Jumat, 07 Agustus 2009

Peringatan 15 Tahun AJI Indonesia

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyambut hari jadinya yang ke 15 tahun dengan menggelar serangkaian kegiatan, diantaranya pameran media dengan topik "Pers Indonesia Empat Zaman" dan pertunjukan musik. Kamis (6/8), AJI Indonesia memulai kegiatannya dengan pemberian Anugerah Udin Award dan Tasrif Award.

Penerima Udin Award tahun 2009 adalah Jufriadi Asmaradhana yang merupakan Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makasar. Dewan Juri menilai Juriadi layak mendapat anguerah tersebut karena mengalami kekerasan yaitu jeratan pasal-pasal pencemaran nama baik akibat aktifitasnya dalam kebebasan pers di Makasar.

Anugerah Udin Award merupakan penghargaan tahunan AJI Indonesia. Penghargaan khusus bagi jurnalis ini untuk menghormati Muhammad Fuad Safrudin alias Udin, jurnalis harian Bernas, Yogyakarta, yang dibunuh akibat terkait laporannya mengenai korupsi pada tahun 1996.

Sementara itu, anugerah Tasrif Award 2009 diberikan kepada Khoe Seng Seng alias Aseng. Menurut Dewan Juri, Khoe Seng Seng layak mendapat penghargaan tersebut karea telah berjasa memperjuangkan kebebasan berpendapat dan hak-hak konsumen melalui surat pembaca.

Tindakan Khoe Seng Seng dilakukan dengan menulis surat pembaca di harian Kompas pada 26 September 2006 berjudul ”Duta Pertiei Bohong” dan di Suara Pembaruan pada 21 November 2006 berjudul ”Jeritan Pemilik Kios ITS Mangga Dua.”

Akibat tulisannya itu Khoe Seng Seng dijerat dengan pasal-pasal pencemaran nama. Ia dihukum pidana 6 bulan percobaan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Khoe Seng Seng juga digugat secara perdata oleh PT Duta Pertiwi. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur mengharuskan Khoe Seng Seng membayar ganti rugi satu milliar rupiah. Namun putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Saat ini, kasus perdata tersebut tengah ditangani Mahkamah Agung.

Anugerah Tasrif Award merupakan bentuk penghormatan terhadap Suardi Tasrif, Jurnalis-cum-lawyer, Bapak Kode Etik Jurnalistik Indonesia, yang aktif membela kebebasan berpendapat dan memerangi korupsi.

Peringatan hari jadinya yang ke-15, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berlangsung dari 6-7 Agustus 2009 berlangsung di Gedung Perfilman Haji Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta.

Rusman

Kamis, 06 Agustus 2009

Mbah Surip, antara Perjuangan dan Kepolosannya

Kepergian Mbah Surip menghadap Sang Pencipta, Selasa (4/8) membuat banyak orang sedih. Betapa tidak, disaat-saat karirnya sedang menanjak, seniman bergaya Reggae ala Bob Marley ini meninggalkan dunia untuk selamanya. Perjuangan dan ketekunannya menjadi insiprasi oleh banyak orang. Terutama oleh para seniman musik di tanah air.

Gayanya terbilang sederhana. Dengan rambut gimbal, Mbah Surip selalu tampil apa adanya. Jauh sebelum dirinya ngetop-pun, ciri khasnya selalu seperti itu. Tidak ada yang berubah. Low profile dan selalu menghibur.

Bila dibandingkan dengan seniman musik lainnya, Mbah Surip terbilang sangat beruntung. Keberhasilannya menjadi seniman musik yang fenomenal tentu melalui proses panjang. Perjuangan, ketekunan dan kesabaran merupakan modal dirinya meraih sukses.

Lewat tembang bertajuk Tak Gendong, Mbah Surip berhasil menarik perhatian publik di tanah air. Mungkin karena syair lagu Tak Gendong terasa menghibur dan ”tidak njilmet, ” membuat publik terpokat. Tak heran sejak dilirisnya lagu Tak Gendong, di pasar, di mal, di kantor, di halte bus, di sekolah, lirik lagunya ini kerap terdengar. "Where are you going? Ok I`m. Where are you going? Ok my darling Ha...Ha...."

Mengenang Mbah Surip

Pengalaman hidupnya luar biasa. Mbah Surip bukan siapa-siapa, awalnya ia hanya seorang seniman jalanan. Seperti seniman jalanan lainnya, pria asal Mojokerto, Jawa Timur ini selalu mengais rejeki dari tenda ke tenda, dari warung satu ke warung yang lain.

Lagunya membawa pesan perdamaian lewat aliran Reggae yang diusungnya. "Reggae itu kan musik perdamaian, jadi damai terus," ujar Mbah Surip saat-saat awal lagunya booming.

Mbah Surip terlahir dengan nama Urip Ariyanto di Mojokerto, pada 6 Mei 1949. Mbah Surip menjadi pengamen sejak tahun 1989 menggelandang dan mengamen di Bulungan, di Kawasan Blok M.

Berdasarkan situs ensiklopedia bebas Wikipedia, Mbah Surip pernah mendapatkan penghargaan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) untuk kategori menyanyi terlama. Ia pernah ikut membintangi beberapa film dan beberapa kali pula tampil di televisi.

Berbagai macam profesi sempat di lakoninya, mulai pekerjaan di bidang pengeboran minyak dan tambang berlian. Mbah Surip yang memiliki gelar doktorandus, insinyur, dan MBA ini sempat mengadu nasib di luar negeri seperti Kanada, Texas, Jordania, dan California.

Mbah Surip telah mengeluarkan beberapa album musik. Album rekamannya dimulai dari tahun 1997 diantaranya, Ijo Royo-royo (1997), Indonesia I (1998), Reformasi (1998), Tak Gendong (2003), dan barang Baru (2004).

Konon, lagu Tak Gendong diciptakan pada tahun 1983 saat Mbah Surip bekerja di Amerika Serikat. Mbah Surip kini telah tiada. Di usia 60, ia kembali kepada kepada Sang Khalik. Keteguhan, perjuangan dan sikap humornya serta tawa lepasnya terasa masih tergiang di ingatan.

Selamat jalan Mbah Surip kami. Doa kami dari orang-orang yang menggemari lagu-lagumu.

Rusman
Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan di http://www.theglobal-review.com