Rabu, 09 Maret 2011

Simpul-Simpul Penting Diskusi 32 Tahun Revolusi Islam Iran

Revolusi Islam Iran yang berlangsung 1979 merupakan sebuah peristiwa yang monumental bukan saja bagi bangsa Iran, bahkan bagi sejarah dunia modern, karena tradisi absolutisme politik dalam sistem pemerintahan monarki dapat diganti dengan sistem pemerintahan Ulama bercampur dengan sistem demokrasi modern.

Semangat revolusi Islam Iran, Kamis (17/2) mendapat apresiasi luar biasa dari berbagai kalangan masyarakat melalui kajian Hubungan Internasional bertajuk "32 Tahun Revolusi Iran dan Hikmahnya bagi Indonesia dan Negara-negara Berkembang."

Kajian yang dipelopori Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia) berlangsung di Wisma Daria 7, Jakarta ini menghadirkan narasumber Pakar Komunikasi Internasional DR. Jalaluddin Rahmat, M Arief Pranoto (Pemerhati Masalah Internasional), Hendrajit (Direktur Eksekutif GFI) dan Jokosaw Koentono (Pemerhati Sosial Budaya).

Dr Jalauddin Rahmat, dalam paparannya menyebutkan, teori revolusi selalu dirumuskan pasca revolusi. "Ciri revolusi adalah mengejutkan karena selalu tidak pernah bisa diramalkan sebelumnya," begitu tutur Kang Jalal, demikian dirinya kerap disapa.

Selain itu, Kang Jalal menjelaskan Islam merupakan ideologi berbasiskan agama yang dimodifikasi menjadi ideologi yang dikemas sedemikian rupa. Suksesnya revolusi di Iran, menurut Kang Jalal tidak terlepas dari sosok Imam Khomeini yang memiliki ideologi yang jelas bagi bangsa Iran. "Sebuah revolusi dibangun sesuai dengan budaya setempat," kata kang Jalal.

Arief Pranoto dalam paparannya, lebih menyorot pada bahaya dari kapitalisme dan perlunya sebuah skema baru untuk menggebuk skema kapitalisme global. Menurutnya, kapitalis sebagai ideologi mempunyai ciri dan watak yang khas, yaitu akumulasi modal. Sehingga, kata Arief, inti dari pola dan metode operasional ideologi kapitalis cenderung mencari bahan baku semurah-murahnya diberbagai belahan dunia serta mencari, mengurai dan menciptakan pasar seluas-luasnya dengan berbagai cara.

"Namun saat ini perubahan pola dan metode gerakan kapitalisme global begitu halus dan canggih. Sehingga lepas dari pengamatan sekeliling, bahkan terkadang kita sendiri terperangkap lalu menganggapnya sebagai budaya bahkan gaya hidup. Sungguh celaka," katanya cemas.

Sedangkan Hendrajit dalam paparan menyebutkan, revolusi yang terjadi pada tahun 1979 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri dan a-historis. Revolusi itu mempunyai akar kesejarahan Iran membentang sejak di masa silam. Dan Iran yang berakar pada tradisi budaya Parsi yang sudah tumbuh berabad-abad silam, sejatinya bangsa itu yang kaya dan kompleks.

Hendrajit menambahkan, revolusi Iran memiliki pengaruh yang sangat luas dan bersifat global, karena untuk pertama kalinya di era modern, tokoh-tokoh agama (ulama) berhasil meruntuhkan sebuah rezim monarki modern, dan mengambil alih kekuasan dan mengakhiri tradisi kerajaan sepanjang 2.500 tahun dan menggantinya dengan Republik Islam Iran.

Sementara itu, Jokosaw Koentono memaparkan bahwa Parsia lebih kaya akan imajinasi, kesenian dan puisi dengan warna-warna Keislaman. Joko juga menyebutkan Iran memiliki keunggulan dibidang spritual, teknologi dan dunia perfilman.

Dalam paparan itu, Joko mengatakan negara seperti Korea, begitu pula China dan India menyadari benar bahwa globalisasi bukan saja sebuah ancaman tetapi sebagai sebuah peluang. Untuk itu menurutnya, masalah dalam negeri ditata lebih dulu sebaik-baiknya. "Pendidikan dan Industri menjadi titik perhatian utama pemerintah di sana, yang secara berkelanjutan terus ditingkatkan," katanya.

Namun dalam menanggapi aspek ini, Hendrajit menggarisbawahi kekhawatirannya akan masa depan Iran. Sebab, salah satu aspek keberhasilan Revolusi Iran, tingginya apresiasi berbagai komponen strategis Iran terhadap pengaruh kekuatan esoterik dan spiritual. Sehingga para pemegang otoritas politik hingga otoritas keagamaan di Iran, tidak saja menguasai kemampuan analisis melainkan juga mampu melakukan analisis kedalaman (Insight).

"Justru saat Iran sekarang ini mampu membangkitkan dirinya sebagai negara bangsa yang kuat dan mandiri menghadapi hegemoni global, jadi pertanyaan apakah kemampuan Insight tersebut masih meluas dan menjangkau berbagai kalangan komponen strategis masyarakat Iran di luar lingkar pemegang otoritas keagamaan.

Terlepas dari apa yang terbahas dalam kajian ini, para pembicara maupun peserta seakan bersepakat bahwa Revolusi Islam Iran telah mengguncang dan merobohkan kemapanan penguasa monarki di kawasan, dan pola hubungan antara rezim negara dan gerakan keagamaan. Sehingga mampu mengenyahkan munculnya keraguan akan masa depan Iran, dan juga masa depan seluruh masyarakat Iran.

Selain itu, berhasil mengakhiri tradisi kerajaan sepanjang 2.500 tahun dan menggantinya dengan Republik Islam Iran, revolusi yang dilakukan tidak hanya terbatas dalam bidang infrastruktur pemerintahan, melainkan juga memengaruhi nilai-nilai identitas nasional, sosial, politik, dan budaya.

Dalam pemaparan akhirnya Kang Jalal mengungkapkan keinginannya mengajak peserta yang berjumlah 55 orang itu untuk melanjutkan kegiatan kajian yang sifatnya lebih mendalam. "Perlu adanya kajian mendalam untuk menganalisis teori konspirasi," katanya.

Pada akhirnya, Arief Pranoto seakan menjawab semangat dan hikmah dari 32 tahun revolusi Iran dengan mengemukakan beberapa hal untuk menghadapi skema kapitalisme global:(1) kuatnya independensi pemimpin bangsa, (2)terciptanya dukungan mengakar masyarakat terhadap pemimpinnya, dan (3) ketahanan budaya suatu bangsa;

Dan yang tak kalah penting, lanjut Arief Pranoto, yang belakangan ini cukup produktif menelorkan beberapa artikel berkaitan dengan hegemoni global AS, lalu mengusulkan beberapa tahapan strategis untuk membendung kapitalisme global.

Hancurkan doeloe METHODE-nya. Lumpuhkan Man Power atau Tenaga Ahlinya. Dan yang tak kalah penting, Hancurkan dan Ganti Total Mesinnya. (Penjelasan rincinya, ada dalam makalah yang akan segera dipublikasikan di web ini).

Agaknya, kajian yang berlangsung selama 3 jam lebih ini masih belum memuaskan para peserta. "Setidaknya apa yang kita diskusikan malam ini menjadi referensi untuk bangkit dan maju," ujar Rusman, moderator sambil mengakhiri acara. (IRIB/GFI)

INTISARI DISKUSI INTERNAL IKAFENAS: Globalisasi Adalah Rekayasa Pihak Asing

Oleh Allay F. Ali (Wakil Sekjen IKAFENAS)
Bicara globalisasi, kalau kita pikir-pikir dari segala sisi dan dari segala pandangan, kita memang tidak siap. Machine, atau infrastruktur, kita masih jauh tertinggal. Man Power, boro-boro kita bisa mengalahkan tenaga-tenaga ahli dari luar. Kita bisa lihat semua perusahaan asing yang ada di Indonesia, tenaga-tenaga kita hanya mendapat ‘jatah’ di kelas bawah. Dan terakhir money atau kapital, semua itu kebanyakan didatangkan dari luar.

Dari skema besar yang saya tangkap, dimana sebenarnya globalisasi ini adalah rekayasa dari pihak-pihak barat, lebih khususnya dari negara-negara maju. Dimana rekayasa ini dibuat sehingga mereka bisa memasukan kepentingan-kepentingannya pada negara yang bersangkutan. Ketika diangkat isu globalisasi tiba-tiba muncul perusahaan asing. Ketika digedor-gedor globalisasi tiba-tiba pasar kita dikuasai. Sementara tenaga-tenaga ahli yang diserap dari kita sangat sedikit.

Untuk itu sudah seharusnya kita lupakan saja globalisasi itu, karena hal ini hanyalah merupakan rekayasa tangan asing. Jangan sampai kita terbawa oleh skema besar ini. Yang perlu kita perhatikan adalah pertama kita kuatkan perekonomian lokal kita. Kita perkuat basic perekonomian negara Indonesia. Mereka boleh masuk ke Indonesia tetapi mereka harus patuh dengan aturan yang kita buat. Mereka mau membuka pasar di Indonesia tetapi mereka harus mengikuti hukum-hukum yang kita buat.

Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah adanya ketegasan hokum yang dijalankan oleh pemerintah, sebelum kita berangkat dalam menyikapi kepemimpinan nasional. Hokum itu harus berpihak pada keadilan. Sebelum kita mengarah kepada nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, terlebih dahulu harus menjalankan ketegasan hukum dalam penerapan kontrak karya yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut. Harus dilakukan perubahan pada kontrak karya yang berlaku saat ini sampai benar-benar terlaksana keadilan.

Pemerintah sudah saatnya melakukan perubahan dari negara yang mampu mengekspor bahan baku mentah menjadi negara yang mengekspor produki-produk bahan jadi yang memiliki nilai jual lebih sehingga mampu bersaing secara kompetitif dalam dunia global.

INTISARI DISKUSI INTERNAL IKAFENAS: Pembangunan Berangkat Dari Sesuatu Yang Kita Miliki, Nasionalisme Yang Kita Tumbuhkan

Oleh: H. Nasyrul Fallah, SE, MM (Sekretaris Jenderal IKAFENAS)
Menarik berbicara tentang perkembangan ekonomi Indonesia ditengah arus globalisasi yang semakin lama semakin redup. Kita juga harus mengingat kembali bahwa dasar dari perekonomian yang ada di negara kita itu tidak terlepas dari prinsip gotong royong. Prinsip gotong royong itu saat ini lamban laun sudah semakin terkikis. Di desa sudah berkurang, apalagi di kota sudah tidak ada lagi prinsip gotong royong.

Kalau kita telusuri prinsip gotong royong itu sebenarnya hampir mirip dengan koperasi. Saling membantu diantara kita. Saling membesarkan diantara kita. Sedikit saya mengingatkan mengenai banyaknya sumber daya alam Indonesia yang dimanfaatkan bukan untuk kesejahteraan rakyatnya.

Rumput, dalam hal ini hutan, milik kita ini sudah dimonopoli oleh pengusaha besar. Namun apa yang didapatkan oleh warga di sekitar? Misalnya pada hutan jati di Bojonegoro yang melimpah tetapi semua penduduknya melarat semua.

Kemudian energi, seperti minyak, dimana masyarakat setempat di daerah penghasil minyak yang merasakan kemakmuran? Dan air, dalam hal ini laut, ini pun sudah dikuasai pengusaha besar, khususnya asing. Sehingga nelayan kita sudah tidak mendapatkan ikan secara optimal dari hasil laut.

Perekonomian yang tidak berbasiskan kepada rakyat maka yang menjadi korban adalah rakyat itu sendiri. Kita bisa lihat pada carefour dimana setiap bulannya bisa menghabiskan 300 ton buah jeruk impor dengan harga yang lebih murah. Padahal dilihat dari rasa masih lebih enak jeruk lokal.

Dalam KADIN yang ada disana itu adalah jabatan politis semua. Tidak ada sama sekali yang membicarakan perekonomian rakyat. Dari kesimpulan yang saya dapat bahwa dari kebijakan politik akan menghasilkan kebijakan ekonomi adalah hal yang benar. Jadi yang harus dilakukan sekarang adalah dalam konteks generasi muda ini ialah selalu bersikap kritis terhadap apa yang sedang terjadi di sekitar kita. Kalau rakyat menderita, ya jalan satu-satunya adalah revolusi.

Dari pembicaraan ini ada benang merahnya yaitu pembangunan berangkat dari sesuatu yang kita miliki, nasionalisme yang kita tumbuhkan. Ini adalah hal yang sangat tepat sekali. Jadi sumber daya alam yang kita miliki hanya digunakan untuk kepentingan negara kita saja. Kalau kita terbiasa makan nasi marilah kita makan nasi saja jangan terpengaruh budaya asing. Kita harus perkuat pertahanan ekonomi di dalam negeri.

Agak miris bila kita melihat pada UU tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dimana tercantum mengenal modal untuk pertambangan yang dapat disewa oleh perusahaan asing selama seratus tahun dengan sharing saham Indonesia mendapat 10%, kemudian dapat diperpanjang kembali seratus tahun. Lalu apakah yang akan didapat oleh anak cucu kita selaku generasi penerus?

Selanjutnya, perihal mengenai koperasi, dimana kalau kita berbicara masyarakat yang real, seperti masyarakat pembuat dodol, pembuat kopi, sesungguhnya mereka adalah peminjam kredit bank yang sangat disiplin dalam pembayarannya. Tidak pernah mereka ‘mengemplang’, tidak ada kredit macet dari mereka. Untuk itu semestinya pemerintah memahami bahwa masyarakat ekonomi menengah kebawah sangatlah potensial untuk diberdayakan sebagai penggerak pembangunan.
Disinilah perannya generasi penerus berupaya untuk memodifikasi produk bahan baku dari sumber daya alam yang kita miliki menjadi produk yang memiliki nilai lebih dan siap berkompetisi di dunia global.

Bila kita berkaca kepada seorang petani sangatlah miris. Pada zaman dahulu para petani sangatlah bangga dengan dirinya sebagai petani. Dia bisa menyekolahkan anak-anaknya, mampu pergi haji. Akan tetapi pada saat ini, seorang petani hanya mengandalkan merasa cukup beruntung kalau sudah bisa membeli pupuk. Tanam-tanamannya dapat tumbuh dengan subur.
Sekali lagi kita mengharapkan pemerintah memiliki kebijakan dengan melihat sumber daya yang dimiliki Indonesia. Jangan sampai ada lagi garam impor, ikan lele impor. Sudah saatnya, misalnya untuk wilayah Kerawang yang sampai sekarang dijadikan sebagai lumbung padi, dibuatkan kebijakan bahwa daerah Kerawang tidak lagi diperbolehkan untuk perumahan. Kalimantan difokuskan untuk pelestarian hutan.

Kalau sudah bisa seperti ini maka harkat petani menjadi naik. Petani dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak lagi harus menjual lahan sawahnya. Dan petani pun menjadi bangga dengan profesinya.

Jadi sudah saatnya Indonesia memulai untuk membangun ketahanan ekonominya dan ketahanan budayanya.

INTISARI DISKUSI INTERNAL IKAFENAS: Pemerintah Harus Mulai Melakukan ‘Mapping’ Terhadap Kondisi Perekonomian Di Setiap Daerahnya

Penulis : Rusman (Peneliti Global Future Institute)
Imbas dengan adanya globalisasi sudah sangat dirasakan, diantarnya semakin sulitnya dijumpai makanan-makanan lokal diberbagai tempat. Yang sering kali dijumpai adalah seperti KFC, Hoka-hoka Bento, dan yang sejenisnya. Di Jakarta saja dengan jumlah mall sebanyak 170 buah lebih tetapi mayoritas produk yang ada adalah produk luar negeri, misalnya saja jeruk lokal kalah bersaing dengan jeruk impor. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah belum berjalan untuk mendukung produk lokal.

Sebagai bangsa, sampai hari ini kita dalam tantangan yang semakin hari semakin kompleks, dimana pengusaha pribumi kurang diberikan kesempatan dalam dunia usaha. Misalnya seseorang yang kesulitan untuk melakukan usaha kembali akibat penggusuran lokasi usaha yang dianggap melanggar aturan oleh pemerintah daerah. Dimana semestinya pihak pemda dapat lebih mengayomi usaha-usaha kecil seperti ini. Padahal perekonomian kita saat ini dapat tetap berjalan karena keterlibatan para pengusaha UKM, yang saat ini belum juga mendapatkan perhatian penuh dari pihak pemerintah, terutama pemda. Dalam kondisi seperti ini harusnya dibentuk sistem ‘ayah angkat’ bagi para pelaku UKM.

Pada saat kondisi seperti ini seharusnya ada semacam sikap atau kebijakan, katakanlah digulirkannya ungkapan ‘revolusi ekonomi’. Seperti misalnya, hutang luar negeri itu harus diperkecil dan kemudian mengandalkan atau berorientasi sumber daya-sumber daya potensi-potensi lokal. Misalnya saja dari sisi pertanian, kalau saja kita masih mau concern terhadap masalah pertanian ini mungkin kita tidak akan melakukan import beras dari Vietnam. Dimana hal ini adalah akibat dari terbenturnya kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung. Seharusnya di beberapa daerah yang dikhususkan sebagai daerah penghasil beras malah dijadikan sebagai daerah untuk perumahan atau bahkan dibangun mall-mall.

Kemudian, Indonesia yang juga dikenal sebagai negeri maritim dengan memiliki kandungan ikan yang sangat banyak namun kita tidak mengelolanya dengan serius. Mulai dari tidak adanya upaya peningkatan teknologi penangkapan ikan, jaminan keamanan di perairan laut, dan adanya oknum-oknum yang melakukan jual beli ikan secara ilegal.

Untuk itu kita harus kembali kepada mempersiapkan pondasi perekonomian yang sangat kuat. Dimana salah satunya dengan kembali mengangkap konsep koperasi. Namun konsep koperasi dengan manajemen yang baik dan keberpihakan kepada petani, masyarakat kecil dan para pengiat UKM. Karena memang mereka memiliki peran yang sangat luar biasa terhadap siklus perekonomian bangsa.

Seandainya pemerintah memang mempunyai keinginan yang kuat untuk melakukan nasionalisasi maka hal tersebut sebenarnya dapat dilakukan. Bisa kita lihat sudah berapa lama perusahaan-perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia namun berapa besar manfaat yang diterima oleh masyarakat di sekitarnya. Bahkan yang terjadi malah adanya kerusakan-kerusakan alam.

Sebenarnya dalam konteks globalisasi, bukannya kita mempertentangkan menerima atau menolaknya, tetapi bagaimana cara kita menyikapinya sehingga kita mampu mempersiapkan langkah-langkah antisipasi terhadap globalisasi tersebut dan mampu untuk bersaing dalam dunia internasional.

Pemerintah menganggap dengan banyaknya kehadiran mall-mall merupakan ukuran keberhasilan pembangunan. Padahal begitu besar dampak negatif yang diakibatkan. Tumbuhnya budaya konsumtif dengan menghalalkan segala cara. Tersingkirnya pasar-pasar tradisional. Belum lagi dengan terlibasnya produk-produk dalam negeri oleh produk-produk impor.
Padahal pemerintah memiliki kekuasaan untuk melakukan perubahan tersebut, hanya saja hal tersebut tidak dilakukan. Oleh karena itu sudah saatnya terjadi ‘revolusi’ moral pada seluruh tatanan birokrat di Indonesia terkait mudahnya pemberian ijin tanpa mengindahkan dampak dari ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan setempat.

Kini sudah saatnya pemerintah melaksanakan pembangunan yang berbasiskan kepada potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia. Pemerintah harus mulai melakukan ‘mapping’ terhadap kondisi perekonomian di setiap daerahnya. Potensi apa yang dimiliki oleh masing-masing daerah harus sudah mulai digali dan diberdayakan.

Minggu, 06 Maret 2011

Membentuk Kekuatan Baru Selain PBB Diperlukan Guna Menekan Israel

Penulis : Tim Global Future Institute

Membentuk kekuatan baru selain Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) guna menekan Israel membuka blokade atas Gaza, rupanya diperlukan. Demikian pendapat dari pembaca laman theglobal-review.com atas polling yang diselenggarakan selama kurun waktu 4 bulan.

Dari 781 total responden, sebanyak 624 responden memilih sikap Sangat Perlu untuk membentuk kekuatan baru selain PBB guna menekan Israel membuka blokade atas Gaza. Sebanyak 74 responden menyatakan Perlu, 72 reposden menyatakan Tidak Perlu dan 11 responden menyatakan Tidak Tahu.

Munculnya ide atas tema yang digulirkan oleh Global Future Institute (GFI) tidak terlepas dari perkembangan konflik antara Palestina dan Israel yang tak kunjung berakhir.

Sementara, dalam acara diskusi terbatas yang dilaksanakan Global Future Institute diakhir tutup tahun, para peserta diskusi menilai PBB menjadi lembaga yang mandul dalam menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel. Peserta diskusi menganggap PBB jelas-jelas memihak negara Israel.

Perkembangan perjalanan konflik antara Israel dan Palestina ini memunculkan simpati dunia internasional. Tak kecuali para aktivis perdamaian Internasional dengan berusaha mengirimkan sukarelawan ke Gaza melalui jalur laut dengan sebuah kapal Turki bernama Mavi Marmara.

Namun, apa yang dilakukan para aktivis ini malah mendapat serangan mematikan dari pasukan tentara Israel. Korban pun berjatuhan dan bantuanpun gagal sampai ke Gaza.

Berdasarkan catatan GFI, setelah penyerbuan dramatis pasukan Israel yang menewaskan sembilan aktivis Turki rupanya tidak menyurutkan simpati terhadap penderitaan bangsa Palestina. Berbagai gelombang simpati terus berdatangan untuk mendukung bangsa Palestina. Usaha bantuan untuk menembus Gaza terus dilakukan, walaupun terlalu sulit menembus wilayah tersebut guna menyampaikan bantuan kemanusiaan bagi warga di Gaza.

Seperti diketahui konflik Palestina masih menjadi perhatian dunia hingga kini. Berbagai forum internasional kerap dilakukan, namun konflik terus saja terjadi. Israel masih terus melancarkan serangan dan teror ke Jalur Gaza. Korban di pihak Palestina terus berjatuhan.

Melihat hal ini PBB terkesan hanya diam saja. Sekali-kali PBB melalui Sekjennya tampil dengan bahasa diplomasi retorika yang tidak berguna.

PBB sebenarnya memiliki andil besar sebagai "mediator" yang handal dalam penyelesaian konflik termasuk di Palestina ini.

Dalam sejarahnya, penyelesaian konflik Palestina dan Israel (simak tulisan "Tabel Sejarah Palestina" yang disajikan Dina Y. Sulaeman) PBB justru lebih menganak-emaskan Israel.

Sampai di pengujung 2010, dukungan terhadap Palestina terus mengalir. Sayangnya, dukungan itu datang sendiri-sendiri baik itu dari kepala negara maupun LSM Internasional.

Agaknya perlu ada satu solidaritas yang kokoh diantara negara-negara dalam memperjuangkan nasib bangsa Palestina menjadi negara yang bebas dari penjajahan Israel. Kekuatan Baru yang dimaksud tentu saja menjadi kekuatan riil dalam membebaskan bangsa Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Semoga saja. (GFI)

Selasa, 01 Maret 2011

Menilik Potensi Tuna Indonesia

Oleh Taufik Ridwan
Perairan Indonesia yang terletak di "The Coral Triangle", perairan yang membentang dari Laut Andaman (Nanggroe Aceh Darussalam) hingga Laut Aru dan Perairan Papua (Samudera Pasifik), adalah salah satu wilayah penghasil ikan terbesar di dunia.

Organisasi pecinta lingkungan dan binatang, "World Wide Fund" (WWF) mencatat panjang lurus wilayah dari Sabang (Aceh) sampai Merauke (Papua) mencapai 5.300 kilometer dengan luas perairan 3,1 juta kilometer persegi dan panjang garis pantai sekitar 81.000 kilometer.

Salah satu potensi ikan laut yang menjadi andalan di Indonesia, yakni Tuna (thynnos) yang hidup di laut dalam khususnya di Perairan Indonesia bagian Timur meliputi Laut Makassar, Laut Banda, Laut Maluku, Laut Sulawesi, Laut Arafuru dan Laut Papua.

Ketua Komisi Tuna Indonesia, Purwito Martosubroto di Bitung, Sulawesi Utara, Jumat (25/2), mengatakan potensi produksi tuna di Indonesia hampir mencapai 1,2 juta ton per tahunnya dan nilai ekspor lebih dari 3,5 miliar Dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2009.

"Memang Indonesia menjadi salah satu kekuatan produsen ikan tuna terbesar di dunia dengan nilai produksi yang menunjukkan peningkatan setiap tahunnya," kata Purwito.

Ahli kelautan itu, menyebutkan produksi tuna di Indonesia pada tahun 2005 dan 2006 sekitar 900.000 ton, memasuki 2007 hingga 2009 terjadi lonjakan kenaikan dengan rata-rata mencapai 1,1 juta ton per tahunnya.

Indonesia juga memperlihatkan potensi ekspor tuna yang menjanjikan pada tahun 2005 dengan menembus angka 2,5 miliar Dolar AS, 2006 (2,6 miliar Dolar AS), 2007 (3,1 miliar Dolar AS), 2008 (3,4 miliar Dolar AS) dan 2009 (3,6 miliar Dolar AS).

Potensi perikanan di Indonesia terdiri dari 11 Wilayah Potensi Perikanan (WPP), yakni Luat Andaman (Selat Malaka), Laut Sumatera bagian Barat, Laut Jawa bagian Selatan, Laut Jawa, Selat Karimata, Selat Makassar, Laut Banda, Laut Halmahera, Laut Sulawesi, Laut Papua dan Laut Aru.

Sedangkan potensi tuna tersebar pada lokasi perairan Indonesia bagian Timur yang terbagi dua WPP, yakni Laut Halmahera dan Laut Banda.

Purwito mengatakan faktor penyebab Indonesia bagian Timur memiliki kekuatan potensi tuna yang tinggi karena adanya pertemuan arus di sekitar Samudera Pasifik sehingga aliran dan sanitasi air besar.

"Saluran air dan sanitasi yang tinggi menjadi tempat perkembangbiakan ikan tuna," ujar Purwito.

Meskipun perairan Indonesia bagian Timur menjadi tempat berkembang biak tuna, namun Purwito menegaskan Indonesia tidak bisa mengklaim tuna merupakan ikan yang berasal Indonesia karena ikan laut itu, hidup secara migrasi (pindah-pindah) di sekitar Samudera Pasifik dan Laut China Selatan yang meliputi negara Malaysia, Thailand, Filipina, Timor Leste dan Papua Nugini.

Selain diuntungkan faktor alam, peningkatan produksi ikan dan nilai ekspor tuna dipengaruhi semakin banyaknya jumlah kapal penangkap ikan dalam maupun luar negeri yang beroperasi di perairan Indonesia.

Data Kementerian Perikanan dan Kelautan menunjukkan jumlah perusahaan perikanan tangkap domestik pada 2010 mencapai 2.741 dengan jumlah kapal tangkap mencapai 5.417 armada.

Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung, Hengkie R.F. Wowor menyebutkan pihaknya mendukung upaya pemerintah Indonesia guna meningkatkan produksi tuna yang menjadi salah satu andalan komoditi perikanan domestik.

"Kota Bitung mentargetkan sebagai penghasil tuna terbesar di Indonesia pada 2016," ujar Hengkie seraya menambahkan mayoritas potensi ikan terbanyak di Bitung sejenis cakalang, tuna dan layang.

Kota Bitung yang menjadi salah satu pusat penghasil komoditi perikanan di Indonesia, mengandalkan penangkapan ikan di perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Halmahera, Teluk Berau, Laut Sulawesidan Laut Halmahera bagian Utara dengan memiliki luas laut sekitar 714 kilometer persegi, garis pantai sepanjang 143,2 kilometer, serta 13 pulau besar maupun kecil.

Hengkie menyebutkan potensi kelestarian sumber daya ikan Kota Bitung mencapai 1.884.900 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebanyak 1.491.000 ton per tahun, sedangkan produksi ikan pada tahun 2008 sekitar 142.435 ton, 2009 (145.129 ton), serta 2010 (147.091 ton).

Pemerintah Kota Bitung mencatat realisasi ekspor perikanan sekitar 37.633,86 ton dengan senilai 88,5 juta Dolar AS, 26.634.23 ton/82,1 juta Dolar AS (2009) dan 28.451,20 ton/66,2 juta Dolar AS dengan sasaran tujuan ekspor, yakni Jepang, AS dan negara Timur Tengah.

Kendala

Pelaku bisnis perikanan maupun pemerintah pusat hingga daerah mengaku menemukan sejumlah kendala dan tantangan untuk meningkatkan produksi dan kegiatan ekspor ikan laut di Indonesia.

Purwito menyebutkan persoalan yang dihadapi untuk meningkatkan produksi ikan, antara lain sarana dan prasarana jalan belum memadai termasuk infrastruktur pelabuhan dan pusat pendaratan ikan, sumber daya listrik dan bahan bakar minyak yang terbatas, fasilitas transport darat, udara, serta laut tidak menunjang sehingga biaya transport tinggi, adanya kegiatan penangkapan ikan ilegal dan penjualan ikan antarkapal dan pengelolaan perikanan belum mapan, seperti pendataan (logbook) dan pengendalaian penangkapan.

Sedangkan Pemerintah Kota Bitung menganalisa persoalan yang dihadapi untuk meningkatkan potensi perikanan, yaitu regulasi penjualan ikan termasuk kelengkapan dokumen, penurunan produktivitas, keterbatasan alat tangkap dan modal usaha, minim kelembagaan/organisasi nelayan, serta degradasi sumber daya ikan.

Purwito menyebutkan solusi mengatasi kendala itu harus ada kerjasama antara pemerintah dengan pelaku usaha perikanan sebagai mitra kerja yang sinergis, jalinan antarpemerintah daerah di kawasan Indonesia Timur dengan tujuan mengoptimalkan sumber daya ikan, pemerintah pusat perlu membangun infrastruktur produksi perikanan tuna.

Selain itu, pemerintah pusat juga harus menyediakan insentif bagi pengusaha yang ingin membangun perikanan tuna di Indonesia Timur, serta upaya pengendalian produksi mulai dari perbaikan database penangkapan (logbook) dan pengawasan.

Hengkie menambahkan upaya untuk mengatasi permasalahan peningkatan kegiatan produksi ikan dapat melalui penegakan aturan, selektivitas alat tangkap, modifikasi armada penangkapan ikan, pendalaman metode penangkapan ikan yang tepat, revitalisasi dan efisiensi penangkapan ikan, pembatasan kapasitas penangkapan, sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan aturan, optimalisasi fungsi prasarana perikanan tangkap dan penguatan kelembagaan (koperasi) khusus pengusaha ikan maupun nelayan.

Berkelanjutan

Sementara itu, aktivis WWF Indonesia, Ahmad Hafidz Adyas menegaskan persoalan bisnis perikanan tidak hanya berkaitan dengan upaya peningkatan produksi saja, namun pemerintah maupun pelaku usaha harus mengidentifikasi kelanjutan dari populasi jenis ikan yang ditangkap.

"Kita harus mewujudkan bisnis perikanan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab dengan menjaga persediaan populasi jenis ikan yang ditangkap," kata aktivis lingkungan itu.

Hafidz menekankan agar pemerintah maupun pengusaha memperhatikan jenis ikan yang dibisniskan agar tidak punah keberadaannya dengan cara menyeleksi kualitas dan kuantitas hasil tangkapan.

Hafidz mengatakan pemerintah harus menegakkan segala aturan terhadap pelaku bisnis yang memperdagangkan ikan yang nyaris punah, termasuk mengawasi cara dan penggunaan alat tangkap yang merusak jaringan makan ikan.

WWF sebagai organisasi dunia yang peduli terhadap lingkungan dan binatang, berupaya mengembangkan cara agar kegiatan produksi ikan tidak berdampak terhadap kepunahan populasi maupun habitat ikan.

Salah satu solusi menghindari kepunahan populasi tuna dengan cara inovasi kail tangkapan ikan berbentuk "circlehook" (c-hook) sehingga nelayan tidak menggunakan kail "J-hook" pada alat tangkap dengan tujuan agar lebih selektif menangkap ikan.

"Penggunaan C-hook untuk menghindari tangkapan ikan yang masih kecil," ujar Hafidz.

Kail C-hook juga dapat menghindari hewan yang bukan menjadi sasaran tangkapan (by-catch), seperti penyu, paus, hiu, burung, dan jenis ikan yang dilindungi agar tidak terjadi kepunahan.

WWF telah melakukan penelitian penggunaan kail C-hook pada alat tangkap konvensional menggunakan tangan (handline) sejak tahun 2006 dengan hasil dengan kualitas maupun kuantitas tangkapan yang lebih optimal dibanding kail J-hook pada alat tangkap rawai atau tali panjang menggunakan pelampung (longline).

Sumber: ANTARA

Waspadai Leptopirosis Pada Musim Hujan

Oleh Nusarina Yuliastuti
Musim hujan selain membawa dampak banjir dan longsor juga meningkatkan potensi penyebaran sejumlah penyakit seperti leptospirosis.

Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia sehingga penyakit itu masuk kategori zoonosis. Bakteri leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang satu bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan bakteri itu akan cepat mati.

Sebenarnya bukan penyakit musiman, tetapi pada musim hujan penyakit leptospirosis lebih mudah menyebar karena banyak genangan air atau tanah becek yang mungkin telah tercemar oleh urine tikus atau hewan lain pembawa penyakit itu.

Meskipun penyakit ini mudah diobati jika terdiagnosa pada stadium dini, penyakit juga dapat mengakibatkan kematian, sehingga perlu diwaspadai.

Serangan leptospirosis terjadi di seluruh dunia, tetapi lebih sering dijumpai di wilayah tropis. Meski demikian sekitar 100-200 kasus leptospirosis dilaporkan terjadi di Amerika Serikat setiap tahun, dengan 50 persen di antaranya terjadi di Hawai.

Pada 2009, topan yang melanda Filipina menyebabkan serangan leptospirosis merebak. Departemen Kesehatan Filipina melaporkan terjadi 1.887 kasus leptospirosis, yang mengakibatkan 138 orang meninggal dunia.

Banjir besar di Jakarta pada 2002 juga mengakibatkan 113 orang terserang leptospirosis, dan 20 orang di antaranya meninggal dunia.

Di Kota Yogyakarta, penyakit leptospirosis telah merenggut dua nyawa selama dua bulan pertama 2011, satu orang meninggal pada Januari dan satu orang lagi pada Februari.

Menurut Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kota Yogyakarta dr Fita Yulia, untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta terus melakukan sosialisasi dan peningkatan pengetahun bagi tenaga medis di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas).

"Hindari kontak langsung dengan tikus. Biasakan hidup sehat dan jika mengalami gejala yang mengindikasikan terserang penyakit itu, segera ke dokter," katanya.

Penyakit leptosiprosis ditularkan oleh hewan seperti tikus, babi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, kelelawar, tupai dan landak. Sedangkan penularan langsung dari manusia ke manusia jarang terjadi.

Manusia terinfeksi bakteri leptospira melalui kontak dengan air, tanah, atau tanaman yang dikotori oleh air seni hewan yang menderita leptospirosis. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata, hidung, kulit yang lecet atau makanan yang terkontaminasi oleh urine hewan terinfeksi leptospira. Masa inkubasi penyakit ini adalah 4 - 19 hari.

Pada awalnya gejala serangan penyakit ini mirip dengan penyakit lain seperti influenza atau demam berdarah dengue, yaitu demam, sakit kepala, nyeri otot, muntah dan mata merah, sehingga menyulitkan diagnosa. Kadang ada penderita yang terserang penyakit leptospirosis tanpa menunjukkan gejala tersebut.

Pada stadium lanjut, penyakit itu dapat menyebabkan gagal ginjal, sakit kuning, gagal jantung, sesak nafas, meningitis, dan perdarahan di paru-paru.

Penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala mirip kelelahan selama berbulan-bulan, sering sakit kepala, atau bengkak mata menahun.

Jika terserang penyakit ini, dokter akan memberikan antibiotika mengingat bakteri leptospira mudah mati dengan antibiotika seperti penisilin, amoksilin, streptomisin, tetrasiklin, atau eritomisin. Pengobatan dengan antibiotika akan efektif jika dilakukan pada stadium dini.

Mengingat serangan penyakit ini dapat berakibat fatal, apalagi bila terjadi komplikasi, akan lebih baik jika melakukan upaya pencegahan.

Untuk menghindari penularan penyakit ini, biasakan berperilaku hidup sehat dan bersih, mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh lain dengan sabun setelah bekerja seperti di sawah, kebun, sampah, tanah, selokan atau tempat tercemar lain.

Menggunakan alas kaki yang memadai serta sarung tangan saat berkebuh, membersihkan tempat air dan kolam renang secara rutin, menghindari tikus di dalam rumah/gedung, menyemprotkan desinfektan ke tempat yang tercemar tikus, dan meningkatkan penangkapan tikus.

Selain itu, jika mengalami luka atau lecet, tutuplah dengan pembalut kedap air. Pakai sarung tangan jika menangani binatang kemudian segera mandi setelah selesai, dan jika memelihara binatang, ikuti anjuran dokter hewan saat memerikan vaksin pada hewan tersebut. Sumber: Antara