak menyakini, bahwa kedua ulama terdahulu itu bermukim dan menyebarkan pahamnya di Wilayah Barus. Barulah setelah paham Wujudiah mereka mendapat serangan dari Syekh Abdul Rauf Singkil yang tidak diakui oleh Kerajaan Islam Samudera Pasai, Aceh.

Kondisi Terkini Situs Pubakala di Barus

Ada yang menjadi perhatian selama mengunjungi makam-makam Aulia di wilayah Barus. Beberapa makam situs purbakala yang ada kondisinya memerlukan perhatian khusus. Misal saja situs makam di daerah Kinali. Di wilayah kampung Kinali ini, penulis menemukan dua makam situs purbakala dalam kondisi memprihatinkan.

Situs makam purbakala Tuanku Pinago atau Syekh Ratif (menurut informasi masyarakat setempat), yang makamnya terletak dipinggir sungai itu kondisinya cukup memprihatinkan. Selain tak terawat, semak-semak di sekitar makam tumbuh liar menutupi area makam. Sementara, di sekitar situs makam purbakala ini tidak dibangun informasi adanya makam situs purbakala. Sangat berbeda dengan situs makam purbakala lainnya, seperti makam Syehk Mahmud, Tuanku Machdum dan komplek makam mahligai.

Sedangkan, situs makam Tuanku Kinali, yang jaraknya tidak jauh dari makam Tuanku Pinago ini kondisi tidak berbeda jauh. Penulis menemukan situs makam purbakala ini telah berbaur dengan makam-makam masyarakat umum.

Akses jalan menuju makam kedua situs purbakala di Kinali ini mesti diperbaiki, tentunya dengan melakukan pengaspalan jalan. Sehingga akan memudahkan siapapun yang akan mengunjungi situs purbakala ini.

Di Pulau Karang, yang jaraknya sekitar setengah mil dari pesisir pantai barat Sumatera ini (Barus), terdapat sebuah situs purbakala makam yang terhalang dengan semak-semak. Sehingga sukar bagi orang yang baru pertama kali berkunjung.

Terlepas dari informasi yang terhimpun ini, Barus dengan berbagai keragaman situs sejarah Purbakalanya merupakan salah satu kebanggaan sejarah di Nusantara yang tak ternilai dan harus tetap dilestarikan sampai kapanpun. Seperti halnya kita melestarikan situs-situs purbakala yang telah ada, sebut saja Borobudur, Prambanan, makam-makam walisongo dan situs purbakala lainnya yang ada di tanah Nusantara.

Prof Dr. Meutia Hatta (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden --Watimpres-- RI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan) saat berkunjung ke Barus, Tapanuli Tengah, Jum'at (18/11/2011) mengemukakan, situs purbakala di Barus dapat menjadi kebanggaan Nasional. Guru Besar di Universitas Bung Hatta Padang ini juga menegaskan, Barus yang memiliki kekayaan baik budaya maupun objek wisata ini harus dijaga dan dilestarikan.

"Tulislah sesuatu tentang Barus karena Barus ini bagian dari kebanggaan Nasional, dan juga Jati Diri kita, identitas Nasional karena ini menunjukkan peradaban Indonesia yang lama yang mungkin juga di lupakan orang. Bahkan mungkin bisa menjawab apakah masyarakat Bahari itu juga ada disini. Kita selalu berpikir Indonesia Timur, tapi mungkin disini juga ada," katanya.

Isteri dari pakar ekonomi Prof Dr Sri Edi Swasono ini juga mengisyaratkan, bahwa Barus layak untuk didirikan Museum. Dan sebenarnya rencana pembangunan museum sudah lama akan dirikan. Sepengetahuan penulis panitia pembentukan museum sudah terbentuk sekitar 3 tahun lalu. Sayangnya, ketika penulis berada di wilayah Barus selama 9 hari, lokasi museum hanya baru nampak pondasi-pondasinya.

Semoga saja tulisan yang masih sangat "miskin" dengan data-data ini dapat menambah wawasan. Begitu luar biasanya peradaban dan kejayaan Nusantara di masa lalu. Sehinga tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menjadi bangga terhadap Nusantara.


sumber pendukung:

Buku Sejarah masuknya Islam ke bandar Barus, Sumatera Utara oleh Dada Meuraxa, 1973

Buku Bunga Rampa Tapian Nauli Sibolga - Indonesia Diterbitkan Tapian Nauli tujuh Sekawan 1995

Buku Labo Tua Sejarah Awal Barus, Yayasan Obor Indonesia, 2002

Buku Sejarah Raja-Raja Barus ; Dua Naskah Dari Barus, Gramedia Pustaka Utam, 2003

Majalah Nauli Basa


Senin, 12 Desember 2011

Merobek Jalur Sutra, Menerkam Asia Tenggara

Oleh M Arief Pranoto/Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute

Pernyataan pengamat militer Connie Rahakundini menarik ditelaah bersama. Setelah Libya, target Amerika Serikat (AS) berikutnya adalah Papua (27 Maret 2011). Statement Connie bukannya tanpa dasar (TV One, 26/3/2011), adanya informasi Papua menjadi target AS selanjutnya sudah beredar di kalangan intelijen, bahkan sumber di Departemen Luar Negeri mengungkap terdapat usaha intensif beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat AS kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan secara bertahap.

Ia memberi analogi kasus Libya yang mirip lepasnya Timor Timur doeloe. Ya, melalui dalih hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi, lalu Australia, AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menekan Pemerintah Habibie, padahal minyak di celah Timor merupakan tujuan dan kini tengah digarap Australia. Begitu pula Libya, kembali alasan HAM dan demokratisasi mengemuka, kemudian AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyerang Pemerintah Gaddafi, sedang ujungnya ingin menguasai minyak Libya (baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang Dibayar Bom di www.theglobal-review.com, dan Perampokan ala NATO by Dina Y. Sulaeman). Agaknya sinyalemen KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama semakin mempertebal pernyataan Connie tadi, “bahwa NKRI di ujung tanduk karena sparatisme Papua sebenarnya bukan mainan rakyat Papua, tetapi mainan asing dengan konspirasi sangat rapi” (RIMANEWS, 5/12/2011).

Adalah keprihatinan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), Jakarta, perihal hiruk-pikuk Papua seperti menyentak kita bersama:

“ .. tidak benar apabila dikatakan Jawa menjajah Papua, Jakarta menjajah Papua. Kondisi sekarang ini setelah kematian Sukarno kita memang dijajah. Jangan sampai nanti Papua lepas generasi muda sudah kehilangan modal utamanya. AS sudah melihat kecenderungan anak-anak muda Indonesia sekarang lebih ke arah sosialisme, mereka gandrung dengan Hugo Chavez, Evo Moralez, atau Ahmadinedjad ..”.

Hendrajit meneruskan:

“ ..mereka inilah yang akan tumbuh pada lima atau sepuluh tahun mendatang, mengancam keamanan investasi AS, anak-anak muda sekarang beda dengan kelompok muda dididikan orde baru, mereka lahir dari situasi kritis dan penuh akses informasi. AS mengantisipasi bila tidak ada gerakan politik yang bisa mengamankan investasinya di Papua, maka nasionalisasi atas perusahaan dan tambang-tambang asing tinggal tunggu waktu ..”

Penulis buku Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia ini menekankan lebih lanjut:

” .. kekerasan di Papua, bukanlah kekerasan Jawa, bukanlah kekerasan rakyat Indonesia terhadap orang Papua. Tapi kekerasan diluar daya jangkau kekuasaan rakyat ini yang dikebiri pemerintahan boneka. Papua adalah bagian dari Indonesia, rakyat merasa satu seperti ketika berteriak saat Rully Nere menggocek bola sampai Okto. Mereka adalah satu. Tapi Pemerintahan yang sekarang membuktikan dirinya tidak berani, memamerkan diri seolah jadi pemerintahan satelit Amerika. Bila memang mau referendum itu harus mengikuti seluruh rakyat Indonesia, karena rakyat inilah pemilik sah tanah air Indonesia, dari Sabang sampai Merakuke (tambahan penulis:”dari Miangas hingga Rote”) ..

Pernyataan ketiga person di atas, mungkin mewakili sekaligus memberi gambaran bahwa terdapat anasir internal didukung asing berupaya “melepaskan diri” dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini bukan sekedar rumor. Tanda-tandanya jelas. Pola yang diterapkan identik dengan beberapa peristiwa sebelumnya di berbagai belahan dunia. Selalu isue HAM dihembuskan, freedom, demokratisasi, kemiskinan dan lainnya, berujung pada pemisahan wilayah via referendum. Paket awal lazimnya via isue-isue aktual yang diangkat segelintir individu (komprador) lokal yang telah tergadai jiwa nasionalismenya, atau melalui organisasi massa (ormas) setempat dan terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang nge-link ke LSM asing dengan promosi media massa secara gencar.

No free lunch. Tak ada makan siang gratis di Barat. Niscaya ada agenda tersembunyi hendak dicapai. Tengok saja. Tatkala ada gelontoran dana asing baik kepada person, ormas maupun LSM lokal, apalagi jika gelontoran itu tak terbatas --- maka sudah boleh dipastikan operasi intelijen asing tengah bermain di republik tercinta ini (baca: Indonesia Diserbu! www.theglobal-review.com). Pertanyaanya ialah, adakah hal ini disadari oleh para individu, ormas dan LSM setempat bahwa sesungguhnya mereka telah menjadi (kaum komprador) bagian dari skenario penghancuran negeri dan bangsanya sendiri, dari sisi internal?

Dari kajian eksternal, kegagalan invasi militer AS dan sekutu pada tiga wilayah terakhir seperti Afghanistan, Iraq dan Libya dipastikan semakin menghancurkan pundi-pundinya di tengah krisis ekonomi dan finansial. Hugo Chaves mengisyaratkan ada seri-seri baru perang kolonial sedang dimainkan guna memulihkan sistem kapitalis global, dan itu telah dimulai dari Libya dengan “modus utang dibayar dengan bom”. Namun betapa para loyalis Gaddafi melawan secara super dahsyat atas “keroyokan” negara-negara Barat, bahkan mampu membuat NATO pontang-panting.

Akhirnya berbagai deception atau pengalihan perhatian dijalankan sebagai alasan untuk meninggalkan perang di Libya. Agar tak malu dibuatlah pengalihan perhatian via video kematian Gaddafi, ataupun skenario palsu Saif al Islam, putra Gaddafi tertangkap dan lainnya. Ya, ada edit dan counter berita, itu memang bagian dari methode invasi militernya. Bukankah hampir semua media mainstream dikuasai Barat? Dan meski kini ekonomi negaranya semakin “dedel duel” bahkan merambah pada bidang-bidang lain, namun hasil yang diperoleh oleh AS dan NATO hanya sebatas menjarah harta-harta Libya di luar negeri berkedok pembekuan aset.

Sudah barang tentu, rencana serangan ke Iran sesuai statement Jenderal Wesley Clark, (mantan) Komandan NATO doeloe perihal peta (roadmap) penaklukan dunia oleh Pentagon yang telah direncanakan lima tahun lalu dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan ---kemungkinan TERTUNDA--- bila tak boleh menyebut gagal. Oleh sebab Syria sebagai sasaran invasi setelah Libya, tak disangka melawan total. Menentang habis-habisan. Tak bisa dipungkiri, keberanian Bashar al Assad melawan tekanan Liga Arab dan Barat, selain menyadari adanya “kebangkitan Islam” dimana-mana, mutlak karena ada dukungan Cina dan Rusia, terkait berbagai kepentingan kedua adidaya di Syria. Wong wani kudu duwe bunci, wong kendel kudu duwe piandel (orang berani harus punya modal dan andalan), kata ujaran kuno Jawa.

Ya. Gagal menekan Syria, NATO kembali “mengobok-obok” Libya namun disambut dengan perlawanan super dahsyat oleh loyalis Gaddafi, yang kini bernama Tentara Pembebasan Libya. Dan wilayah-wilayah Libya pun kembali riuh oleh tembakan senjata serta ledakan-ledakan bom. Tripoli, Benghazi, Misrata, Bregah, Gharyan, Baidah, Sirte, Zawya dan wilayah lainnya terus membara oleh peperangan. Apaboleh buat, kendati kemarin ia telah menyatakan misinya usai, akhirnya PBB memperpanjang misi (dukungan) NATO di Libya dari mulai 16 Desember 2011 sampai Maret 2012.

Tampaknya AS dan sekutu ngeper (gentar) melanjutkan roadmap-nya di Jalur Sutra (Afrika Utara dan Timur Tengah). Indikasi ini jelas terlihat, antara lain: (1) Israel tidak membalas sama sekali ketika baru-baru ini puluhan roket Hizbullah menyerangnya dari Lebanon. Ini berbeda dengan kelaziman dimana ia cenderung agresif; (2) Merapatnya kapal perang Rusia di Laut Syria merupakan isyarat Moskow, bahwa ia akan memblokir setiap serangan yang dipimpin NATO dengan kedok intervensi kemanusiaan, dan (3) Resolusi PBB untuk sanksi terhadap Syria pun diperkirakan gagal terbit setelah Rusia dan Cina menggunakan hak veto, demikian seterusnya.

Maka jika diibaratkan penjarah, sesungguhnya misi AS dan sekutu di Libya cuma sebatas “merobek-robek” kantong namun belum sempat mengambil isi rumah, keburu diteriaki rampok oleh pemilik dan sekelilingnya. Termasuk rencana menyerang Syria dan Iran melalui “organ pemecah belah”-nya yakni Israel pun terbaca oleh publik global. Pola atau modus-modusnya sudah basi, hampir sama atau mirip-mirip sehingga mudah diterka.

Apapun istilah, gerakan politik AS dan sekutu di Jalur Sutra, entah ia smart power, entah itu revolusi warna, atau provincial reconstruction team, bahwa geliat operasi silumannya out of control dari rencana semula. Upaya ganti rezim yang diawali destabilisasi politik ternyata berputar 180 derajat, berubah menjadi ganti sistem. Warna yang muncul lagi populer di Timur Tengah dan sekitarnya adalah KEBANGKITAN ISLAM. Termasuk tertangkapnya pesawat mata-mata RQ 170 milikAS oleh militer Iran, menimbulkan fenomena terbaru bahwa DUNIA TAK LAGI PERCAYA DENGAN TEKNOLOGI BARAT, terutama teknologi perangnya!

Sepertinya seri baru perang kolonial sebagaimana isyarat Chaves, kini hendak digelar di Asia Pasifik, akibat ketidaksuksesan (atau gagal) di Jalur Sutra. Diawali operasi politik memperlemah ASEAN melalui terbentuknya East Asia Bloc atau Asia Pacific Union. Sasaran strategis AS ialah mengamankan skema kebijakan neo-liberalisme di kawasan Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya (Hendrajit dan Ferdiansyah Ali, 15/11/2011 ).

Sekurang-kurangnya, ada dua peristiwa bersejarah yang dapat digunakan rujukan sementara untuk mengurai kiprah AS dan sekutunya, antara lain adalah (1) Kuliah Bung Karno (BK) kepada Che Guevara tahun 1959-an, ketika Che diperintah Fidel Castro berguru kepada BK tentang Sosialisme. Inilah sebagian materi kuliah yang diterima Che perihal Kedaulatan Modal dan Imperialisme Modern:

“ .. watak imperialisme kuno yang menghasilkan kapitalisme kuno itu beda dengan watak imperialisme modern. Imperialisme kuno bersandar pada kekuatan militer, imperialis-kapitalis modern didasari kekuatan finanz-kapital. Kelak konflik internasional bergeser pada modal, bukan lagi pada perang koloni atau wilayah. Inilah kenapa aku ingin negeriku menjadi raksasa terhadap modal itu sendiri, berkedaulatan politik, daulat atas ekonomi dan berkebudayaan otentik ..
",

Sedang peristiwa ke (2) Adalah great depression yang pernah menerpa Paman Sam dekade 1930-an doeloe. Diawali kejatuhan Wall Street, akan tetapi 10 tahun kemudian ia mampu bangkit kembali akibat meletus Perang Dunia (PD) II. Ya, persoalan apakah PD II itu diciptakan atau terjadi secara alamiah, tidak akan dibahas dalam tulisan ini (baca: Teror dan Catatan Kecil Perang Dunia, di www.theglobal-review.com). Artinya roda perekonomian AS kala itu bisa bergerak lagi setelah perusahaan-perusahaan AS menerima banyak pesanan berbagai senjata dan pesawat terbang dari negara-negara yang terlibat Perang Dunia.

Benang merah hal di atas, sepertinya mampu menjawab kontradiksi selama ini, kenapa pemerintah Obama dan sekutu berjuang memperbaiki krisis ekonomi negara, sedang militernya justru menghambur-hamburkan uang untuk perang. Agaknya terdapat korelasi kuat antara perang dan modal. Dengan kata lain, perang memang harus bermodal namun peperangan justru dapat menghancurkan modal itu sendiri. Modal adalah alat utama memulihkan perekonomian, dan perang merupakan salah satu sarana terbaik mengembalikan dan mencari modal. Agaknya kepulihan great depression di AS tempo doeloe boleh dijadikan contoh riil atas asumsi ini.

Kembali ke Asia Pasifik, bahwa skenario Obama atas pangkalan AS di Darwin ialah dalam rangka membantu Indonesia bila terjadi bencana alam. Barangkali itu cuma open agenda. Ketika jarak Papua cuma 800-an mil dari Darwin maka kelaziman hidden agenda sebagai tujuan pokok membonceng diam-diam. Papua memang merupakan kawasan Indonesia yang kini tengah terlibat konflik intrastate baik vertikal maupun konfik horizontal akibat krisis politik berlarut.

Isue yang ditabuh oleh beberapa elemen bangsa guna memisah Papua dari NKRI ialah HAM, kemiskinan dan lainnya. Ketidakmampuan Pusat mengentaskan kemiskinan dianggap sebagai penyebab utama separatis tumbuh subur, sedang kemiskinan disana hakikinya akibat sistem kapitalisme yang diterapkan. Baik KORUPSI yang sengaja “diciptakan” oleh sistem, juga pola pembagian royalti yang “njomplang” dan lainnya. Bagaimana dikatakan adil dan beradab, jika tukang cangkulnya mendapat 99 %, sedang pemilik tanah memperoleh 1 % saja? Gunung emas yang seharusnya memakmurkan rakyat Papua justru dirampok oleh asing.

Kembali soal Darwin, konon sekitar 2500 marinir AS akan ditempatkan. Secara hitam putih terlihat sedikit, namun bila kapal induk merapat disana niscaya membawa 10.000-an serdadu lengkap dengan peralatan perang dan pesawat-pesawat tempur siap laga, belum termasuk instrumen pengiring baik kapal perang kecil maupun kapal-kapal selam. Itu sudah prosedur tetap pergerakan kapal induk dimanapun.

Pertanyaan kenapa demikian, bahwa kesulitan AS dan sekutu menguasai (mengembalikan modal) di Jalur Sutra sebagai alasan pokok, bukankah lebih baik langsung masuk ke sasaran lain yakni: Indonesia Raya, negeri “miskin” di Asia Tenggara namun kaya akan sumberdaya alam. Banyak sumberdaya yang ada di Jalur Sutra dipastikan melimpah-ruah di Indonesia cuma belum tergali; sementara berbagai sumberdaya dimiliki Indonesia banyak yang tidak ditemui di Jalur Sutra. Konon Charlie Illingworth, Bos-nya John Perkins sewaktu berada di Bandung pernah bilang, bahwa Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina. Berbicara tentang minyak bumi, kita tahu bagaimana negara kita tergantung darinya. Indonesia bisa menjadi sekutu kuat kita dalam soal itu (John Perkins, 2004).

Lagaknya, apa yang dikerjakan AS kini ibarat memakan bubur panas, artinya memulai dari pinggiran-pinggirannya. Misalnya (rencana) pangkalan militer di Singapura, pangkalan di Subic, meskipun data terakhir AS telah meninggalkan Philipina dekade 1992-an, dan paling terakhir adalah Darwin, Australia.

Dalam perspektif hegemoni AS, menerkam Indonesia sebenarnya tinggal menunggu saat serta momentum saja, sebab “pembusukan dari dalam” telah berjalan mulus dan lancar sejak Orde Baru lengser doeloe. Seperti perubahan total UUD dan intervensi puluhan UU lainnya (baca: Perlu Diselidiki Kebenarannya : Bantuan Asing Untuk Amandemen UUD 1945 dan Beberapa Paket Undang-Undang, 8/12/2011 di www.theglobal-review.com), “korupsi yang diciptakan” , atau “Perang Candu” dengan berbagai kemasan, pola adu domba berbungkus ego sektoral dan lainnya. Entah momentum nanti menumpang pada hiruk-pikuk politik internal negeri, atau bakal diletuskan ketika pemilu presiden (2014) nanti dan sebagainya. Wait and see. Sekali lagi, inilah mengecoh langit menyeberangi lautan. Lalu, masihkah anak bangsa ini asyik dengan “mainan ciptaan asing”, sedang itu bagian dari trap modus potong babi?

(Dari berbagai sumber)
* Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Website The Global Review